Dunia tak membutuhkan banyak orang untuk mengubah
wajahnya. Dunia hanya membutuhkan segelintir orang, tapi mempunyai kesedian
diri untuk lebur, mati bahkan tak tercatat oleh sejarah. Mereka yang berani
meniadakan dirinya yang akan berhasil mewarnai perjalanan sejarah dunia.
Bahkan, merekalah yang bisa menggerakkan massa untuk menciptakan “peristiwa”
yang tak disangka-sangka.
Namun, memang tak mudah dan tak enak menjadi seorang
martir. Ia seperti pejalan sunyi. Para penguasa memburunya. Kenikmatan dunia
bisa jadi hanya bagaikan angin lalu: berhembus sebentar, dan kemudian terbang
entah kemana. Kehidupannya diliputi letupan-letupan api perlawanan. Tak jarang,
dari mereka harus tersingkir dari dunia: mati. Tetapi, apalah arti sebuah
kematian, bukankah semua makhluk pasti mati. Yang membedakan hanyalah “cara’
dan jejak semata.
Buku ini, yang ditulis dalam dua belas bab, mengajak
pembaca untuk kembali memaknai tentang kepahlawanan. Pahlawan bukanlah orang
cengeng, orang yang mudah menganggap enteng suatu masalah. Bagi pahlawan,
setetes darah memiliki makna. Maka, harus diperlakukan selayaknya. Kita, dari
buku ini, diajak menelusuri bagaimana kiprah para martir dari pelbagai negara
yang ada di dunia. Yang rata-rata negara-negara itu sekarang memiliki daya
saing dan dihargai oleh negara lain. Sebuah negara memang harus memiliki “macan”
untuk mengaumkan kewibawaan negaranya.
Sebut saja, misalnya, Nelson Mandela. Bapak
Demokrasi Benua Afrika ini pernah mengalami kepahitan dalam hidupnya. Ia
dibesarkan pada kondisi zaman yang masih mengagungkan warna kulit. Pigmen menjadi
penentu keunggulan manusia, dan sudah bisa ditebak yang “putihlah” yang
terbaik. Sedangkan, “hitam” (seakan)
hanyalah orang yang terdampar di dunia. Orang-orang kulit hitam diasingkan di
negerinya sendiri. Mereka tak dianggap ada, kalaupun ada mereka tak lebih
sebagai jongos.
Mandela bangkit. Ia adalah warga sah benua Afrika.
Biar pun warna kulitnya hitam, tetapi budinya putih. Mandela berdiri melawan
kesewenang-wenangan atas dasar warna kulit. Baginya, warna kulit bukan patokan
untuk menilai keunggulan manusia. Lebih dari itu, ada hal lain yang patut
dihargai, dinilai sebagai penentu kualitas manusia.
Meski menentang warna “putih”, bukan berarti Mandela
mengagungkan dan jumawa dengan warna hitam. Ia tak ingin warna hitam
mendominasi, mengalahkan dan menyingkirkan warna putih. Yang ia pikirkan adalah
jalan tengah, mencari jalan terbaik bagaimana kehidupan di benua Afrika bisa
normal dan setara.
Di tempat terpisah, ada Rusia yang mempunyai sejarah
mengagumkan. Setelah berkali-kali mengalami revolusi, sejak ditumbangkannya
kekuasaan tsar, Rusia seperti anak muda yang sedang mencari jati diri. Negeri
komunis ini terus jatuh bangun menjadi negeri ideal. Paham komunisme seakan
harga mati yang tak tergantikan. Siapa pun pemimpinnya, komunisme harus menjadi
landasannya. Namun, apakah dengan komunisme negeri ini makmur? Paham suatu
negara, kalau boleh dibilang, hanya memberikan secuil kemakmuran bagi
rakyatnya. Selebihnya, adalah komitmen pemimpinnya.
Awal mula, komunisme menjadi angin segar yang
membebaskan rakyat Rusia dari kediktatoran tsar. Rakyat berpesta karena hak
kepemilikan sama rata. Semuanya mendapat jatah hidup. Namun, lama-lama penerus
paham komunis pun seakan membuat teralis besi yang mengerangkeng rakyat.
Hak-hak rakyat dibatasi. Ketika krisis menerjang Rusia, rakyat bagaikan nyala
lilin yang ditiup angin. Tak ada bantuan, karena semua bergantung pada
pemerintahan.
Pada 11 Maret 1985, Mikhail Gorbavech terpilih
menjadi presiden Uni Soviet. Anak petani miskin ini pun kemudian membuat
terobosan-terobasan untuk menyelamatkan Uni Soviet dari keterpurukan.
Perestroika dan Glasnot merupakan gagasannya yang cukup populer. Perestroika
dicanangkan untuk mengatasi ekonomi Uni Soviet yang stagnan. Pada prinsipnya, Perestroika
adalah menghargai kepemilikan pribadi. Sedangkan, Glasnot merupakan program
yang dicanangkan untuk hak informasi publik. Era ini disebut era keterbukaan
Soviet, karena selain memberikan kesempatan kepada rakyat untuk merawat negara,
juga Soviet mulai membuka diri dengan dunia luar, khususnya Barat yang selama
ini menjadi seterunya.
Di bawah kepemimpinan Gorbavech, Soviet mulai
bangkit. Perekonomiannya pulih, hak-hak ekonomi yang selama ini didominasi
negara sedikit demi sedikit bisa dinikmati rakyatnya. Hubungan dengan luar
negeri pun kembali cair. Jika selama ini konfrontasi sering dijadikan jalan
utama, lambat laun Soviet memilih jalan damai. Namun, apakah Soviet benar-benar
makmur? Seperti sudah menjadi jalan hidupnya, di tengah kebebasan yang mulai dirasakan
rakyatnya, Uni Soviet mengalami perpecahan. Negara-negara bagian mulai
menyuarakan kemerdekaannya. Angin demokrasi selalu dimaknai salah, ataukah
memang sebenarnya mereka sudah lama menginginkan kemerdekaan?
Masih banyak kisah-kisah martir yang tertuang dalam
buku ini. Semua kisahnya menjadi inspirasi bagi pembaca. Sebab, jalan menjadi
seorang yang bermanfaat bagi bangsa bukanlah hal yang mudah. Namun begitu,
perbuatan itu sungguh mulia dan diharapkan oleh khalayak. Selamat membaca.
Judul
buku : Para Martir
Revolusi Dunia; Sejarah, Pemikiran, dan Gebrakan Mereka bagi Kemajuan Dunia
Penulis : Lukman Santoso Az
Tahun
Terbit : Cetakan pertama,
2014
Penerbit : Palapa, Yogyakarta
Tebal : 492 halaman
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon