Beberapa tahun yang lalu, ada iklan yang diperankan oleh Thukul
Arwana terkait kartu seluler (saya lupa nama kartunya). Seperti
biasanya, Thukul yang sering melakonkan diri sebagai orang ndeso dan
mengatakan ndeso pada orang lain, di
iklan tersebut pun ia bertindak begitu; lagak ndeso.
Dengan ungkapan
lain, wong ndeso adalah orang-orang yang bodo, tidak pandai. Tidak memiliki
pengetahuan modern. Bahkan, dalam ending iklan tersebut, meskipun orang ndeso
sebagai “tuan”, namun wajah ke-ndeso-annya masih
kentara, maka tetap saja tidak dianggap “tuan”, tetapi buruh kasar yang harus segera bekerja
menuruti mandornya.
Sebab iklan itulah, saya merasa tergelitik
untuk menulis. Ini tidak berarti saya paham betul tentang wong ndeso, baik bicaranya,
diamnya, atau bahkan tertawanya. Secara hukum agama,
tergeraknya saya untuk menulis wong ndeso hanya sebatas mubah: ora nglakoni yo ora opo-opo, nglakoni yo ora opo-opo. Namun, saya yakin, meski saya menulis sejuta artikel
tentang wong ndeso, tak akan memberikan arti apa-apa dalam dimensi
apakah wong ndeso senang atau tidak, respon atau malah sebaliknya; tak acuh. Wong ndeso tetap saja nyantai menanggapi berbagai nada-nada
sindiran: mbok dienyek nganti entek ngamek mereka tetap
tertawa, ikut menertawai dirinya sendiri.
Namun, siapa sebenarnya wong ndeso? Apakah wong ndeso hanya sekumpulan manusia yang belum tercerahkan,
sebagamaina gambaran yang ada? Lalu definisi “tercerahkan’ itu apa? Sekadar mengacu pada kemajuan teknologi, ilmu pengetahuan, selera makan atau tata cara bergaul semata? Ataukah dimensi “tercerahkan” itu memiliki ruang lingkup yang lebih luas:
mencangkup luar-dalam, lahir-batin?
Wong ndeso, jika dizinkan saya menyebutnya, sepadan
dengan wong cilik. Wong ndeso dan wong cilik sama-sama tak
punya akses kekuasaan. Lantas jika ada yang bertanya, bagaimana dengan para
juragan, tuan tanah yang hidupnya magrong-magrong di desa, apakah masih
ketegori wong ndeso? Secara gaya hidup dan arah arti wong ndeso, para tuan-tuan ini sudah keluar dari lingkar wong ndeso, karena
setiap inci perubahan hidup, yang diiringi dengan kekayaan material maka secara
perlahan-lahan para tua-tuan ini akan belajar untuk menjadi “wongg kota”. Cara hidupnya berubah dan harus berubah agar
tidak dikatakan sebagai “wong ndeso”, meski hidupnya di desa.
Wong ndeso memang lebih banyak diamnya, atau kata-katanya
hanya sekadar geremengan. Meski mereka juga mempunyai
hak untuk berbicara, mempunyai wakil-wakil yang duduk di kursi dewan, namun “‘bos-bos dewan” ini kayaknya juga lebih suka nggremeng dibandingkan berteriak memperjuangkan nasib wong
ndeso. Akibat tidak memiliki akses
untuk menyalurkan gremengnya maka berubah menjadi kebisuan. Kebisuan yang terus terpendam.
Kehidupan wong ndeso semakin
termarginalkan, dipinggirkan sepinggir-pinggirnya, hingga untuk ruang geraknya
saja terasa sumpek. penjajahan-penjahan tiap hari terus berderap genjar
dilakukan oleh ‘mereka’ yang menganggap wong ndeso hanya sebagai kasta
rendahan. Akibatnya para ‘wong’ yang mengaku kasihan melihat tata cara hidupnya
wong ndeso ini perlu melakukan gebrakan-gebarakan untuk mengubahnya supaya tidak katrok-katrok amat. Namun benarkah mereka ini
sebagai “dewa penolong”, dewa yang selalu mengulurkan tangannya untuk
mengentaskan wong ndeso dari keterbelakangan? Ataukah sebenarnya tak
lebih monster, parasit yang menggerogoti kearifan wong ndeso?
Realitanya, kehidupan wong ndeso dijajah
setiap harinya. Kehidupannya dienyek entek-entekan. Kata-kata ‘ndeso’
tak lebih dari kata merendahkan. Jika ada sesuatu yang agak terbelakang
dikatakan ‘ndeso’. Pakaian yang tidak modis dikatakan ndeso. Suka makan di warteg, menu tahu-tempe, alergi makan ikan atau daging: dasar
ndeso. wajah ketinggalan zaman: ndeso. kadang saya ngelus dodo,
kenapa wong ndeso hanya jadi objek yang direndahkan, bahan tertawaan, lawakan
saja. Apakah wong ndeso benar-benar manusia yang patut menempati urutan
terakhir dalam kehidupan ini? Wajah ndeso,
gaya ndeso, logat ndeso seolah-olah haram menempati tempat
yang mulia, patutnya di bawah, hanya sebagai kawula.
Suatu ketika teman saya agak sedikit
tersinggung dan bertanya pada saya: “Kenapa kalau logat seperti itu tepatnya hanya
sebagai pembantu, sekedar penjual jamu? Kenapa pula nama Inem, Bik Pur, dan nama-nama lain yang berbau ndeso
perannya hanya cocok sebagai pekatik? Kenapa yang elo-gue,
bokap-nyokap, papi-mami, tidak pernah digunakan sebagai peran pembantu
saja?
Marahnya teman saya bukan karena pemerannya, melainkan karena terlalu seringnya logat-logat ndeso, wajah-wajah ndeso, dan gaya berpakaian ndeso yang selalu direndahkan. Kalau memang
dianggap ‘wong ndeso’ itu memang rendah, ya sudahlah, cukupkan saja pada
realita kehidupannya jangan dibawa kemana-mana, jangan diulang-ulang penghinaan
itu. Jangan menambah perih kenyataan hidup wong ndeso.
‘Mbok’; ‘Inem’; ‘Bik Pur’ adalah bentuk
panggilan yang sampai hari ini masih menandakan sebagai milik orang ndeso, dan jika bermain peran film cocoknya sekadar pembantu. Tak tanggung-tanggung ada teman
yang mempunyai nama bagus, bernilai filosofi tinggi dan dalam maknanya, hanya
gara-gara nama itu berbau desa, si pemilik nama enggan dipanggil nama depannya,
minta dipanggil nama belakangnya yang lebih keren, lebih “ngotani”. Sayang
sekali, apakah teman saya itu paham makna nama depannya yang penuh filosofi itu
bahkan dalam jajaran nama di Jawa itu merupakan nama agung, nama yang mengacu
pada “yang tertinggi”.
Akibatnya, banyak anak-anak yang lahir di desa
oleh ibunya diberi nama yang berbau kota, bahkan cenderung nama barat, misalnya
Madona. Saya cengar-cengir melihat gegap gempita perubahan nama yang
sekarang melanda desa saya, entah berapa tahun lagi saya tak akan menjumpai
nama Sri, Dwi, Arum, Ningsih, Parwoto, Ahmadi, dan lain sebagainya. Karena itu, dalam beberapa tulisan,
saya menggunakan nama samaran: Pangruwating Diyu, Lintang Arum Dhalu, dan
lain-lain. Nama-nama ini sebagai celengan
yang kelak akan kusematkan pada jabang bayiku
Jelek itu ndeso, sedangkan yang
bagus-bagus itu merujuk pada kehidupan kota. Saya tidak bermaksud marah pada
orang-orang kota namun saya hanya menyayangkan mindset yang terbentuk
terhadap wong ndeso. masih ingat lagunya Thukul “ biar wajah ndeso tepi
rejeki kota”. Seoalah-olah tak ada kerelaaan untuk mengakui jika ‘ndeso’
juga punya rezeki gede. Pandangan tentang ndeso selalu berkonatasi
dengan rezeki cilik, berpenghasilan cupet. Jika ada orang-orang desa
yang berpenghasilan tinggi, cepat-cepat diklaim rezeki kota. Kotalah yang syah
memiliki pengahasilan besar seseorang.
Untung saja wong ndeso masih memiliki
‘bunga desa’. Ya konotasi yang merujuk pada gadis desa yang mempunyai wajah
ayu, yang dapat dibanggakan untuk sedikit mengangkat martabat mereka. Namun
benarkah kata “bunga desa” itu sanggup menolong dari ketidakberdayaan
penindasan yang mereka hadapi? Ataukah, jangan-jangan kata ‘bunga desa’
hanyalah kata terselubung merendahkan kenyataan hidup? Mengapa kita tak pernah
bertanya, kalau desa punya bunga desa, kenapa kota kok tidak punya bunga kota?
Apakah hanya karena kota sudah terlalu sesak dengan bunga-bunga, sedangkan desa
telalu minim memiliki wajah ayu sehingga perlu dimunculkan istilah bunga desa?
Dalam cerita, lakon sinetron tv, memang bunga
desa selalu menjadi rebutan para pemuda. Namun, siapa yang menang? Ya, yang dapat memiliki bunga desa itu tak lain orang kota. Sejak zaman kerajaan, para
keturunan bangsawan, orang-orang yang tinggal di kota berduyun-duyun
menyuntingnya. dan memang begitu akhirnya mereka mendapatkannya. Dalam sinetron
yang berkembang saat ini selalu digambarkan seorang pemuda kota yang tampan
datang ke desa. Ketika melihat bunga desa pemuda kota tertarik
dan berusaha mendekatinya, ending-endingnya bunga desa itu jatuh
kepangkuan pemuda kota. Sedangkan pemuda desa hanya clingak-clinguk,
melepas hasrat yang tak tercapai.
Kenapa, sekali lagi kenapa, soal jodoh harus
dijalankan secara linier: cantik dengan tampan, jelek dengan jelek. Bukankah
jodoh itu seperti meramu sambal terasi: memadukan berbagai komposisi antara
manis, pedas, asin, dan rasa yang lainnya. Bukan sebaliknya yang manis dengan
manis, pedas dengan pedas, sebab itu hanya tidak akan terbentuk sambel terasi.
Artinya masalah jodoh adalah terjadinya dialektika antara sepasang kekasih yang
tidak dibatasi masalah rupa semata.
Kalau ada yang menyanggah: ada juga kok film,
cerita yang mengisahkan si cantik dapat si buruk rupa. Benarkah demikian?
Bukankah si buruk rupa hanyalah manusia yang dikutuk. Artinya sebelum menjadi
buruk rupa memang dia memiliki wajah yang tampan. Toh setelah masa kutukan itu
habis, dia akan kembali ke wujud semula, cantik/tampan.
Metafora wong ndeso berkonotasi
merendahkan dan mengejek. Wong ndeso, dalam peribahasa, tak lebih sekedar
si cebol nggayuh lintang , si punuk yang merindukan bulan. Impian yang
mustahil. Peribahasa, menurut tafsir saya, yang menunjukkan ketidakrelaan jika wong
ndeso ikut menikmati kekuasaan dan duduk sederajat dengan kaum elit.
Satu hal yang ceto welo-welo adalah: wong
ndeso menyimpan rindu dendam kepada kota. Wong ndeso ingin
menggantikan, jika mungkin, orang atau pihak yang mereka dendami.
Kota
dengan segala kemewahannya, gembyar, kekuasaan, kekayaan akan menjadi pusat
rindu dendamnya wong ndeso. Alhasil, setiap hari, setiap tahunnya
orang-orang desa berdatangan ke kota hanya untuk mewujudkan rindu dendamnya itu.
Jangan Anda
batasi, jangan Anda larang, lha wong sampeyan yang mengajari mereka untuk
hidup dengan gaya kota. Sampeyan yang setiap hari ngiming-ngimingi kemewahan
hidup lewat transistor-transistor. Sampeyan yang setiap hari ngejek kehidupan
meraka yang seolah-olah primitif. Kini mereka, wong ndeso,
berdatangan ke kota memenuhi panggilan, undangan sampeyan. Jika sampeyan
melarangnya, hanya satu pertanyaan untuk sampeyan: “Kamu
ini bagaimana atau wong ndeso harus bagaimana?”
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon