"Anu" itu kata yang samar, mungkin. Meski terkadang orang memahami
sebagai kata yang merujuk ke vitalnya vital manusia. Padahal, "anu" itu
wilayahnya abu-abu, di garis tepi, antara nyata dan tak nyata; tergantung
ia akan ditarik ke sebelah mana. Mirip wujud, tapi belum berwujud; ada,
tapi tak ada.
"Anu" diucapkan untuk mewakili sesuatu yang hanya
diketahui si pengujar, dan yang akan diujarkan itu memang hal yang sulit
untuk dibahasakan.
Terkadang, "anu" juga semacam selingan untuk
mewakili kekosongan atau yang "lupa". Padahal, wilayah "lupa" ini sangat
tak enak jika dibiarkan kosong. Masuklah "anu" untuk menghidupkan
sesuasana. Misalnya begini, seorang pengamen menyanyikan lagunya Nike
Ardilla, "Malam-malam aku sendiri, tanpa...mu lagi." di ruang titik tiga
inilah, iya menghadirkan "anu" untuk mengisi kealpaannya. Sebab, jika
dibiarkan kosong, bisa jadi pendengar akan gak "ngeh" atau nanti akan
menimbulkan semacam kerancuan-kerancuan dalam petikan gitarnya. Masak,
enak-enaknya nyanyi malah berhenti?
Karena itu, anu perlu hadir,
"Malam-malam aku sendiri, tanpa 'anu'mu lagi.". Memang ambigu,
menimbulkan tanda tanya dan ragam tafsir bagi pendengar. Tapi, yakinlah
"anunya" pengamen sama sekali berbeda dengan tafsirnya si pendengar. Anunya tafsir bukan anunya pendengar. Mereka memiliki keanuan sendiri, sesuai daya ilmunya, pemahaman, sangkaan, budaya mereka masing-masing. Meski, mereka berangkat dari kata yang sama: anu.
"Anu" memang tidak bisa paksakan. Anunya orang lain memang tidak bisa samakan, kecuali mereka sudah se-frekuaensi, atau ada kompromi-kompromi untuk memahami satu makna "anu". Anu, bisa saja Anda melembagakan, membuatkan kredo yang baku: "anu" itu begini, dan tak ada anu selain anu yang Anda pahami. Tapi, yakinlah, anu tidak akan sama setelah memasuki adat, budaya, negara yang lain. Anu hanya satu, tapi akan muncul beragam sangka tentangnya.
Anu wilayahnya "samar", dan ia membungkus dirinya dengan kesamaran tersebut.
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon