Malam pertama, tentunya menjadi waktu terindah
bagi sepasang pengantin. Siapa pun dia, tak peduli strata sosialnya, bentuk
tubuh pasangannya, ranjang pengantinnya, suasana sekitarnya. Malam pertama
tetap menjadi malam milik pribadi, orang lain tak usah ikut, tak ada berbagi
dengan loe.
Malam pengantin, malam bertemunya antara cinta
dan hasrat yang lama dipendam. Seakan, malam inilah dua pasang insan baru
mendapat legal formal, baik dari agama maupun adat-sosial, untuk memadu kasih.
Tak ada yang melarang, mencibir atau mengolok-olok bahwa yang mereka lakukan pada
malam itu merupakan perbuatan yang tak terpuji. Malah sebaliknya, jika sepasang
pengantin tak melakukan ‘anu’ tentu menjadi hal lucu dan pertanyaan besar:
"bisa" gak ya? Sebetulnya cinta gak ya?
Malam pertama memang menjadi malam pribadi,
namun apakah orang lain akan tinggal diam membiarkan sang pengantin memadu
kasih seorang diri? Tidak, orang lain tentunya ingin tahu. Tahu soal apa? Ya
kalau bukan ‘itu’, apalagi?! Cerita-cerita ranjang pengantin memang selalu
ditunggu, meski para penunggu ini tahu kalau hal itu tabu, tetapi mbok
yao kecipratan sedikit ceritanya tentu asyik. Bahan pembicaran waktu petan.
Apalagi jika masyarakat sang pengantin masih menjunjung tinggi soal noda
perawan, tentunya menambah asyik saja gremengan-gremengan yang terjadi di
masyarakat. Entah apakah noda perawan bagi mereka sebagai simbol kesucian,
keterjagaan sang perempuan dan baru pecah saat malam pertama ataukah noda
perawan hanya aling-aling untuk menutupi gosip saja, yang jelas banyak yang
ingin tahu soal ‘noda perawan’.
Lantas siapa yang patut mengintip malam
pertama? Orang tuanya? Ah rasa-rasanya sangat tidak sopan jika orang tua
pengantin harus nimbrung mengintip malam pertama anaknya, apalagi sang
orang tua harus menceritakan kepada orang lain. sungguh tidak pas. Lalu siapa
yang patut menjadi mata-mata?
Dalam novel ini adalah Centhini, seorang centhi,
emban atau PRT dari sang pengantin (Tambangraras dan Syeh Amongraga). Centhini
bukan pembantu biasa yang hanya meladini bendaranya tetapi lebih mirip saudara
angkatnya, begitu dekat dengan bendaranya. Selain itu, Centhini masih remaja,
perawan kencur car-cur. Orang tua yang jumawa menyebutnya masih bayi wingi
sore. Belum tahu apa-apa. masih ingusan. Mengurus ingus saja belum bisa,
apalagi yang lainnya, menstruasi saja belum tahu.
Tipe orang seperti Centhini tepat untuk
menjadi telik sandi malam pertama. Toh, untuk mengintip malam pertama tidak
perlu orang yang dewasa dan pintar, yang penting jujur apalagi polos. Inilah
alasan kenapa Centhini menjadi mata-mata. Tugas baru baginya: merekam
bendaranya memadu kasih.
Centhini yang polos tak tahu bagaimana caranya
mengetahui kelakuan suami istri: apakah harus ikut di dalam kamar pengantin,
melihatnya? Ataukah mengintipnya? “Hush. Kau berada di luar kamar,
tunggui di depan pintu, dan dengarkan apa yang terjadi...,”Nyi Malarsih
memberitahu Centhini. Nyi Milarsih merupakan ibunya Tambangraras.
Tugas malam pertama dimulai. Saat mengantarkan
makanan Centhini tak melihat noda perawan di atas kain putih yang tergelar di
atas tempat tidur seperti yang dikatakan banyak orang demikian juga pakain
kedua pengantin juga masih utuh. Malah sebaliknya yang dia dengar malah sang
pengantin “ngaji”, Syekh Amongraga mengajarkan ilmu agama kepada istrinya, Tambangraras.
Sungguh tak mengasyikkan.
Malam-malam seterusnya juga begitu, tak ada
suara rintihan, desahan atau amben jebol yang terjadi. Sungguh malam
pengantin yang aneh. Sebaliknya malam-malam itu hanya berisi pengajian,
pengajaran dari Amongraga tentang syari’at, hakekat dan makrifat hingga subuh.
yang ada hanya khutbah.khutbah. khutbah. Apakah tidak menjemukan? Membosankan?
Centhini bosan. Bukan bosan menjagai tuan
putrinya, tetapi lebih pada pertanyaan para perempuan yang ditemuinya apalagi
ibunya Tambangraras yang selalu menanyakan apakah sudah ada noda perawan ? Apakah sudah nganunya dan dianu? Hah..pertanyaan yang membosankan.
Bukannya tak mau menjawab tetapi betul-betul tak ada jawaban untuk itu. tak ada
cerita yang mengasyikkan sebgaimana yang orang lain harapkan, yang ada hanya
ngaji dan ngaji.
Centhini merasa bosan dengan tugasnya, yang
hanya menjadi telik sandi untuk memuaskan gosip, memuaskan hasrat cerita nafsu
birahi yang sebetulnya belum tentu diminati oleh sang pengantin. Di saat orang
lain lelap tertidur, dia harus siaga di depan kamar pengantin: nguping sang
pengantin. Besok paginya orang-orang berduyun-duyun bertanya denga pertanyaan
yang sama: soal noda perawan.
“Mereka tidak memiliki hak untuk itu. mereka
hanya menginginkan pembenaran dari semua yang dipergunjingkan. Hanya itu yang
mereka butuhkan. Bukan untuk mendengarkan orang lain, melainkan untuk
mendengarkan orang lain, melainkan mendengarkan dirinya sendiri. hanya orang
yang tidak memiliki jati diri yang selalu meminta orang lain memperhatikan
dirinya. Hanya dengan cara itu, mereka merasa ada di dunia ini. Karena itu,
kenapa kau mau menjadi alat dari semua itu? kau tidak perlu melaporkan semua
yang kau ketahui pada orang lain. apalagi, jika itu hanya akan menjadi penguat
bagi bahan gunjingan mereka. Soal Syekh Amongraga dan Tambangraras bukan
sekedar soal dua lelaki dan perempuan yang masuk ke kamar pengantin, dan
sebagaimana para pengantin lainnya...”
Memang benar adanya, Centhini tak menemukan
cerita apa-apa dalam tugasnya. Kedua mempelai bukan seperti pengantin lainnya.
Malam-malamnya soalah wejangan seorang syekh pada muridnya. Malam pengantin
menjadi malam transfer ilmu. Sedangakn centhini yang mulai bosan mulai sadar
dengan yang dihadapinya. Lebih baik menjadi murid gelap Syekh Amongraga daripada
harus menjadi telik sandi yang tak jelas. Untuk apa jika hanya menjadi pemuas
gosip orang lain, lebih baik mereguk ilmu sejati.
Alur yang tersaji dalam novel ini, saya tidak
menemukan adegan ranjang yang bisa membuat pembaca tegang atau sedikit
menggigil, kalaupun ada cepat-cepat penulis mengakhiri dengan meminjam watak Centhini
yang masih cilik itu. sejauh yang saya tahu, Serat Centhini selain berisi
pengajaran tentang laku hidup yang berisi ajaran syari’at, hakikat dan makrifat
juga menceritakan tentang adegan-adegan yang mengudang desir darah nafsu.
Inilah daya tarik tersendiri dari novel ini,
meski tidak menggambarkan sepenuhnya Serat Centhini versi aslinya namun novel
ini tetap menyajikan dari inti serat itu yakni ajaran kehidupan: tentang
sangkan paraning dumadi. selain itu, novel ini lebih menekankan pemberontakan
kaum perempuan tentang cara pandang terhadap perempua yang selalu menjadi obyek
kajiab, yang harus dinilai, yang sekedar alat, ditanya kesuciannya, kok tidak
ada pertanyaan apakah pengantin laki-lakinya masih perjaka atau tidak, malah
yang ada apakah perempuannya masih perawan atau tidak dengan bukti noda perawan
tadi. Apakah noda perawan cukup menjadi alat yang syah kalau si perempuan
memang masih perawan? Bukankah selaput dara itu tergantung keelastisannya?
Silahkan pembaca mengkaji sendiri dari novel ini dan mencoba menambah
pengetahuan dari buku-buku yang lain soal “keperawanan”. Selamat membaca.
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon