Sebererapa dahsyat mimpi mempengaruhi kehidupan
seseorang? Apakah mimpi mampu menimbulkan reaksi-reaksi yang terus bergejolak
menempuh orde-ordenya untuk membawa sang pemimpi meraihnya, meski harus
menempuh marabahaya sekalipun?
Mimpi memang kembang tidur, begitulah kata-kata yang
sering kita dengar. Namun, tak jarang pula lewat mimpilah kehidupan seseorang
bahkan dalam lingkup yang lebih luas perubahan itu terjadi. Nabi Yusuf adalah
contoh sederhana manusia yang kehidupannya banyak berubah karena mimpi. Lewat
mimpi Beliau dicelakakan oleh saudara-saudaranya karena merasa iri dengan
“sebelas bintang dan matahari bersujud” dalam mimpinya. Sebab mimpi “sapi kurus
dan setangkai rumput” Beliau diangkat menjadi perdana menteri. Mimpi memang
unik, terkadang kembang memang berubah menjadi biji dan bernas.
Kata-kata bijak mengatakan bahwa mimpi adalah bagian dari
tanda-tanda kenabian. Begitu pula dengan dunia sufi, mimpi merupakan media yang
dipakai Tuhan untuk menyalurkan ilmu hikmah. Tetapi tidak semua mimpi bisa
menjadi ilmu, pertanda atau ‘wahyu’ sebagaimana bunga yang tak semuanya bisa
menjadi biji. Sekali lagi, mimpi itu unik.
Begitu pula dengan Paulo Coelho, dalam Novel Sang Alkemis
(The Alchemist), mengangkat mimpi menjadi inspiri dalam tokoh sentralnya
yaitu anak laki-laki yang bernama Santiago. Santiago adalah anak kecil,
pengembala domba-domba miliknya, jiwa petualang dan pembelajar sejati. Pengembaraan
Santiago bermula mimpi yang selalu hadir dalam tidurnya. Dalam mimpinya,
Santiago melihat dirinya diraih oleh seorang anak dan dipindahkan ke
piramida-piramida: “Lalu tiba-tiba anak itu meraih kedua tanganku dan
memindahkanku ke piramida-piramida Mesir”. Menurut ucapan anak kecil dalam
mimpinya “kalau kau mau datang kemari, kau akan menemukan harta karun”.
Menurut ahli tafsir mimpi, jika si anak laki-laki mau
pergi ke piramida-piramida itu dia akan menemukan harta karun yang kelak akan
membuatnya kaya raya. Tetapi ahli tafsir mimpi tidak bisa memberi solusi bagaimana
caranya agar anak tersebut sampai ke mesir. Si anak laki merasa kecewa dan
memutuskan untuk melupakan mimpinya.
Di saat kekecewaan itulah tiba-tiba hadir sosok laki-laki
tua berjubah, mengaku raja Salem. Lelaki tua inilah yang mendorong agar si anak
laki-laki mewujudkan mimpinya sekaligus menjalani takdirnya yang telah tertulis
oleh tangan yang sama. menurut laki laki tua itu takdir merupakan sesuatu yang
selalu ingin dicapai. Pada titik ini pulalah (keinginan) segalanya jelas,
segalanya mungkin. Namun, pada titik ini pulalah terkadang usaha untuk mencapai
keinginan itu menyerah pasrah.
“...tapi dengan berlalunya waktu, ada daya
misterius yang mulai meyakinkan mereka bahwa mustahil mereka bisa mewujudkan takdir
itu.” justru saat inilah sebenarnya ujian hanya sebagai bentuk penguatan jiwa
dan menunjukkan jalan takdir. Simak kata-kata laki-laki tua: “ Daya ini
adalah kekuatan yang kelihatannya negatif, tapi sebenarnya menunjukkan padamu
cara mewujudkan takdirmu. Daya ini mempersiapkan rohmu dan kehendakmu, sebab
ada satu kebenaran mahabesar di planet ini: siapapun dirimu, apapun yang kau
lakukan, kalau engkau sungguh-sungguh menginginkan sesuatu, itu karena hasrat
tersebut bersumber dari jiwa jagat raya. Itulah misimu di dunia.”
Kata-kata yang sarat makna. Tentunya jika setiap manusia
menyadari tentang keberadaannya di dunia ini, tapa kesadaran misinya yang ada
hanyalah gelisah resah. Di dunia beragam jenis manusia dan pekerjaan ditemukan
mulai dari yang jelata sampai raja. Semua itu bukanlah pilih kasihnya Tuhan,
melainkan memang kesengajaan Tuhan menciptakan dan menjadikan manusia sesuai
kodratnya. “satu-satunya kewajiban manusia adalah mewujudkan takdirnya.
Semua satu adanya.”
Sejak perjumpaan dengan laki-laki tua itulah si anak
laki-laki memutuskan untuk meninggalkan Andalusia, negerinya, menuju Mesir. Dia
tidak tahu letak mesir itu berada yang dia tahu adalah harus menyeberangi
lautan, menempuh padang pasir yang luas. Cita-cita, impiannya telah
mengantarkan anak laki-laki mengembara ke Tangier serta padang gurun Mesir, dan
di sanalah dia bertemu Sang Alkemis yang menuntunnya menuju harta karunnya,
serta mengajarinya tentang jiwa dunia, cinta, kesabaran, dan kegigihan.
Inti novel ini terletak pada Alkemis itu sendiri. Alkemis,
hemat saya, bukan mengacu pada nama seseorang meskipun di dalam novel ini
memang tokoh alkemis ada. Tetapi kalau kita simak baik-baik, alkemis adalah
pengembaran sang anak sendiri. sebab dalam pengembaraan ini pulalah sang anak
menemukan berbagai pelajaran yang berharga untuk kehidupannya. Sebagaimana para
alkemis yang setia di laboratoriumnya; mereka percaya kalau sebentuk logam yang
dipanaskan bertahun-tahun, logam itu akan membebaskan diri dari semua
sifat-sifat individualnya, dan yang tersisia adalah Jiwa Dunia. Sebuah
transfofmasi dari debu menjadi permata, batu menjadi emas, dari manusia biasa
menjadi insan kamil.
Konon, dalam sejarahnya, kimia lahir karena adanya impian
dari kalangan filsuf yang meyakini bahwa segala sesuatu berasal dari satu jiwa.
Kepercayaan itu pulalah yang menggerakkan untuk mencoba mensitesis batu menjadi
emas. Bahkan kitab dari bapak kimia, Jabir al-Hayan, dinamakan “Kutub Al-Ahjar”.
Pertanyaan yang masih tersisa adalah kenapa harus perubahan batu bisa berubah
menjadi emas, bukan yang lain?
Pengembaraan sang anak layaknya reaksi kimia, sebuah
bentuk proses mencari bentuk jati diri, mempelajari banyak hal: soal cinta,
persahabatan, usaha, keteguhan seorang pemimpi. Ketika dia memutuskan untuk
mencari harta karun, sebetulnya dia baru memulai tantangan hidup, menghadapi
arus yang sewaktu-waktu bisa menyeret jiwanya. Memang benar, petualangan
mengejar impian memang harus jer basuki mawa bea, perlu pengorbanan.
Domba-dombanya habis terjual, tertipu oleh para peramal, menghadapi badai gurun,
peperangan antar suku. Tetapi semua itu tak seberapa jika bandingkan dengan
hasil dan pelajaran dari pengembaraan. Inilah hikmah menikmati proses belajar.
Hal yang paling penting adalah bahwa harta karun itu
tidak berada di Mesir, di antara piramida. Justru harta karun itu berada di
negaranya, Andalusia. Pembaca bisa mengambil pelajaran bahwa kekayaan itu
bukanlah di “sana” melainkan di “sini”. kekayaan itu tidak berada di barat atau
di timur tetapi di sini, di dalam hati itu sendiri. sebagaimana percakapan
antara si anak laki-aki dengan Sang Alkemis:
“Mengapa kita harus mendengarkan suara hati
kita?” tanya si anak, ketika mereka mendirikan tenda pada hari itu.
“Sebab, di mana hatimu berada, di situlah
hartamu berada.”
Untuk menemukan amanat, pelajaran dari novel ini pembaca
harus membaca secara runtut, sesekali berhenti sambil merenungkan setiap
kalimatnya. Pasalya, pelajaran itu terbentang dari awal sampai akhir ceritanya.
Sebagaimana kesetiaan sang anak mengembara menelusuri perjalanan pengembaraan.
Akhirnya pelajaran itu, harta jiwa ada hanya di hati para pembaca layaknya
harta karun yang tidak ada di Mesir tetapi di Andalusia bagi si anak laki-laki.
Selamat membaca.
Judul : The Alchemist (Sang Alkemis)
Penulis : Paulo Coelho
Penerjemah :
Tanti Lesmana
Penerbit : Gramedia Pustaka, Jakarta
Tahun Terbit : cetakan kedua belas, September 2011
Tebal :
213 halaman
ISBN : 978-979-22-1664-6
Genre : Sastra
(Novel)
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon