Apa yang kita ketahui dan pahami tentang Gatholoco? Barangkali, sebagian
kita akan teringat dengan tokoh kontroversial yang pernah menghiasi perkembangan
Islam di tanah Jawa. Tokoh yang pernah didakwa sebagai sosok yang ngobok-ngobok
tatanan Islam yang telah mapan dengan tingkah laku dan pertanyaan yang aneh.
Perdebatan-perdebatan yang dilontarkan Gatholoco terhadap kaum puritan
menjadikan kedua belah pihak saling bersitegang. Bahkan, perdebatan itu disebut
sebagai perang mulut antara kaum kejawen dengan kaum ulama. Penamaan yang
semata-mata hanya didasari ketidaksukaan dan usaha untuk melenyapkan salah satu
pihak, yakni Gatholoco.
Sjak awal, Gatholoco telah dihadirkan sebagai sosok subversif. Tak
hanya kesan tingkahya yang dianggap berbahaya, nama “Gatholoco” merupakan
taring tajam bagi ortodoksi. “Gatholoco” adalah nama yang ganjil, bahkan sekadar
disematkan pada sesosok karakter fiksi. Nama itu mengacu pada sebuah perkakas
yang dinilai hanya patut diperbincangkan secara samar di bilik kamar-kamar (phallus). Tak ubahnya anjing ataupun
babi, “Gatholoco” identik pula dengan sesuatu yang haram dan najis. “Gatholoco”
bukanlah sekadar nama, tetapi juga, secara simbolik, dosa yang selalu mengancam:
sesuatu yang secara syariat dianggap dapat melemparkan seseorang kubang
kesucian.
Secara sekilas, kata Gatholoco yang terkesan mesum dan kasar, namun
ia juga deras mengucurkan ungkapan-ungkapan sufistik yang dalam. Sehingga,
rasanya, di mulut mungilnya itu hikmah-hikmah ketuhanan berjalin kelindan
dengan ocehan-ocehan mesum dan makian yang menyayat tajam. Selain kurang ajar,
ia terdengar fasih ketika membicarakan Tuhan. Ada cukup banyak ungkapan,
seperti ia ungkapannya bahwa hakikat kesucian adalah tekad yang “nora
kawaworan karep ika iki” (tak berharap hasrat macam-macam). Juga kesan
kehidupan zuhud radikal: “anarima aku nganggo ting saluwir/ Nora pisan
kudu-kudu/ Manganggo kang adi kaot (kuterima berbusana seadanya, tak
sedikit pu hasrat, memakai yang serba elok).
Gatholoco adalah perosonafikasi wong brai, seseorang yang
telah didominasi oleh kerinduan yang begitu menggebu, berahi buncah akan ilahi
(brangta ing pangeran), sebagaimana santri brai dalam Serat Centini.
Kesadaran personalnya telah pudar terbakar keelokan Tuhan (junun). Ia
pun seperti Lebe Lonthang, yang sembahyangnya pilihan (pepethingan).
Seperti Malang Sumirang, yang sudah menjadi menjadi brai (manjing ambirawa)
dan memperoleh kesejatian kaweruh (jatining apuruhita). Seperti Sida
Nglamong yang telah berbadan sukma (Abadan suksma). Dan juga selaiknya, qalandar
semacam Shams-i Tabrizi, Gatholoco pun kelihatan mengatasi segala paradoks,
selalu luput dari jerat kategorisasi, melibas segala batas identitas. Jika
disuruh melukiskan dirinya sendiri, Gatholoco akan merangkai kata-kata yang
sama dengan Shams-i, kata-kata yang menyiratkan untuk tak tertipu segi lahiriah
segala sesuatu: “Aku laiknya sebutir mutiara yang kau temukan dalam liang
kakus”.
Yang dilantunkan dan ditarikan Gatholoco sangatlah wajar dalam
kesusastraan Islam-Jawa. Bahkan dalam khazanah tasawuf. Tak sukar untuk menemukan
pola lagu dan gerak yang seirama dengan tingkah Gatholoco. Gatholoco sama
sekali tak tampak baru. Kemunculannya bukanlah tanpa preseden. Lagu-lagu
sumbang yang dilatunkannya tentang Islam—ketika ia sudah sedemikian kering,
hambar, kaku, dan membosankan— dalam derajat berbeda, jamak pula dilantunkan
para sufi. Hanya saja, gaya bahasa dan diksi yang dipilih si pemintal suluk
terkesan lebih ekspresif, lugas, dan cenderung sarkastis. Namun, ini sekadar
pilihan berbahasa yang tergantung kreativitas si penulis, dan pada akhirnya
terserah selera pembaca.
Kehadiran
Gatholoco, kapan pun itu, diperlukan untuk membuktikan bahwa keyakinan
seseorang tidak sekadar “peltu”: baru tahu permukaan sudah berkoar-koar.
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon