Suatu ketika, guru SD saya berkata jangan seperti wong
Samin jika disuruh kerja bakti pasti datang tetapi hanya datang saja tidak
membawa alat untuk bersih-bersih. Jelas yang dimaksud dengan guru saya adalah
soal kekolotan masyarakat Samin yang mengerjakan sesuai apa yang diperintahkan.
Stereotip negatif begitu kuat melekat pada masyarakat samin sebagai orang yang
aneh, tidak seperti masyarakat umumnya.
Berhenti disitu sajakah citra negatif yang diberikan pada
masyarakat Samin? Tidak, banyak hal-hal negatif lain yang tertumpah begitu saja
padanya. Saya katakan tertumpah sebab biasanya kata-kata negatif itu meluncur
begitu saja tanpa ada telaah yang mendetail hal ihwalnya mengapa masyarakat Samin
menjalani kehidupan yang kita anggap tidak sesuai dengan kebiasaan masyarakat
umum. Bagaimana masyarakat Samin menanggapi berbagai citra negatif tersebut?
Moh. Rosyid lewat penelitiannya yang kemudian teraktualisakan lewat buku “Samin
Kudus: Bersahaja Di Tengah Asketisme Lokal” memberikan paparan yang dapat kita jadikan
referensi, bahkan kaca benggala untuk bercermin soal kearifan lokal dari
masyarakat Samin.
Gerakan Samin esensinya adalah gerakan yang dilakukan
kaum petani terhadap kebijakan yang menindas rakyat kecil. Gerakan perlawan
petani terhadap cengkeraman penjajah jamak terjadi di Asia Tenggara pada waktu
itu. Perlawan ini menimbulkan beberapa hipotesa: pertama, menurut
Soerjanto (2003: 51) kemrosotan wibawa penguasa pribumi di era penjajahan Belanda,
gerakan Samin berbentuk ritualisme, mistisisme dan isolosi diri, kedua,
perlawanan terhadap penjajah Belanda dengan menolak membayar pajak sebab
manfaat pajak hanya dinikmati kaum penjajah bukan kaum pribumi., ketiga,
perlawanan dalam bentuk ekspresif yakni membentuk pasukan yang merampok
orang-orang kaya yang ditengarai sebagai antek Belanda.
Istilah Samin sendiri memiliki pengertian/bermakna:
“sama” yakni sama-sama melawan penjajah Belanda. Ada yang menyebutkan istilah Samin
sendiri melekat karena mengikuti nama tokoh gerakan ini yakni Raden Samin
Surontiko atau Raden Suratmoko putra bupati Tulungagung. Nama Samin bermakna:
“sami-sami amin” mempunyai arti jika semua setuju maka dianggap syah (sebuah
gerakan melawan penjajah, (sama) sebagai bentuk dukungan dari rakyat.
Masayarakat Samin sebenarnya masyarakat yang tidak suka koar-koar
atau suka unjuk kekuatan menentang pemerintah. Masyarakat Samin punya cara
sendiri yakni dengan diam, menafsirkan peraturan pemerintah apa adanya atau
sesuai tafsiran mereka. Masyarakat Samin mempunyai prinsip dasar dalam beretika
berupa pantangan untuk tidak: dengki (fitnah), srei (serakah), panasten
(mudah tersinggung), dawen (mendakwa tanpa buki), kemeren (iri
hati/sirik), ngiyo marang sepodo (bebrubuat nista sesama), waton
meningso tur gelem di ndaku sedulur (tidak boleh menyacat, dan asal manusia
dijadikan saudara).
Sedangkan lima pantangan dasar dalam berinteraksi
meliputi: bedok (menuduh), colong (mencuri), pethil
(mengambil barang yang masih melekat dengan sumber kehidupannya), jumput
(mengambil barang), nemu wae ora keno (menemukan menjadi pantangan).
Prinsip dasar Samin dalam berinteraksi dengan lingkungan
sekitra sangat ramah, sopan sebagaimana etika masyarakat pada masyarakat
sekitarnya, jika terjadi konflik tindakan yang dilakukan adalah berupa tindakan
semeleh atau tindakan dengan tidak melakukan perlawanan fisik, psikis
maupun aktivitas yang lain. Bila dicuri, dibenci, dan ditipu pun mereka
biarkan. Dalihnya adalah bahwa dengan membiarkan sebagai ekspresi diam dengan
harapan secara alami yang berbuat negatif dan anarkis akan kembali baik seperti
semula bahkan ketika masyarakat samin ketika dicuri barangnya dan ketangkap
pelakunya akan diberi tambahan barang (materi) jika ada.
Bandingkan dengan keadaan masyarakat sekarang ini yang
begitu latah menanggapi segala sesuatu yang menimpanya. Kekerasan cepat
menyumbul bak air bah yang tak terkontrol. Pencuri tertangkap langsung dihajar
habis-habisan sedangkan koruptor tertangkap malah mendapat pelayanan mewah.
Inilah perbandingan antara masyarakat Samin dengan masyarakat postmodern
yang mengklaim dirinya sebagai manusia terdidik tetapi kenyataannya dalam
mensikapi persolan kehidupan jauh dari kata “didik” sendiri.
Masyarakat Samin dalam menyikapi kehidupan sosial politik
cukup unik. Semisal soal KTP, bagi masyarakat samin esensi KTP adalah
(peristilahan) berupa bentuk perwujudan berupa istri, bagi laki-laki, suami
bagi perempuan sedangkan bagi yang belum menikah adalah orang tuanya.
Bagi Samin Sangkak, mereka beranggapan bahwa “KTP”
merupakan wujud yang dikirotobosokan menjadi: K: karep, T: tekad,
dan P: parek sebagai perwujudan hubungan kelamin (suami-istri). Boleh
saja kita mengatakan tafsir masyarakat Samin sebagai hal lucu dan kolot tetapi
alangkah baiknya kita merenungkan kembali soal esensi KTP itu apa? Apakah benar
tanda sebagai penduduk hanyalah kartu? Apakah kartu memang bisa mewakili anda
sebagai warga suatu wilayah?
Satu hal yang belum bisa dilayani dalam masalah KTP
adalah soal agama. Masyarakat Samin menganut Agama Adam, sedangkan di negeri
ini Agama Adam tidak tercantum sebagai pilihan dalam kebebasan menganut agama.
Apakah dikosongkan? Jelas tidak mungkin, negara ini tidak mengzinkan orang
tidak punya agama bercongkol. Lantas alternatifnya bagaimana? Biasanya pihak
administrasi mengisi dengan agama tertentu, meskipun demikian mereka tidak
bereaksi atau protes karena lebih mempertimbangkan terwujudnya kedamaian.
Dalam simpulannya, Moh. Rosyid, bahwa dalam ajaran,
kehidupannya masyarakat Samin jauh dari citra nagatif sebagaimana yang ada.
masyarakat Samin merupakan masyarakat yang masih memegang prinsip
kepercayaannya secara teguh meski gempuran budaya modern dengan berbagai varian
kini mengepungnya. Prinsip hidup yang adiluhung yang mengedepankan norma etika
kemanusiaan yang tinggi nan mulia dari sisi budaya dan agama. Prinsip hidup
masyarakat samin tidak bertentangan dengan “Agama Pancasilais”, sehingga siapa
saja sebetulnya bisa belajar dan mengambil prinsip keteguhan hidup masyarakat
samin.
Alangkah indahnya jika setiap elemen masyarakat teguh
dalam memegang ajaran keyakinannya, tanpa pemaksaan, tanpa kekerasan, tanpa
cela-mencela, tanpa klaim siapa yang paling benar. Sebab proses kehidupan belum
berakhir. Sebab pengadilan Tuhan yang terakhir belum digelar, dan kenapa kita
sering suka mendahului ketok palu Tuhan: untuk menentukan mana yang benar mana
yang salah?
Judul : Samin Kudus: Bersahaja Di Tengah Asketisme
Lokal
Penulis : Moh. Rosyid, M.Pd.
Penerbit : Pustaka Pelajar Yogyakarta
Tahun terbit : cetakan I, Desember 2008
Tebal : xvi + 248 halaman
ISBN : 978-602-8300-61-2
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon