Buku
ini memaparkan wejangan ruhani tiga sosok kiai di tanah Jawa, yaitu Syekh
Muslih bin Abdur Rahaman al-Maraqy ( Mranggen Demak), Syekh Romli Tamim (Rejoso
Jombang), dan Syekh Dimyathi bin Muhammad Amin al-Bantaniy (Cidahu, Banten).
Wejangan ketiga kiai ini menggambarkan simbiosis antara tradisi syariat dengan tarekat di dunia pesantren Jawa, serta
menjadi bukti adanya dinamika keagamaan yang khas.
Syekh
Dimyathi al-Bantaniy atau Abunya Dimyathi merupakan ulama dari Banten sekaligus
pemimpin jamaah tarekat Sadziliyah.
Wejangan Ia, sebagaimana lingkup pondok pesantren, tidak terlepas dari
penekanan “mengaji”. Pesannya yang terkenal, “Jangan ngaji ditinggalkan,
meskipun jarak antara majelis dan jalan raya sangat jauh, atau di luar sana
berkecamuk perang dahsyat”. Pesan lainnya yang tak kalah bernasnya adalah,
“Biar pun dunia runtuh 1000 kali, pengajian di majelis jalan terus….”
Penekanan
tersebut tidak terlepas dengan keyakinannya bahwa mengaji merupakan bentuk
syukur hamba kepada Allah karena dikaruniai akal yang sempurna. Ngaji juga
dikaitkan dengan upaya santri untuk membuang kebodohan dan gelapnya fikir (li izaalah al-jahli). Sebab, rancunya
pikiran adalah bencana; carut marutnya nalar adalah “kegelapan” (Zhulumat), dan kegelapan adalah neraka.
Selain itu, mengaji merupakan hal yang sulit dibandingkan menjadi wali. Orang
lebih terpesona dengan kekeramatan seorang wali. Untuk memperoleh karamah
tersebut sangat mudah, tetapi menjaga keajekan mengaji adalah perjuangan yang
membutuhkan waktu bertahun-tahun.
Meskipun
Abunya Dimyathi berkecimpung di dunia sufi, tetapi tidak meninggalkan syariat. Pesan
Abunya Dimyathi kepada santrinya yang menempuh jalan makrifat adalah derajat
keutamaan tak mungkin diperoleh kecuali dengan kepatahuhan terhadap syariat.
Jadi, parameter utamanya adalah patuh pada syar’i. Maka, derajat seorang
manusia di depan Allah selalu diukur seberapa banyak ia sudi menjalankan
perintah-perintah Allah dan lari dari larangan-larangan-Nya.
Berbeda
dengan Abunya Dimyathi, Syekh Romli Tamim merupakan mursyid tarekat Qodariyah Wa Naqsyabandiyah. Ia mengajar para santrinya di daerah Rejoso,
Jombang, Jawa Timur. Ia juga seangkatan dengan Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari
(Tebuireng), dan Syekh Wahab Hasbullah (Tambak Beras). Hanya saja, kedua ulama
itu dikenal karena kerja-kerja keulamaannya, sementara Syekh Romli dikenal
karena wejangan-wejangan dan doktrin sufistiknya bagi para santri yang
menginginkan wushul kepada Allah.
Wejangan
Syekh Romli bagi para santri suluk adalah “Seharusnya bagi murid-murid tarekat selalu tafakkur setiap waktu”. Maksud Syekh
Romli adalah seorang santri hendaknya tetap dalam keadaan “sadar”, senantiasa
berdzikir dengan membentangkan perenungan pada akal ataupun nalar sehingga
jalan dan gerak nafsu menjadi sempit dan terbatas. Sehingga, menurut Syekh
Romli, baik dan tidaknya agama seseorang, bisa disebabkan oleh aspek dari tafakurnya.
Senada
dengan pendapat Abunya Dimyathi bahwa penempuh suluk tidak bisa meninggalkan
syariat. Oleh karena itu, Syekh Romli berpesan, “Syariat tidak bisa ditunda
oleh hakikat!” Maksudnya, kebenaran hakikat tidak bisa mengganti peranan syariat,
karena dua hal tersebut tidak bisa dipisah. Menyitir ungkapan Imam Ghazali
dalam kitab Bidayah, Syekh Romli
menegaskan, “Zahirnya takwa adalah syariat, sedangkan batinnya takwa adalah
hakikat.” Singkatnya, rahasia yang tersembunyi dari syariat adalah hakikat.
Syekh
Muslih Mranggen merupakan ulama tarekat
yang lebih merakyat. Risalah kecilnya yang cukup terkenal adalah Futuhat ar-Rabbaniyah yang menguraikan
doktrin sufistik “tersingkapnya ma’rifat
ilahiyah”. Di dalam risalah kecil ini diuraikan agak mendatail dan teknis
tentang tata cara para santri dalam menjalankan tarekat, terutama 10 doktrin yang disebut sebagai “mabadi ‘ilmi ath-thariqoh” yang membahas
landasan tarekat Qodariyah Wa
Naqsyabandiyah.
Sebagai
ulama Qodariyah wa naqsyabandiyah,
Syekh Muslih sangat menekankan zikir bagi para santrinya. Mengutip wejangan Syekh Ali al-Murshifi dalam
kitab Minah as Saniyah, Syekh Muslih
mengungkapkan, “Bahkan, para guru yang agung pun akan sulit memberi obat bagi
para santri-santrinya agar memancarkan hati mereka, kecuali dengan mudawwamah zikir!”. Zikir itu bagaikan
batu gerinda yang terus menghaluskan hati para pengamalnya.
Zikir
laa ilaaha illallah, merupakan kuncinya
surga. Dalam pandangan Syekh Muslih, zikir menjadi “kunci” memasuki pintu surga,
maka sesungguhnya “kunci” itu terdiri atas berbagai “perangkat” lain yang
merupakan bagian dari zikir. Surga selalu digambarkan dengan keadaan tenteram
dan damai, maka tidaklah salah jika zikir merupakan kunci surga, kunci
ketenangan. Hal ini sesuai dengan firman Allah, bahwa hanya dengan berzikir
hati menjadi tenang.
Zikir
kalimat tayibah, dalam kitab Tanbihul
Ghofilin, mampu melebur 4000 dosa. Namun, Syekh Muslih mengingatkan kita
jangan menyalahpahami dengan berlaku ceroboh dan menganggap remeh
larangan-larangan Allah karena menganggap dosa-dosanya mudah diampuni dengan
tobat dan berdzikir kalimat tayibah. Menurut Syekh Muslih, orang yang
berperilaku demikian adalah orang-orang yang tertipu oleh nafsunya sendiri dan
setan.
Demikian
wejangan dari ketiga kiai yang cukup terkenal di kalangan ahli tarekat di Jawa.
Wejangan-wejangan para masyayikh ini
sekirannya dapat menjadi bekal para salik dan umat Islam yang sebentar lagi
menjalankan ibadah puasa. Sebab, ibadah puasa tidaklah sekadar memuasakan perut
dan libido. Puasa bukan sekadar menahan, tetapi terus menerus mendzikirkan
jasmani dan ruhani agar mencapai keseimbangan ketenangan dunia dan akhirat.
Judul : Tiga Guru Sufi Tanah Jawa
Penulis : H. Murtadho Hadi
Penerbit : LKiS Yogyakarta
Tahun
Terbit : cet. II, 2012 (Edisi Khusus Komunitas)
Tebal : 250 halaman
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon