Hadist riwayat ‘Abdillah Ibn Umar r.a.
menyebutkan , Nabi SAW . bersabda: “orang penyayang adalah orang yang disayangi
oleh Allah yang Maha penyayang. Maka sayangilah makhluk di bumi, niscaya kalian
disayangi Dzat yang di langit”.
Cerita yang mendukung hadist ini ditemui pada
kisah Khalifah Umar yang suatu saat berjalan di kota Madinah. Dilihatnya
seorang anak kecil sedang mempermainkan seekor burung.
Umar muncul ibanya melihat si burung, lalu
membelinya. Dan melepaskannya ke angkasa. Maka, ketika Umar wafat salah seorang
ulama terkenal melihat Umar dalam mimpi.
“Apa kabar, Umar?” tanya Sang Ulama. “Apa yang
telah Allah lakukan atasmu?”
“Allah telah mengampuniku dan melewatkan
segala dosaku”.
“Apa sebab? Sebab kedemerwananmu? Keadilanmu?
Atau karena zuhudmu yang membuatmu acuh tak acuh terhadap dunia?”
Umar menggeleng.
Katanya kemudian: “Ketika kalian menguburkanku
dan menutupiku dengan tanah, dan meninggalkanku sendiri, datang dua malaikat
yang menakutkan aku. Akalku hilang, gemetar sendi-sendi tulangku. Kedua
malaikat itu mengambilku dan mendudukkanku, dan hendak menayaiku. Tapi,
tiba-tiba, muncul suara tanpa sosok yang menghardik keduanya. Tinggalkan
hamba-Ku ini, jangan kalian takut-takuti. Aku menyayangi, dan segala dosanya
telah Ku-ampuni, karena telah menyayangi seekor burung pipit di dunia.
Pahalanya, Kusayangi dia di akhiratnya”. (hal. 3-4)
Bagi dunia pesantren tentunya kitab Usfuriah
sudalah familiar. Biasanya kitab ini diajarkan pada bulan Ramadhan, di waktu
sore hari atau sehabis sholat tarawih. Segaja para kyai atau kepercayaannya
mengajarkan kitab ini pada saat yang santai, senggang. Diwaktu para santri
berada pada kondisi psikologis yang mungkin saja lagi down. Memang dalam
kategori kitab klasik yang ada dipesantren kitab ini merupakan kitab yang
ringan pembahasannya, karena isinya seputar cerita-cerita penuh hikmah.
Meskipun isi kitab ini seperti hiburan bagi
santri, tetapi sebetulnya isi kitab ini bisa disebut sebagai kitab yang penuh ibrah,
pelajaran. Justru dari muatan yang ringan inilah, kitab ini memposisikan
dirinya sebagai pengasuh yang penuh arif dalam membangkitkan semangat santri
untuk giat beribadah, berzikir dan yang paling utama adalah menebarkan kasih
sayang terhadap sesama makhluk Allah. Bukankah ini malah inti dari Islam dan pokok
risalah Nabi Muhammad SAW itu sendiri?
Dalam kehidupan beragama, Umat memang tidak
dapat lepas dari konsep pahala-dosa. Sebab, karena dalam kenyataannya tidak
seorang pun—atau sedikit sekali— manusia yang bisa benar-benar bebas dari
pamrih. Selain itu manusia pada dasarnya tidak seorangpun yang menolak
keuntungan, apa pun bentuknya. Maka tidak heran jika dalam Al-Qur’an, Hadist maupun
ceramah-ceramah keagamaan bertebaran pesona Surga dan kengerian Neraka sebagai
bentuk cambuk dan iming-iming bagi umat (basyira wa nadzira).
Memang, pahala bukanlah terminal akhir
persinggahan manusia dalam beribadah kepada Allah. Ada yang lebih tinggi, yang
harus diraih oleh semua manusia dalam “ta’abudi” pada-Nya, yaitu
keridhaan Allah. “dan ridha Allah lebih agung dari (semua pahala) itu”, kata
al-Qur’an (9: 72). Dalam dunia sufi masalah ridha, cinta Allah sudah familiar
sekali. Para sufi dalam beribadah kepada Allah bukanlah memburu Surga atau
disingkirkan dari baranya api Neraka. Bukan itu yang mereka inginkan, tetapi Sang
Pemilik Surga dan bara api Neraka itulah mereka mencarinya. Tak jarang keluar
dari ungkapan para sufi, misal Rabi’ah al-Adawiyah yang berani memasang dirinya
dikungkung dalam kobaran Neraka jika sekiranya hal itu bisa menambah cinta-Nya
pada dirinya.
Tetapi, maqom- maqom tersebut,
kenikmatan-kenikmatan “menghamba” pada-Nya sangatlah jarang sekali dimiliki
oleh manusia. Maqom ini oleh dibilang maqom kaum elite, orang
yang berani mengatakan bahwa segala hidup dan geraknya hanya untuk Allah semata
tanpa menginginkan surga atau takut neraka, sangatlah jarang (kecuali sebagai
verbalisme semata dalam pengantar sholatnya). Orang akan garuk-garuk kepala
atau bahkan langsung saat itu juga berhenti beribadah seumpama ada pengumuman:
Allah tak akan membalas surga atau menghukum dengan neraka kepada kamu sekalian.
Namun, Allah maha tahu seluk beluk semua
ciptaan-Nya. Dan dalam kehidupan umat beragama kaum awam lebih banyak
dibandingkan dengan kaum elitnya. Dari sinilah agama diturunkan. Keberhasilan
misi suatu agama bukan terletak peliknya masalah falsafah atau theologinya
melainkan bagaimana menanamkan kesadaran sekaligus membentuk watak dan
tindak-tanduk dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga kesadaran akan pahala dan
dosa harus ditanamkan.
Meski beramal baik menjadi anjuran dalam
kehidupan sehari-hari, untuk menggapai Surga dan menjauhkan diri dari sentuhan Neraka,
namun tetap saja setiap manusia dilarang berbangga diri dengan amalannya dan “GR”
memperoleh surga. Amal manusia tetap bukan kunci utama pembuka gerbang Surga atau
hakim yang berhak memasukkan dirinya dalam Neraka. Surga dan neraka tetaplah
hak mutlak Allah. Rahmat Allah yag harus selalu dinanti-nantikan. Dalam kitab
ini dikisahkan: Umar pernah bercerita kepada Zaid Ibn Aslam. Di masa umat-umat
terdahulu pernah hidup seorang hamba yang sangat banyak beribadah tapi tak
pernah mengharap rahmat Allah. Suatu saat matilah ia.
“Apa untukku dari-Mu, wahai Tuhanku?” tanyanya
setelah mati.
Tuhan menjawab: ”Neraka!”
“Betapa, wahai Tuhan” ia menyergah. “Lalu kemana
ibadahku, upaya kebajikanku?”
“Kau berputus asa terhadap belas kasih-Ku di
dunia. Maka hari ini Kuputuskan juga rahmat-Ku.” Jelas bahwa kita memang
dituntut untuk beramal kebajikan tetapi jangan sampai amal kebajikan itu
membutakan mata kita sehingga dengan entengnya bergumam: “Surga pasti
tempatku!”
Kitab sejenis Usfuriah sendiri bukanlah
kitab studi Hadist. Kitab ini murni kitab yang diperuntukkan bagi masyarakat
awam. Sehingga titik tekan dari kitab ini adalah isinya, bukan sohih
atau dhoifnya hadist yang tercantum di dalamnya (tentunya masalah ini
dapat didiskusikan dan masalah sohih tidaknya Hadist yang digunakan
sebagai rujukan amalan-amalan tambahan sudah sejak lama terjadi perbedaan
pendapat di kalangan ulama). Kitab ini mempunyai misi menanamkan watak kepada
para santri atau kalangan awam untuk bersikap zuhud (tidak terpesona oleh
gemerlap dunia), adab kepada ibu-bapa, ulama, dan orang lanjut usia (walaupun
ia Nasrani atau Majusi), sikap tawakal, sikap sabar, kebiasaan menggembirakan
orang lain, optimis kepada rahmat Allah dan ampunan-Nya, sikap jujur, syukur,
menjaga kehormatan, anti riya’ atau kasbul halal yakni: usaha susah
payah, kadang dengan tangis, untuk mencari hanya rizki yang halal.
Penterjemahan karya-karya klasik sangatlah
perlu demi penambahan hazanah keilmuan setiap beragama. Apalagi, kalau mengingat
bahwa kebanyakan kaum beragama didominasi kaum awam maka sudag selayaknya
penterjemahan-peterjemahan kitab-kitab klasik dilakukan. Selain menambah
keilmuan umat beragama tentunya akan semakin membuka lebar ruang diskusi
masalah-masalah keagamaan. Sehingga masalah agama bukan saja didominasi oleh
kaum elit beraga yang sekarang cenderung asyik di menara gadingnya.
Judul : Kitab Usfuriah, Kisah-kisah dari Lektur
Pesantren
Penerjemah : Musthafa Helmy
Penerbit : Pustaka firdaus
Tahun terbit : Agustus 1993
Tebal : li
+ 152 halamanSign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon