Sufi sosok akestik, menjauhi dunia seisinya dan berlari menuju Tuhan dengan
kemiskinannya. Begitulah gambaran yang kuterima tatkala mengikuti kuliah “tasawuf” dan membaca buku yang berbicara
tasawuf. Penggambaran ini mungkin tidak
bisa lepas dari asal kata “sufi” (yang sampai sekarang masih beragam versi) dan
ajaran-ajarannya. Namun, apakah benar sufi mengajarkan agar
pengikutnya menjauhi dunia seisinya? Benarkah, dalam sejarahnya, tokoh-tokoh
sufi benar-benar orang “gelandangan dan pengimis jalanan”? Atukah kita sendiri sebetulnya yang salah memahami “dunia sufi”?
Di antara ajaran dunia sufi adalah qona’ah,
zuhud, tawakal, sabar dan ikhlas. Ajaran-ajaran ini kalau sepintas
kita tangkap sepadan dengan ajaran “nrimo ing pandum”. Qona’ah yang artinya menerima apa yang
telah Tuhan berikan. Zuhud dalam arti ekstrim adalah menjauhi dunia.
Akibatnya, ajaran sufi dianggap menyebarkan ajaran
fatalisme alias masa bodo dengan dunia. Sehingga banyak kritik yang
menyerang ajaran sufi, ajaran-ajaran inilah yang menyebabkan umat Islam terjebak dalam kemiskinan dan kebodohan. Umat Islam jauh tertinggal dengan umat-umat agama lain, dan parahnya jargon “umat
terbaik” harus terhempas oleh realita kehidupan umat Islam itu sendiri.
Barangkali, ada yang salah dalam menangkap ajaran tersebut. Kegagalan memaknai dan
mempraktekan ajaran-ajaran sufi, yang merupakan nilai-nilai esotoris Islam,
menyebabkan umat islam terlalu asyik bergumul dengan kemiskinan dan kebodohan.
Padahal, inti dari ajaran-ajaran itu lebih menekankan esensinya, bukan sekadar kulit. Banyak tokoh-tokoh sufi yang kaya,
pedagang yang sukses. Sebagai contohnya Yazid al-Bustami merupakan pedagang yang kaya raya,
tetapi beliau tetap tawadu’ terhadap sekitarnya. Nabi Sulaiman, seorang raja
dan kekayaannya tidak ada manusia yang menandingi dan diberi kelebihan oleh
Tuhan untuk menguasai segala jenis makhluk, ternyata juga tidak berani
menyombongkan diri bahkan tak segan-segan Sang Nabi tidak malu mendengarkan
nasehat seekor kancil. Coba bayangkan dengan perilaku pemimpin sekarang, baru
mendapat kritik saja sudah kelabakan dan cepat-cepat mengamankan posisinya
dengan berbagai cara.
Qona’ah, zuhud dan ikhlas bukanlah menjauhi
dunia melainkan berupaya untuk tidak bergantung padanya. Sebab dunia hanyalah
sementara, tidak ada keabadian dalam diri makhluk. Untuk apa mencintai,
mempertahankan dengan mati-matian yang bersifat sementara. Dengan bahasa lain,
sufi itu orang yang ora pateken jika tidak bergelimang harta-benda,
bergelimang kekuasaan. Bahkan tidak terbtatas masalah duniawi saja, melainkan
juga ukhrawi. Jika ibadahnya tidak berbalas pahala dan surga dan harus
menemui neraka karena atas kehendak Tuhan pun tidak menjadi soal: monggo
kerso!.
Membaca gelagat kehidupan akhir-akhir ini, sangat
relavan untuk membumikan ajaran sufi. Bagamana tidak? Di saat korupsi, penggusuran, kecurangan politik, jegal kanan-kiri karena
ambisius kekuasaan, teror atas nama agama, demi menyelematkan ajaran Tuhan,
monopoli ajaran agama dan masih banyak lagi perilaku-perilaku yang cenderung
mengabaikan “liyan” dan cenderung mensuperioritaskan diri maupun kelompok
semakin merajalela. Di sini dan saat inilah waktu yang tepat untuk
mempertanyakan, apakah sebenarnya yang kita cari dalam hidup berbatas badan
wadag yang dikenai sakit dan jiwa ragawi yang dikenai kesedihan ini?
Tanpa kritik atas hasrat ego ketuhanan itulah,
begitu Munir menuliskan, keagamaan manusia tak lebih dari sekadar mencari alasan untuk membunuh orang lain atas nama Tuhan dan kebenaran
ajaran-Nya. Tuhan pun diperkosa bagi kepentingan nafsu serakah dan hasrat
seksual melalui kuasa-kuasa politik dan ekonomi. Kesalehan agama seolah hanya
bisa tercapai manakala tidak ada lagi setan di dunia ini dan saat tidak ada
lagi perilaku maksiat dan ketika tidak ada lagi orang kafir menurut tafsirnya.
Ketakwaan, kesalehan, dan ihsan di dalam ruang sosial tanpa setan adalah
kekosongan hidup tanpa makna. Kesalehan sejati adalah ketika manusia
benar-benar bisa bebas dari perilaku maksiat ketika peluang untuk itu tersedia
dengan mudah, ketika KKN dan pintu neraka dibuka lebar sementara pintu surga
ditutup rapat-rapat. Orang berbakat setan pun akan bisa menjadi malaikat
manakala tak pernah tersedia peluang untuk laku maksiat, nifak dan kekafiran.
Cinta sufi (hubb) adalah kecintaan
mengatasi cinta yang egois, hedonis, dan seksualistik. cinta berakar seksual
inilah fondasi peradaban modern industrial. Industri media seperti tak terbebas
dari eksploitasi daya seksual dan sensual kebutuhan manusia yang membuat
kehidupan sosial, politik, ekonomi hingga keagamaan menjadi ruwet yang hampir
mustahil untuk dijernihkan. Ruang sadar manusia dan peradaban global sekarang
ini telah dipenuhi ruh hedonisme seksual sebagai akar munculnya teror dan
kekerasan.
Cinta sensual kebutuhan akan membuat umat
manusia hanya ingin menjadi Fir’aun atau Qarun dengan hasrat nafsu menguasai
seluruh harta dan kekuasaan duniawi, yang dengan penuh nafsu hendak menguasai
Tuhan dan surga hanya bagi diri sendiri. cinta sufi membuat seseorang mencintai
sesama di luar batas-batas keagamaan, nasionalitas, dan etnis. Cinta sufi
membuat seseorang dengan penuh keikhlasan memberi cinta pada orang lain yang
memusuh yang ingkar dan kafir kepada Tuhan sang Sufi itu sendiri, bukan
melenyapkannya.
Judul : Sufi Pinggiran, Menembus Batas-Batas
Penulis : Abdul Munir Mulkhan
Penerbit :
Kanisius Yogyakarta
Tahun terbit : Cetakan ke-5, 2011.
Tebal : 202
halamanSign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon