Membela anak merupakan kewajiban orang tua. Anak polah bopo kepradah memang selayaknya terjadi. Namun, soal bela-membela pun harus tahu empan papan, tahu benar dan penernya. Jika tidak, hanya menjadi musibah bagi diri dan keluarga.
Inilah yang dialami dalam lakon Calon Arang. Dendam Calon Arang dimulai ketika anaknya, Ratna Manggali, tidak laku kawin, sehingga mengundang desas-desus tetangga sekitar. Padahal, Ratna Manggali merupakan gadis cantik jelita, bunga desa. Malangnya, tak satu pun “kumbang” yang sudi meminang atau paling tidak mendekatinya. Apakah, ibaratnya, Ratna Manggali bunga bangkai, hingga tak satu pun kumbang yang sudi mencucup nektarnya? Tidak! Ratna Manggali tetaplah bunga melati, mawar atau jenis bunga lainnya yang semerbak wangi dan indah kelopak mahkotanya mengundang “kumbang” untuk mencecap. Lantas, kenapa Ratna Manggali tidak laku kawin?
Usat punya usut, ternyata pangkal persoalannya terletak pada ibunya, Calon Arang. Calon Arang adalah sosok wanita tua yang menguasai ilmu sihir tingkat tinggi. Pemilik teluh hitam dan pengisap darah manusia. Alasan inilah yang menjadi sebab pemuda tidak sudi mendekati Ratna Manggali, karena takut kelak dijadikan tumbal ilmu hitam ibunya.
Bukannya berkaca diri, tetapi Calon Arang malah menanggapi fenomena itu dengan dendam kusumat. Sebagai wanita pemuja Dewi Durga yang mempunyai ilmu ajaib pembunuh manusia, Calon Arang menabur dendam kepada siapa saja yang mengejek, mengkritik, dan menjadi lawan politiknya. Ia meminta restu kepada Dewi Durga untuk meluapkan dendamnya. Dewi Durga pun merestui dengan syarat tidak meneluh masyarakat kota. Calon arang menyanggupinya.
Sudah bisa dipastikan banyak penduduk yang mati mengenaskan terkena teluh Calon Arang. Layaknya pageblug, kondisi masyarakat yang sore sakit, paginya mati. Atau, sebaliknya. Rojopati melanda begitu cepat, entah punya salah atau tidak kepada Calon Arang, bisa dipastikan mati. Begitu pula, umur bukan sebagai ukuran teluhnya: semua orang dilibas oleh teluhnya. Kematian terjadi di mana-mana.
Kejadian itu akhirnya terdengar oleh pihak kerajaan Daha. Sri Baginda Erlangga marah mendengar banyak rakyatnya yang mati akibat ulah teluh Calon Arang. Sebagai raja yang baik dan berkewajiban menjaga keamanan dan kedamaian rakyatnya, Baginda Erlangga kemudian mengerahkan bala pasukannya untuk menumpas Calon Arang. Apakah penyerbuan pasukan Daha berhasil?
Nihil! Pasukan yang dikerahkan untuk menumpas Calon Arang beserta muridnya gagal total, malah sebaliknya banyak pasukan dari Daha yang mati, bahkan pemimpin pasukan tersebut mati mengenaskan dengan luka terbakar di sekujur tubuh akibat semburannya Calon Arang. Berita ini semakin membuat Raha Erlangga resah. Kemudian sang raja memanjatkan doa kepada Dewa meminta petunjuk untuk mengatasi kemelut ini, namun tak ada jawaban dan tak satupun dewa yang sudi mendatangi munajatnya.
Di sisi lain, kebengisan Calon Arang semakin menggila dan tak terpuaskan hanya dengan meneluh penduduk desa. Rasa benci dan dendam itu dia lebarkan dengan niat meneluh masyarakat kota, termasuk Raja Erlangga. Upacara pemujaan terhadap Dewi Durga pun dimulai. Upacara ritual ini merupakan bagian yang paling di luar perikemanusiaan: upacara dengan darah manusia. Murid-muridnya dipaksa keramas dengan darah manusia dan upacara yang aneh, yakni telanjang bulat sambil menari-nari. Tidak tanggung-tanggung, mayat yang semula sekarat dihidupkan kembali hanya untuk dipenggal kepalanya dan darahnya dijadikan keramas.
Keadaan negara kacau, raja pun ikut galau. Namun, di tengah kegalauan itu petunjuk Penguasa Alam datang untuk mengatasi keadaan. Calon Arang hanya bisa ditumpas bukan dengan pasukan pedang melainkan dengan kekuatan gaib, kekuatan supranatural. Siapa gerangan yang dapat menumpas Calon Arang dan memiliki kuatan untuk mengalahkan sihirnya? Ia adalah Empu Baradah. Seorang empu yang tinggal di daerah Lemah Tulis (menurut buku ini, Lemah Tulis tidak lain wilayah Blora).
Empu Baradah orang yang saleh dan taat benar pada agamanya. Ia selalu bertakwa pada dewanya. Empu Baradah sungguh berbeda dengan Calon Arang. Menolong orang adalah pekerjaan yang sangat diutamakan. Karena itu lama-kelamaan penduduk Lemah Tulis menganggapnya sederajat dengan dewa-dewa. Malah ada juga yang menganggap sang dewa sendiri yang menjelma menjadi manusia.
Empu Baradah menyanggupi permintaan Raja Erlangga untuk menumpas Calon Arang dengan syarat muridnya, Empu Bahula, dikawinkan dengan putrinya Calon Arang, Ratna Manggali. Pihak kerajaan menyetujui. Sebuah cara halus untuk mengalahkan musuh. Selain itu, ini merupakan langkah arif untuk memadamkan api dendam yang tengah berlangsung. Bukankah dendam Calon Arang bermula dari anak gadisnya yang tak laku kawin?
Perkawinan bukan semata menjalin kekerabatan, melainkan juga siasat politik untuk melumpuhkan musuh politiknya. Ingat dengan cerita Ki Ageng Mangir? Meski antara Rara Pembayun dan Ki Ageng Mangir benar-benar ada cinta, namun bukan itu yang dikehendaki oleh Penembahan Senopati menyatukan mereka dalam ikatan perkawinan tetapi lebih tertuju penaklukan secara halus untuk mengetahui kelemahannya. Lantas, masihkah di era sekarang para pemimpin bangsa ini yang menggunakan perkawinan sebagai alat politis? Pembaca bisa mengamatinya.
Setelah rahasia kelemahan Calon Arang terbongkar dengan mudahnya Empu Baradah mengalahkannya. Namun, sebagai empu yang bijak tentu penumpasan itu dilakukan dengan cara bijak pula. Tugas empu adalah menyucikan dosa orang yang bergelimang dengan keburukan.
“Mati adalah gampang, Calon Arang. Tetapi mati itu tidak berguna kalau tidak membawa kesucian. Baiklah kusucikan dulu jiwamu,”kata Empu Baradah.
Menumpas kejahatan merupakan tugas mulia tetapi kemulian tugas itu jangan sampai dimuati dengan sikap bengis dan penuh dendam kesumat terhadap pelaku kejahatan. Orang jahat itu ibaratnya ruangan gelap, tugas kita adalah menerangi dengan lampu penerangan bukan membakarnya atau memusnakan tempat itu sendiri.
Cerita Calon Arang merupakan gambaran teror yang lahir dari komunikasi yang terdistorsi. Calon Arang gagal mengambil citra dalam posisi orang lain. Sebaliknya, orang lain dipaksa untuk mencintrakan dirinya sebagai kekuatan tunggal yang tak dapat dikalahkan, orang lain wajib mengikuti kemauannya. Meminjam istilahnya Habermas, seharusnya lingkungan Calon Arang menjadi satu latar belakang bersama yang dapat memberikan proyeksi diri di mata orang lain yang diartikulasikan sebagai syarat-syarat simetris untuk mengambil perspektif secara resiprokal. Ternyata Calon Arang gagal mengambil perspektif secara resiprokal tersebut, antara masyarakat dengan Calon Arang menjadi terasing dan acuh tak acuh terhadap penyelamatan klaim-klaim mereka. Inilah awal distorsi dalam komunikasi, suatu kesalahhaman yang kemudian oleh Calon Arang diejawantahkan menebar teror teluhnya.
Judul : Cerita Calon Arang
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara, Jakarta
Tahun terbit : Cetakan 4, Maret 2009
Tebal : 96 hlm; 13 X 20 cm
ISBN : 979-97312-10-5
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon