Demokrasi, saat ini, menjadi sistem pemerintahan yang digadang-gadang. Sebab, demokrasi menjadi representasi rakyat yang “berkuasa” atas negaranya. Rakyat bukan sekadar manusia-manusia yang nunut hidup di serambi negara yang dikuasai oleh segelintir orang. Demokrasi juga menjamin adanya kontrol yang berimbang dalam jalinan kuasa rakyat-kuasa pemerintah, dengan demikian kehidupan berbangsa berimbang. Ibarat memegang stir sepeda, tidak cuma satu tangan, tetapi dua tangan yang menghandel.
Vox populi vox dei, suara rakyat adalah suara Tuhan. Begitu elok dan memesona kalimat itu. Firman-firman Tuhan ternyata terselip dalam bibirnya rakyat. Iradah Tuhan menyatu dalam iradahnya rakyat. Keinginan rakyat, yang juga vox dei, jika tidak dituruti akan mengundang murka Tuhan. Maka, pemerintah yang berkuasa setidaknya jangan banyak tingkah di depan rakyat. Kecuali, sang pemerintah mampu membujuk Tuhan agar sedikit mengurangi campur tangan-Nya.
Namun, di tengah gegap gempita perayaaan demokrasi, terkadang kita terlalu sembrono dan mempermainkan demokrasi. Demokrasi hanya menjadi alat untuk memperebutkan kekuasaan. Demokrasi menjadi topeng-topeng kerakusan dalam proses berebut ubo rampe Nusantara. Tak heran, di sana-sini bermunculan politik dinasti, kekuasan turun temurun: hari ini suaminya raja, tahun berikutnya istrinya, berikutnya anak-anaknya, berikutnya lagi cucu-cucunya. Yang penting mekanisme pemilihannya diselenggarakan dengan demokrasi: sudah sah.
Begitu mudahkah penyelenggaraan demokrasi di negeri ini? Apakah demokrasi yang kita gumamkan ini, senyawa kontes audisi di tv-tv? Hanya berdasarkan “suara terbanyak”, mengenal hanya lewat spanduk-spanduk dan iklan-iklan yang bertebaran menjelang pemilihan? Wah, kok, penyelenggaraan pemilihan pemimpin mirip dodolan jamu di pasar.
Demokrasi itu harga mati
Demokrasi itu kebenaran sejati
Demokrasi itu prinsip yang mutlak, pedoman perikehidupan yang bersifat absolut, tidak boleh ditolak, tidak boleh dipertanyanyakan, bahkan sedikit pun tidak boleh diragukan. Demokrasi itu La Raiba Fih.
Alquran boleh bilang bahwa dirinya La Raiba Fih, tak ada keraguan padanya. Tetapi menurut undang-undang di negeriku orang boleh meragukan Alquran, tidak melanggar hukum jika meninggalkannya, bahkan terdapat kecenderungan psikologis empirik untuk menganjurkan secara implisit sebaiknya orang meninggalkannya. (hlm. 54).
Tetapi tidak boleh bersikap demikian kepada demokrasi. Demokrasi-lah la raiba fih yang sejati. Di dalam praktik konstitusi negeriku demokrasi lebih tinggi dari Tuhan. Tuhan berposisi dalam lingkup hak pribadi setiap orang, sedangkan demokrasi terletak pada kewajiban bersama, dan itu berarti juga kewajiban pribadi. Orang tidak ditangkap karena mengkhianati Tuhan, tetapi berhadapan dengan aparat hokum kalau menolak demokrasi (hal.54-55).
Jelas, maksud, Emha di sini adalah nglulu demokrasi. Demokrasi di negara ini seakan satu-satunya alat yang bisa mengurai benang kusut masalah bernegara. Demokrasi dipuja di mana-mana, siapa atau apa pun yang tidak demokrasi atau setidaknya berbau demokrasi dianggap melanggar kesepakatan hidup bersama. Namun, sayangnya, demokrasi yang seharusnya beraneka ragam pilihan, beraneka ragam suara yang ada hanyalah satu pilihan, kalaupun terlihat berwarna tetapi esensinya hanya satu. Demokarasi tersandera oleh kepentingan “orang-orang” yang sedang melingkarinya.
Politik, cara pandang yang hanya di dasarkan pada kepentingan inilah yang membuat demokrasi berjalan limbung. Terseok-seok menghantarkan rakyat Indonesia ke kehidupan yang madani. Sebab kepentingan, tak ada kekekalan dalam memperjuang visi dan misi partai maupun organisasi. Kita siap merubah visi dan misi kapan pun, di mana pun asal masih menguntungkan terhadap pribadi atau golongan. Dengan apik, Emha meracik puisi yang menyentil sikap plin-plan ini:”… ayam tak hanya pandai berkokok/ Ia sanggup juga menggonggong, asalkan itu yang diperlukan/ Anjing tak hanya siap menggonggong/ Ia siap juga berkokok, asalkan itu yang menguntungkan…”(hal. 60)
Apakah demokrasi salah menyediakan jalan kepada manusia yang percaya diri dalam mengurus suara rakyat? Jelas tidak, demokrasi bukan makhluk hidup yang bisa jewer pihak lain, yang salah meperlakukannya. Demokrasi itu bak ‘perawan’, yang merdeka dan memerdekakan. Watak utama demokrasi adalah ‘mempersilahkan’. Tidak punya konsep menolak, menyingkirkan, atau membuang. Semua makhluk penghuni kehidupan berhak hidup bersama si perawan, bahkan berhak memerkosanya: yang melarang memerkosa bukan si perawan itu sendiri, melainkan”sahabat”nya yang bernama moral dan hukum.
Para capres, caleg, cagub-cawagub, cabub-cawabub, bisa mengendarai perawan untuk berhak menyerap dana dari siapa pun demi menerapkan strategi mencapai jabatan yang hendak diraihnya. Money politic tidak dilirik atau diawas-awasi oleh Perawan, karena yang bertugas untuk itu adalah undang-undang. Demokrasi bukan tak punya daya untuk mengantisipasi korupsi dan penyelewengan, tetapi memang itu bagiannya.(hal. 50)
Membaca tulisan-tulisan Emha memang terasa geli menyimak perilaku kehidupan demokrasi di negara ini. Emha berhasil menampar ‘wajah’ demokrasi kita tanpa harus merasa tertampar. Ketidakterasaan ini boleh jadi karena Emha pandai meramu, membuat sanepan (anologi-anologi), atau memang sudah begitu parah tergerusnya rasa malu yang dimiliki oleh bangsa ini. Emha pandai menyusup dan mengambil inti permasalahan demokrasi di Indonesia kemudian mengolah dan menyajikan permasalahan tersebut dengan warna yang berbeda, sesuai karakternya yang cair.
Jika memang demokrasi bak ‘perawan’ yang berwatak mempersilakan maka bagi kita yang menikmati ke’perawan’an itu sudah selayaknya menjaganya. Jangan sampai sang perawan itu terseok-seok menanggung keculasan dan kerakusan segelintir orang yang mengaku hendak menolongnya. Setidaknya kita harus menguatkan, menghidupkan sikap jantan ‘sahabatnya’ (moral dan hukum) supaya Sang Perawan benar-benar menikmati ke’perawan’annya.
Judul Buku: Demokrasi La Raiba Fih
Penulis: Emha Ainun Nadjib
Penerbit: Kompas Media Nusantara
Tahun terbit: Mei 2010
Tebal: 282 halaman ISBN: 978-979-709-427-0
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon