Kaitan toleransi yang paling sering adalah
agama khususnya cara beragama kaum agama. Islam sebagai salah satu agama dengan
pemeluk terbesar tidak luput dari perbincangan tersebut. Harus diakui bahwa
Islam untuk saat ini banyak mendapat sorotan, seolah semua mata tertuju pada
Islam. Mata yang mencereng tadi sembari bertanya-tanya apa itu Islam?
Bagaimana ajarannya? Apa yang ditawarkan dari Islam untuk kedamaian umat
manusia? apakah memang benar Islam punya jiwa kedamaian sebagai mana akar kata
“Islam” sendiri?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak terlepas
dari berbagai peristiwa aksi kekerasan baik dalam skala lokal maupun global
yang melibatkan umat Islam. Aksi intoleransi yang menyeret kekerasan fisik itu
terjadi di negara-negara yang warga negaranya memeluk Islam, termasuk
Indonesia. Di Indonesia sendiri kasus-kasus kekerasan yang mengatasnamakan
agama terus bermunculan. Teror, bom syahid, perseteruan antara aliran seagama,
aksi dukung perda atas nama agama yang dibarengi aksi brutal menjadi
pemandangan yang tidak mengenakkan mata di negara yang mengusung semboyan
“Bhineka Tunggal Ika”.
Dalam pergumulan dunia, tejadi Islamophobia,
ketakutan terhadap Islam, yang dibarengi dengan penciptaan stereotype
bahwa umat Muslim adalah ekstremis, pembuat onar, anti-Kristen dan anti-Yahudi,
menolak demokrasi, opresif terhadap wanita, dan memaksakan penerapan hukum
Islam yang kejam. Dan mudah diprediksi, sebagai respons atas kuatnya propaganda
Islamophobia itu, muncul gejala “Islamophilia” di kalangan Muslim
yang berupaya menampilkan citra positif bagi Islam. Jika Islamophobia
cenderung menjelek-jelekan Islam, Islamopholia cenderung membaik-baikkan
citra Islam.
Munculnya gejala Islamophilia bukan
tanpa mengundang problem baru. Islamophilia acap terjebak dalam
subjektivitas dan krisis transparansi ketika menampilkan citra positif Islam. Islamophilia
mengatakan bahwa Islam adalah agama toleran tetapi, pada saat yang
bersamaan, dengan sengaja sering menyembunyikan elemen-elemen intoleran yang
sedemikian banyaknya dalam tradisi pemikiran Islam.
Berjibun pertanyaan muncul bersamaan
aksi-reaksi antara Islamophobia dengan Islamophilia, jika benar
Islam agama toleran, mengapa masih ada sebagaian dari umatnya yang melakukan
kekerasan? Jika Islam menjamin kebebebasan beragama, mengapa sebagaian umat
Islam masih ada yang menyerang tempat beribadah agama lain, kelompok lain? Jika benar Islam membawa rahmat bagi semua, mengapa masih ada friksi Muslim
yang melakukan bom bunuh diri? Apakah toleransi selaras dengan Islam itu
sendiri? Atau, jangan-jangan toleransi hanyalah konsep asing yang didatangkan
dari peradaban Barat yang sekuler dan liberal?
Buku yang ditulis Irwan Masduqi ini mencoba
mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Buku ini berusaha tidak
terjebak pada Islamophobia yang cenderung menjelek-jelekkan Islam, pada Islamophilia
yang cenderung membaik-baikkan citra Islam, maupun pada westophobia yang
secara emosional mencaci maki Barat. Buku ini akan berusaha berimbang menguak
masalah toleransi dalam tradisi pemikiran Islam di satu sisi, di sisi lain,
tanpa ragu menguak elemen-elemen intolerasi yang terkandung di dalamnya.
Buku ini menawarkan konsep toleransi Islam
menurut perspektif sederet pemikir kontemporer yang ide-idenya patut diapresiasi dan diwacanakan di Indonesia sebagai basis teologi kerukunan antar
umat beragama. seperti pendapatnya Gamal
Al-Banna, adik dari Hasan Al-Banna, mengidentifikasi bahwa kekerasan atas nama
agama dan tindakan intoleran senantiasa lahir dari ekslusivisme. Sedangkan
Hasan Hanafi berupaya mendeskripsikan secara jernih mengungkap sisi positif dan
negatif fundamentalisme.
Dalam konteks keindonesian, Gus Dur berjasa
memperjuangkan nilai-nilai toleransi demi terbinanya kebinekaan dan
kemajemukan. Islam adalah agama yang satu, tetapi mengapa pemahaman keislaman
bersifat plural? Pembaca akan diajak menyusuri jalan menjadi Muslim toleran ala
santri yang secara arif mendialogkan ajaran keislaman dengan semnagat
kebangsaan. Yohanan Friedman, peneliti Yahudi, tampak ragu-ragu, apakah benar
Islam adalah agama toleran? Keraguannya ini muncul setelah dia menemukan elemen
intoleran dalam Al-Quran, hadis, dan tradisi pemikiran Islam.
Akhirnya,
buku ini memang selayaknya dibaca bagi siapa saja, khususnya bagi Muslim, untuk
mencermati akar kekerasan, fundamentalisme yang terjadi dalam pemikiran Islam.
Tujuannya tidak lain adalah jangan sampai menjadi Islamophilia yang
hanya menampilkan citra baik Islam secara berlebihan tanpa mengakui memang
benar adanya sikap intoleran yang terjadi dalam tradisi pemikiran Islam. Sikap
berimbang harus dimiliki oleh setiap Muslim, bukankah Islam menganjurkan
pemeluknya menjadi manusia yang cinta kedamaian dan ummatan wasathan?
Judul buku : Berislam Secara Toleran, Teologi Kerukunan Umat
Beragama
Penulis : Irwan Masduqi
Penerbit : Mizan Bandung
Cetakan : cetakan 1, November 2011
Tebal : xxxi
+ 310 halaman
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon