Aksara
hanacaraka atau aksara Jawa saya kenal saat masih duduk di bangku SD dan
SMP yang dikemas dalam pelajaran muatan lokal. Sulit, itu kesan yang saya alami.
Meski terdiri atas 20 aksara, ternyata tidak semudah menghafal serta menuliskan
huruf Latin atau Arab. Bahkan saya sering takut jika ada soal membaca atau
menuliskan huruf Jawa. Senjata terakhir adalah menyiapkan contekan.
Kenapa
aksara Jawa tetap sulit untuk saya tulis? Mungkin saya belum begitu familiar
dan jarang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Meski jagat yang saya diami adalah bumi Jawa yang
bukan sekadar wilayah teritorial tetapi juga kebudayaannya. Begitulah
kenyataannya, aksara Jawa hanya bagian klangenan, seperti untuk
mengenang jika orang Jawa punya huruf dan boleh dibilang orang Jawa tidak buta
huruf.
Lantas
di mana letak urgensinya aksara yang diajarkan itu, jika hanya sebatas
pengenalan? Apakah ia tetap menyimpan daya tarik bagi para siswa jika yang dibutuhkan
huruf-huruf global sebut saja aksara Arab, Kanji, atau Latin? Apakah ia juga
akan luntur seiring seperti unen-unen, “Wong Jowo kari separo, Cino Londho
kari sak jodho?”
Aksara
Jawa yang dipelajari di sekolah adalah belajar menuliskan simbolnya, bukan
memaknai simbol itu sendiri? Layaknya proses menggambar gunung, siswa diajarkan
bagaimana menggoreskan sketsa, menarik garis yang menyerupai gunung kemudian
mewarnainya, bukan menceritakan gambar tersebut. Ini tidak salah, sebab inilah
batas dunia mereka. Ada kemaun mempelajarinya saja sudah bagus.
Aksara
Jawa jika diintonasikan seperti bertutur sejarah, layaknya kisah legenda.
Memang, konon sejarah munculnya aksara Jawa dilatarbelakangi cerita kerajaan Medhang
Kemulan. Seorang prabu bernama Aji Saka, yang berhasil membunuh Dewata Cengkar,
mempunyai dua abdi yang bernama Dora dan Sembada. Suatu ketika, Aji Saka menyuruh
salah satu abdinya mengambil keris pusaka yang dijaga abdi lainnya. Berdasarkan
titah itu, sang abdi berangkat dan tidak pulang sebelum keris dapat dihaturkan kepada
Aji Saka. Di sisi lain, abdi penjaga keris pun memegang titah: tidak akan
memberikan keris pusaka, kecuali kepada Aji Saka sendiri. Kemelut terjadi,
karena kedua-duanya harus melaksanakan amanat Aji Saka. Adu mulut saja tidak
cukup, akhirnya adu otot pun terjadi. Tak ada yang menang maupun kalah,
keduanya sama-sama gugur. Peristiwa ini mengilhami Aji Saka. Prabu itu
menciptakan aksara Jawa untuk mengenang dua abdinya.
Benarkah
aksara Jawa muncul hanya sekadar untuk mengenang dua abdinya Aji Saka ataukah
ada makna yang tersirat di dalamnya? Bagaimana kedudukan aksara Jawa bagi orang
Jawa sendiri, apakah ia hanya sebatas aksara ataukah menyimpan nilai filosofis
yang memuat dunia batin orang Jawa? “Wong Jowo kalahe yen dipangku”. Pangku
adalah salah satu sandangan (harakat) aksara Jawa yang fungsinya mematikan. Benarkah
demikian?
Suwardi
Endraswara melalui buku Filsafat Kejawen
dalam Aksara Jawa mbabar kaweruh seluk beluk dan makna yang
terkandung di dalam dua puluh aksara Jawa beserta sandangannya itu. Menurutnya,
20 aksara beserta 12 buah sandhangan aksara (huruf vokal) yang artinya= bahwa
mulai hidup berwujud titah/makhluk di dunia, lalu menyandhang (bukan
berarti pakaian, namun menyandang rasa atau merasakan penderitaan). Maka aksara
Jawa berjumlah 32 buah, makna 3 di muka berarti dari tiga rasa yaitu (1) rasa tumitis,
(2) rasa Sang Bapa (Bakalan Purwa), (3) rasaning Sang Ibu (Isining
budi). Tiga rasa ini disebut Trimurti Sari-rasa. Sedangkan angka 2
berarti (1) wadhah (tempat) dan (2) isi. Antara wadah dan isi
saling kait-mengait, mewujudkan hidup yang telah diwarnai oleh tiga rasa tadi.
Dengan
sandangan aksara, ibaratnya orang Jawa dapat diterka dan dibaca dari sisi mana
saja. hubungan antara aksara Jawa dan sandangan tak dapat dipisahkan. Keduanya
saling mewujudkan kemanunggalan hidup, sehingga kehidupan semakin berarti. Inti
aksara dan sandangan adalah seperti jiwa-raga, keduanya sama-sama penting dalam
kehidupan.
Aksara
Jawa bukan sekadar huruf semata, tetapi bernilai magis, seperti huruf Arab yang
sering dimanfaatkan sebagai wifiq.
Aksara Jawa memiliki roh yang menciptakan suasana sakral. Dalam dunia
pewayangan, aksara Jawa dilantunkan sebagai mantra ruwat sengkolo,
penolak balak. Penggunaan aksara Jawa sebagai jimat atau mantra tergantung cara
memanfaatkannya.
Aksara
Jawa merupakan “kitab kecil”. Aksara Jawa merupakan simbol spiritualitas Jawa
yang luhur. Hubungan antara yang menyembah dan yang disembah. Jadi, aksara Jawa
yang dua puluh itu berisikan petunjuk tentang doa keselamatan dan puji terhadap
Sang Pencipta. Ha-na-ca-ra-ka itu sebagai petunjuknya; da-ta-sa-wa-la
itu pengganti yang memuji kepada Tuhan; pa-dha-ja-ya-nya itu ibarat Sang
Penitah dan yang dititahkan sama keteguhannya berdasarkan ajaran agama; ma-ga-ba-tha-nga
itu merupakan perwujudan cipta, rasa, dan karsa. Apabila manusia mampu
menyelami dan menghayati 20 huruf Jawa tersebut, berarti hubungan kawula-Gusti
akan harmoni. Di dalamnya ada sinar terang yang mengantarkan manusia sampai
pada tingkatan Illahiah, begitu tafsir atas Serat Gendhing.
Membaca
dan memahami aksara Jawa sama seperti melihat diri sendiri, yang hidup dalam
rentangan yang amat panjang. Keterkaitan antara hubungan manusia dengan Tuhan,
manusia dengan manusia, manusia dengan alam semesta, tercakup dalam aksara
Jawa. Di dalamnya juga ada tuntunan budi pekerti, spiritualitas, moral,
kebatinan, falsafah hidup hingga seksualitas. Renak-renik kehidupan kejawen
hampir seluruhnya lekat dalam aksara Jawa. Pembaca dapat mengerucutkan makna aksara
Jawa sebenarnya memuat inti sangkan paraning dumadi sebagaimana kata
awal aksara Jawa tersebut: ha-na-ca-ra-ka yang berarti “utusan”. Utusan
itu tidak lain adalah manusia, dan selayaknya jika utusan itu mengetahui siapa
yang mengutus, tugasnya, dan kemana dia melaporkan misinya tersebut.
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon