Bagaimanaupun juga, agama meski memiliki sisi
batini yang lebih banyak dibandingkan sisi lahir-dunawiyah tetap harus mampu
mengisi ruang-ruang dunia tersebut. Agama dan cara beragama tidak mungkin
menyingkir dari pergulatan sejarah manusia. Agama yang berorientasi pada
“ketenangan batin” tidak mungkin bersebunyi di balik kalbu penganutnya dan
hanya muncul menjelang ritual semata. Justru dari dalam batin tersebut agama
mampu memberikan kontribusi dalam menuntun pergaulan umatnya di pentas global
maupun lokal sehingga benar-benar menjadi rahmatan lil’alamin.
Islam, sebagai salah satu agama samawi dengan
penganut terbesar, pun tidak bisa bersuka ria melihat penganutnya yang begitu
banyak. Umat Islam harus mampu membuktikan diri sebagai “khoiru ummah”
dengan misi sebagai “rahmatan lil’alamin”. Tantangan yang kini dihadapi
umat Islam mencakup skala global, lokal dan penegasan misi “rahmat untuk alam”.
Di tingkat global, Umat Islam menghadapi berbagai isu khususnya terorisme yang
sering dialamatkan kepadanya. Akibatnya, muncul sikap Islamophobia yang
berujung sikap represif sekaligus keraguan tentang niat “rahmat untuk alam”
tadi. Skala lokal, sebagaian umat Islam sering bergesekan dengan nilai-nilai
lokal, seperti dasar negara maupun adat istiadat yang dianggap bertolak
belakang dengan nilai-nilai ketauhidan. Dengan kata lain, masalah terorisme,
kekerasan, dan menolak kearifan lokal dan pluralisme merupakan antitesis
terhadap Islam sebagai rahmatan lil’alamin.
Machasin, dalam buku ini, mencoba untuk
menguraikan tantangan yang kini tengah dihadapi Umat Islam dan mencoba
menafsirkan ajaran Islam. Tujuannya tidak lain untuk memberikan jawaban
terhadap tantangan global, lokal dan penegasan misi Islam sebagai rahmatan
lil’alaimin.
Tantangan pertama di skala global adalah
globalisasi. Globalisasi bak gelombang yang menyapu segala sendi kehidupan
manusia yang membawa konsekuensi, di samping kemudahan-kemudahan yang
dibawanya. Di antaranya adalah kenyataan bahwa suatu kelompok manusia,
peradaban, agama, tradisi, dan jenis-jenis kegiatan kebersamaan manusia
lainnya, tidak dapat terlepas dari masyarakat dunia.
Semuanya berada dalam masyarakat dunia yang
satu, masing-masing terpengaruh oleh dan/atau mempengaruhi kehidupan dan
perjalan dari yang lain. seharusnya dalam kehidupan bersama itu tidak ada yang
merasa dirinya paling benar, memaksakan “kebenaran” yang dipersepsikannya dan
tidak memberikan tempat bagi yang lain; walaupun selalu saja ada kelompok,
budaya atau cara pandang tertentu yang menjadi penentu, di samping mereka yang menjadi figuran atau bahkan objek
penderita.
Dalam hal ini, secara garis besar, pihak-pihak
yang ada dalam panggung kehidupan ini dapat digolongkan menjadi tiga golongan:
(1) yang di tengah dan berusaha mempertahankan perannya sebagai tokoh-tokoh
penentu, (2) yang di pinggir dengan obsesi untuk dapat ke tengah dan merebut
peran penentu atau tak peduli dengan apa yang terjadi di tengah dan memuaskan
diri dengan keadaan pinggir, dan (3) yang berusaha untuk menemukan komposisi
yang adil bagi semua. Umat Islam, kini menempati posisi yang di pinggir,
sementara yang di tengah adalah kaum tradisoanal yang dianggap musuh Islam.
Umat Islam, kalau konsisten dengan perannya
sebagai saksi bagi seluruh manusia, mestilah tampil ke depan, bukan untuk
berkuasa, melainkan untuk mengarahkan kehidupan pada jalannya yang lurus. Akan
tetapi, harus diingat bahwa kebenaran tidak hanya dipihaknya, tetapi juga di
hampir seluruh komunitas. Semuanya bertanggung jawab bagi keberhasilan umat
manusia, memuliakan diri dan lingkungannya.
Tantangan
di tingkat lokal adalah budaya. Agama, sebagai sesuatu yang lekat dengan
kehidupan manusia pun, tidak berbeda keadaannya: mesti dipahami dan dijalani
dalam kerangka budaya. Tidak ada satupun agama yang bebas dari tradisi panjang
yang dihasilkan oleh bangsa atau masyarakat yang warganya menjadi pemeluknya.
Hal ini, antara agama dengan budaya, selalu terjadi interaksi antara keyakinan
keagamaan yang dianggap suci dengan kreativitas manusia serta budayanya yang
dianggap profan.
Islam, dalam perkembanganya, pun berinteraksi
dengan tradisi bangsa-bangsa yang memeluknya dan menyerap unsur-unsur budaya
lokal yang dilewatinya. Sikap Islam terhadap budya lokal dapat dipilah menjadi
tiga, yaitu: (1) menerima dan mengembangkan budaya yang sesuai dengan
prinsip-prinsip Islam dan berguna bagi pemuliaan kehidupan umat manusia, (2)
menolak tradsi dan unsur-unsur budaya yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam,
dan (3) membiarkan saja, seperti pada cara berpakaian asal tidak melanggar
prinsip-prinsip ajaran Islam.
Islam sebagai rahmatan lil’alamin
adalah ketika Islam disebarkan dengan cara lembut dan penuh kasih sayang. Kasih
sayang tidak membuat orang yang dikasihani terhina, takut dan jengkel, tetapi
mengangkat martabatnya, membuatnya bangga, membantu menemukan yang terbaik
dalam kehidupannya.
Judul Buku : Islam Dinamis Islam Harmonis, Lokalitas,
Pluralisme, Terorisme
Penulis : Machasin
Penerbit :
LKiS, Yogyakarta
Tahun Terbit : cetakan I: 2012
Tebal : xiv
+ 342 halamanSign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon