Hidup ini belajar dan
belajar. Bagaimana Anda belajar berfilsafat secara mendalam; tidak hanya tahu,
tetapi juga mengerti?
Untuk
menjawabnya, perlu pemilahan subtansi pertanyaan, kemudian memberikan definisi
supaya jelas arah pertanyaan sekaligus jawabannya. Jika dicermati, ada tiga pokok materi yang termuat dalam
pertanyaan tersebut, yakni (ber)filsafat, tahu, dan mengerti.
Pertama,
filsafat. Secara etimologis filsafat berasal dari beberapa bahasa, misalnya
bahasa Inggris dan Yunani. Dalam bahasa Inggris, yaitu philosophy, sedangkan dalam bahasa Yunani philein atau philos dan sofein atau sophi. Ada pula yang mengatakan, filsafat berasal dari bahasa Arab,
falasafah yang berarti al-hikmah. Akan tetapi, awal mula kata
itu dari bahasa Yunani, yaitu philos
yang berarti cinta, sedangkan sophia artinya
kebijaksanaan. Maka, filsafat secara etimologis (bahasa) berarti cinta
kebijaksanaan, yang dalam bahasa Arab diistilahkan sebagai al-hikmah. Berfilsafat atau berpikir secara filsafat merupakan
proses kritis dan mencari. Sikap ini merupakan sikap toleran dan terbuka dalam
melihat dalam berbagai persoalan dengan pelbagai sudut pandang.
Kedua,
perbedaan antara tahu dan mengerti. Sepintas kata ini hampir sama, tetapi jika
dihadirkan dalam waktu yang sama ternyata membawa kesulitan-kesulitan untuk
memahaminya. Menurutku, “ tahu” jika dalam bahasa Inggris adalah know, sedangkan dalam bahasa Arab diungkapkan
dengan kata arif. “Tahu” berarti
memiliki informasi yang tersimpan dalam benaknya. Sedangkan “mengerti” sepadan
dengan understand atau alim, yang berarti mengetahui pola-pola
kesamaan atau perbedaan, sebab-sebab, fungsi-fungsi, atau tujuannya.
Nah,
jika yang dituntut adalah berfilsafat secara mendalam, “mengerti” berarti dalam
mempelajarai filsafat itu atau dalam menganalisis yang diharapkan tidak sekadar
memiliki informasi, tanpa tahu seluk beluk problem tersebut, tetapi dalam
tataran lebih tinggi kita juga harus tahu hal ihwal, tujuan, fungsinya dari
problem yang sedang muncul.
Untuk
mencapai “mengerti” yang dibutuhkan adalah selalu bersikap kritis, dialektis,
atau menyangsikan segala yang sudah kita “tahu”. Sebab, berfilsafat bukanlah
proses menyimpulkan melainkan seperti “membongkar dan terus membongkar” yang
sudah ada. Dalam dunia filsafat dikenal dengan tiga cara untuk mendapatkan
“sesuatu”, dan ketiga cara ini aku anggap sebagai cara yang tepat untuk
mencapai maqam “mengerti”. Ketiganya
yakni epistemologi, ontologi, dan aksiologi. Jika kita berpegang pada ketiga
unsur tersebut, setidaknya, menjadi lebih mengerti, tidak hanya tahu.
Epistemologi
secara sederhana bisa artikan sama dengan “apa”, yakni mempertanyakan
“sesuatu”, sedangkan ontologis adalah “mengapa”, dan aksiologi “bagaimana/untuk
apa”. Sekali lagi, ketiganya ini bukan alat untuk menyimpulkan melainkan
sebagai cara untuk “membedah” dan terus “membedah” tanpa henti. Berfilsafat
sama halnya metode berpikir siklik, berputar bukan linier mekanis. Hanya dengan
berpikir siklik, berputar, kritis, tidak cukup puas dengan jawaban satu tetapi
terus mengejar jawaban-jawaban dari jawaban itu. Intinya, jawaban dalam dunia
filsafat adalah pertanyaan baru yang harus segera dijawab, begitu seterusnya.
Sebagaimana Sokrates yang mengajarkan dialektika ketika berhadapan dengan kaum Sophis
dan kekuasan pemerintah meski akhirnya bapak filsafat itu harus dipenjara dan
meminum racun demi mempertahankan keyakinannya (filsafatnya). Konsekuensi
berfilsafat adalah “tidak tenang”, alam pikir yang selalu bergemuruh,
menggemakan hal-hal yang perlu digemakan. Ibaratnya, filsafat itu dunianya
pendekar yang selalu mengembara dari satu titik ke titik yang lain, tanpa ujung
pangkal. Ketidak adanya ujung-pangkalnya itulah baru bisa disebut berfilsafat
secara mendalam dan mengerti. Sebab, mengembara bukan berarti kita tidak tahu
tetapi ada yang yang ingin dimengerti lagi.
Saudara mempunyai
filsafat hidup (motto/pepatah/motivasi) jelaskan secara filsafat!
Motto
hidupku adalah anglaras ilining bayu,
angeli ananging ora keli. Jika diartikan secara kasar ke bahasa Indonesia
adalah “menikmati mengalirnya arus air, menghanyutkan diri ke pusarannya tetapi
tidak terhanyut”. Sepintas, pepatah ini memang penuh paradoks, saling
bertabrakan satu sama lain, namun jika dicermati secara mendalam terletak
keteguhan hidup, meski hidup yang penuh keruwetan itu tidak bisa dihindari.
Dalam
dunia gending Jawa, nglaras berarti
menikmati untaian kata bersamaan dengan harmoni ketukan alat musik. Orang nglaras adalah orang sedang berproses
dengan begitu nikmatnya, kadang mata terpejam, kadang juga menerawang jauh
bersamaan dengan alunan gending itu sendiri. Orang nglaras tidak perlu berjoget ria, teriak-teriak, atau apa saja layaknya
cara menikmati musik popular. Nglaras
mirip bayi sedang netek di pangkuan sang ibu, yang mencoba mencercap sedikit
demi sedikit ASI yang kelak akan menjadi senyawa bagi kehidupannya.
Ngalar
ilining banyu berarti mengambil hikmah cara air
mengalir atau bagaimana kehidupan air itu sendiri. Ilmu IPA mengajarkan bahwa
air mengalir dari tempat yang tinggi menuju dataran yang lebih rendah, yakni
samudera. Meski air juga bisa berjalan
“naik” ke langit melalui proses penguapan. Ini berarti aliran air tidak melulu
tinggi-rendah, tetapi tergantung kondisi dan waktu. Yang pasti, ada tujuan
mulia yang ingin digapai oleh air. Jika ia padat maka kepadatannya membawa
keberuntungan tersendiri, jika gas maka air akan segera mengumpul,
medekadensikan diri membentuk gumpalan awan yang kemudian jatuh dalam bentuk
hujan.
Kehidupan,
cara hidup air adalah mengumpul atau berjamaah, sebab dengan mengumpul ia
menemukan arti sebagai air. Keberjamaahannya inilah ia menemukan kekuatan yang
terkadang dirindukan, terkadang pula ditakuti. Namun air adalah air; entah ditakuti
atau tidak, air akan menjalankan fitrah hidupnya: mengumpul. Air yang mengalir
akan terus mengalir, meski itu celah-celah tanah kemarau. Ia tidak memilih, sebab
alirannya itulah pilihannya.
Air
akan terus mengalir. Bagaimana dengan air yang dibendung? Air yang dibendung
bukan berarti diam dan pasrah. Sebetulnya, saat dibendung itu ia mengumpulkan
kekuatan yang mengharuskan si pembendung untuk memilih: membuka kran atau air
itu luber dan melanjutkan perjalanannya lagi. Air tak pernah berhenti berproses
menemukan tempat akhirnya.
Tujuannya
air adalah “manfaat”. Jika berwujud cair, air akan berusaha mengairi tanaman,
dimanfaatkan manusia. Jika dalam wujud padat, air digunakan sebagian orang
untuk dinikmati sebagai sajian minuman. Di belantara gurun es, air menjadi objek
wisata, yakni sky es (salju), selain itu es di kutub merupakan balance, penjaga keseimbangan, suhu
bumi. Jika berada dalam fase gas, ia dimanfaatkan sebagai penggerak turbin. Dalam
skala kecil, uap air digunakan untuk mengukus.
Air
tak pernah berhenti pada satu titik, hidupnya siklik, berputar dari satu fase
ke fase berikutnya: padat-cair-gas, dan kembali lagi. Samudera bukanlah tempat
akhir melainkan tempat yang paling luas untuk menghantarkan air kembali lagi ke
daratan dengan melalui fase evaporasi (penguapan) yang kemudian menjelma
menjadi air hujan. Samudera-langit-daratan adalah tempat tinggalnya.
Bagaimana
dengan air yang diminum kemudian menjadi urine alias air seni? Apakah air itu
tetap mempunyai manfaat? Apakah, katakanlah, kamar mandi, tempat akhir air
seni? Pertanyaan ini merupakan jawaban sekaligus pertanyaan selanjutnya.
Pernahkah kita benar-benar sudah meneliti jika air seni benar-benar berhenti di
tampungan jamban? Jangan-jangan, air seni itu merayap, menyusup di sela-sela
pori-pori tanah, kemudian muncul lagi sebagai “air” dengan meninggalkan zat-zat
yang sudah tak diperlukan lagi. Perlu diingat, air bisa merayap dalam celah
sempit, kemampuan itu disebut daya kapilaritas.
Selanjutnya,
angeli anangis ora keli. Kata-kata
ini sebenarnya pepatah yang diguritkan oleh Sunan Kalijaga (jika tak salah
tertulis dalam Serat Lokajaya). Kata-kata
ini merupakan bentuk ketahanan diri, sikap menghargai keyakinan pribadi, atau
memegang teguh kearifan lokal.
Kata-kata
ini menemui makna dalam era sekarang: think
local, act global. Di zaman globalisasi, yang konon katanya, tidak ada lagi
jarak antara negara satu dengan negara lain atau sering disebut desa buana (global village) kalau dicermati hanyalah
omong kosong, kata-kata semu. Globalisasi lebih pada sikap bagaimana desa Anda,
negara Anda, gaya hidup Anda, selara Anda harus (meski kata harus ini tidak
ditekankan) meniru negara-negara maju. Jika Anda tidak meniru maka sebutan katrok akan melayang pada diri Anda.
Inikah globalisasi yang konon mempersilakan penghuninya menikmati kehidupan
dengan cara sendiri? Silakan direnungkan.
Yang
jelas, dan terasa, globalisasi merupakan abad “benturan budaya”, benturan jati
diri, peleburan. Apakah anda masih merasa bahwa Anda benar-benar diri Anda
sendiri? Bukankah gaya hidup, sampai pilihan untuk mencukur rambut, pakaian Anda
disuapi oleh iklan-iklan televisi?
“Ah,
bukankah hidup ini pilihan? Jadi biarlah saya memilih sesukanya.”
Okelah,
tetapi sebenarnya Anda tidak sedang memilih, melainkan dituntun secara perlahan
untuk memilih.
Kita
memang tidak bisa menghindar dari sapuan globalisasi, tetapi kita masih bisa menglaras, mengeli ananging ora keli jika dalam diri ini masih mempunyai rasa
sebagai manusia yang dikodratkan memilih, dikodratkan untuk menemukan jati
diri. Hanyut dalam globalisasi bukan berarti ada iklan A kita larut dalam iklan
A, melainkan kita bisa melempar opsi pertanyaan terhadap hamparan tawaran
tersebut
Angeli
ananging ora keli, mungkin, hampir sama dengan cogito ergo sum (karena berpikir maka
aku ada)-nya kata Descartes atau man ‘arafa
nafsahu faqad ‘arafa rabbahu. Sebab, dengan ora keli kita bisa memahami arti keli itu sendiri. Mengerti hakikat arus zaman. Boleh saja kita
hanyut, tetapi setelah kita tahu kenapa harus hanyut dengan zaman? Bagaimana
konsekuensi jika kita tidak hanyut? Lantas, jika kita memang benar-benar hanyut,
apakah ada jaminan kita bisa seperti yang ditawarkan arus zaman itu sendiri? Di
sinilah perlunya kita menglaras ilineng
banyu, sambil ngeli tetapi tidak keli.
Sebutkan contoh di
desa Anda ada alam mitos, dongeng, dan
tahayul. Bagaimana korelasi dengan filsafat?
Mitos
di desaku sering kali yang muncul adalah Suro (Muharam). Ini merupakan bulan
yang tidak tepa untuk melangsungkan pernikahan atau hajatan dalam bentuk pesta.
Konon, jika acara itu tetap diselenggarakan maka kesialan akan menimpa.
Kenyataannya memang tidak ada yang berani melangsungkan hajatan pada bulan
tersebut. Masyarakat pun enggan mempertanyakan asal mula pelarangan itu.
Masyarakat diam dan menerima. Di sisi lain, ada yang menganggap pelarangan
tersebut adalah bid’ah, sesuatu yang
tidak diajarkan, dilakukan oleh Rasulullah saw. Sayang cemohannya terkadang
tidak dibarengi bil mau’idhotil hasanah,
dengan cara yang baik, melainkan sikap sinis yang berujung benci dan membenci.
Sejenak
kita, sebagai korelasi dengan dunia filsafat, bisa mempertanyakan pelarangan
tersebut. Bagaimana pelarangan itu muncul? Kapan pelarangan itu diberlakukan?
Mengapa harus dilarang? Inilah peran penting telaah sejarah atau dalam
metodologi al-Quran dikenal mengetahui asbabun
nuzul-nya atau asbabul wurud
dalam ilmu hadis.
Dalam
masyarakat Jawa, Suro terkenal dengan bulan wigati,
penting yang mengandung mistis, sakral. Konon, bulan tersebut bulan
perlangsungan pernikahan Nyi Roro Kidul dengan makhluk lain. Setiap orang tidak
boleh melangsungkan pernikahan dalam bulan tersebut, sebab menyaingi pestanya penguasa
Laut Selatan tersebut. Sedangkan dalam Islam, bulan tersebut bulan yang agung
dan diagungkan bahkan oleh agama Yahudi dan Nasrani. Nah, bagaimana memadukan
antara agama dengan budaya yang anjurannya bertolak belakang?
Menurut
sejarah yang kubaca, pada zaman kerajaan, khususnya, kekuasaan Mataram masih
berjaya, pada bulan Muharram atau Suro pihak istana punya banyak sekali
hajatan. Hajatan yang masih bisa kita saksikan sekarang ini adalah mbubeng benteng topo bisu, jamasan keris atau tosan aji yang lainnya.
Sebagaimana
adat sopan santun masyarakat waktu itu, yang masih menghormati raja, maka
hajatan yang akan diselenggarakan oleh masyarakat ditunda demi menghormati
pihak keraton yang punya hajat tersebut. Dan, pada waktu itu masyarakat sekitar
keraton harus turut rewang hajatan
keraton. Maklum, masyarakat saat itu masih begitu cintanya, merelakan diri
membantu hajatan keraton yang konon punya berkah tersendiri. Inilah kemungkinan
kenapa bulan Suro begitu disakralkan oleh sebagian masyarakat Jawa, baik yang
diperantuan maupun yang masih tinggal di Jawa.
Di
tilik dari sejarah agama, Muharram merupakan bulan yang mulia. Banyak peristiwa
yang agung di bulan tersebut. Sebut saja, Nabi Nuh selamat setelah
terombang-ambing bersama kapalnya setelah diterjang banjir bah. Nabi Musa
berhasil menyebrangi Laut Merah setelah dikejar-kejar tentara Firaun juga
terjadi pada bulan tersebut. Nabi Yunus pun selamat dari perut ikan juga
terjadi pada bulan Muharram. Maka, tidak heran jika pada bulan Muharram disunahkan
puasa bagi ketiga agama (yahudi, Nasrani, dan Islam). Bahkan, pada bulan ini
diharamkan peperangan. Bulan Muharam itu bulan sunyi, bulan perenungan
peristiwa-peristiwa besar. Jadi, tidak ada yang mistis atau berujung bencana
hajatan yang terjadi pada bulan tersebut. Semua itu hanya bentuk penghormatan.
Contoh
lain, di tempat saya ada pohon beringin yang tumbuh di tepi sendang (sumur).
Konon, pohon itu tak boleh ditebang sebab jika ditebang makhluk penghuni pohon
akan marah. Sama halnya yang dikatakan sebagian orang: itu tahayul dan syirik.
Bagi saya, itu adalah pertanyaan dan bukan diadili dengan kata “syirik”.
Mungkin benar, syirik dalam tataran berpikir tetapi kenapa larangan itu muncul?
Sendang
(sumur) dan pohon beringin yang tumbuh di tepinya adalah simbol sekaligus
sumber yang saling berkaitan dengan air dan masyarakat sekitar. Kini ilmu
pengetahuan membenarkan bahwa ada korelasi antara pohon (hutan) dengan air.
Pohon sangat mempengaruhi ketersediaan air. Pohon-pohon ditebang air sumber
kehidupan juga semakin menghilang. Bahkan tidak hanya itu efeknya, ada efek
yang lebih ngeri lagi, yakni
tergoncangnya keseimbangan ekosistem, rantai makanan, keseimbangan habitat yang
di sekitarnya. Lihatlah, sekarang seiring lenyapnya hutan banyak bencana, hama
yang menerjang.
Jadi,
pelarangan itu hanyalah semacam undang-undang, sebagaimana undang-undang yang
dicetuskan oleh wakil rakyat, presiden, atau para menteri. Kenapa harus
dikaitkan dengan makhluk halus (jin), kok tidak dengan hal yang langsung
mendasar, misal kerusakan alam? Hal ini tentunya perlu ditilik dari cara
berpikir masyarakat waktu itu, hal yang paling ditakuti masyarakat saat itu
juga adalah makhluk halus. Jin, demit, gendruwo, sing nunggu merupakan makhluk yang tidak kasat mata dan keberadaannya
bisa mengganggu siapa saja. Nah, hanya dengan menakut-nakuti dengan makhluk
halus maka keberadaan sumber air masih terjaga. Bukankah sikap membolehkan apa
saja, tidak takut apa saja, mendudukkan alam sebagai benda yang “sudah
selayaknya” dieksploitasi memunculkan berbagai masalah, yang penyembuhannya
tidak hanya cukup dengan “tanam kembali” tanpa membenahi pola pikir?
Kehidupan ini serba
tanda tanya, ragu-ragu, dan rasa ingin tahu. Bagaimana imajinasi Anda, mungkin
daya hayal Anda memikirkannya?
Dunia
ini absurd, kata Sartre, dunia ini hanya senda gurau tulis dalam al-Quran.
Tidak heran jika muncul pertanyaan mengapa dunia absurd? Mengapa Tuhan harus
menciptakan manusia dan menghadirkan di bumi hanya untuk senda gurau? Bukankah
Tuhan sendiri mengatakan manusia merupakan mandataris Tuhan, tangan kanan-Nya
di dunia? Lha, kalau ternyata
kenyataannya hidup ini hanya senda gurau, apakah yang Tuhan nikmati?
Jangan-jangan Tuhan hanya kangen dengan guyonan? Bahkan, jangan-jangan, Tuhan
itu Maha Humor?
Inilah
imajiku mempermainkan kata “kehidupan ini tanda tanya, ragu-ragu, dan selalu
diselimuti rasa ingin tahu”. Kalau kita menikmati, sambil menyusuri kata “dunia
ini hanya panggung sandiwara”, “tanda tanya”, ada untungnya. Keuntungannya
adalah tumbuh potensi manusia yang tidak dimiliki oleh makhluk lain. Potensi
tersebut adalah akal. Akal merupakan karunia terbesar manusia di antara sekian
makhluk Tuhan. Bahkan, dengan akal pun manusia bebas meragukan Tuhan yang
menciptakannya akal itu sendiri. Aneh rasanya: Tuhan yang menciptakan akal pun
tak luput dari keraguannya akal. Tuhan diragukan keberadaan-Nya.
Di
sisi lain, dunia yang penuh tanda tanya pun menyediakan penuh jawaban,
menyediakan kepastian. Coba saja, jikalau dunia tidak penuh tanda tanya:
mungkin kita tidak bisa menikmati dering suara telepon, aneka acara televisi,
petualangan ke angkasa luar atau nikmatnya sambal terasi. Mungkin lucu
kedengarannya, tetapi inilah keraguan yang nikmat. Keraguan yang dijawab dengan
daya khayal.
Telepon
muncul karena ada keraguan manusia: masak berbicara harus mendekat antarindividu.
Bagaimana, jika yang jauh suaranya juga bisa terdengar dekat telinga manusia, meski
di tempat yang berbeda. Kemudian, lahirlah penyelidikan apa sebenarnya media
yang membawa suara? Inilah keraguan yang dicoba dicarikan keraguan terus hingga
artefak keraguan itu adalah teknologi.
Sambal
terasi pun muncul dari keraguan dan rasa ingin tahu. Bagaimana jika cabai yang
pedas itu digabung dengan garam yang asin, gula yang manis, terasi yang agak
bacin, tomat yang agak kecut: apakah rasa yang akan muncul? Di sini perlu
proses coba dan mencoba bagaimana memadukan, menemukan formula yang tepat untuk
memadukan dari rasa yang berbeda sehingga terjalin rasa yang kita sebut:
nikmat. Lantas apa nikmat itu sendiri? Ini juga bentuk keraguan. Kenapa kalau
kita haus kok minum air, bukannya makan? Kenapa pula kalau kepedasan kok kita
minum air? Apakah sama antara haus dan kepedasan itu sehingga harus meminum
air? Sebetulnya, wilayah yang mengontrol rasa ingin minum meski faktor rasa
ingin minum tersebut jelas-jelas berbeda.
Inilah
imaji, daya khayal menikmati dunia yang penuh tanda tanya. Syukurlah Tuhan
memberikan dunia tanda tanya yang dibarengi dengan daya imaji. Tanpa itu,
manusia hanya bagaikan robot di belantara kota yang banyak tanda tanya lalu
lintas tanpa tahu harus bagaimana menyikapi tanda-tanda itu, kecuali berjalan
terus sesuai mekanis yang telah ditetapkan padanya.
Belajar filsafat,
dengan daya akal fikir secara rasioanal. Di sisi lain kita memiliki batin, hati
sanubari, perasaan bagaimana kolaborasi 2 sisi tersebut?
Akal
memang anugerah besar yang Tuhan berikan pada manusia. Dengan akal manusia bisa
berpikir dan menemukan kemajuannya dibanding dengan makhluk lain. Akal, rasio
merupakan komponen yang menuntut kita apa adanya, bisa dicerna, bisa dinalar
dan masuk akal.
Sanubari,
perasaan merupakan komponen lain yang tak kalah penting sebagai pelengkap
keberlangsungan hidup manusia. Wilayah ini tidak bisa dideteksi keberadaannya,
tetapi bisa dirasakan.
Ibaratnya,
jika diperkenakan, antara akal (rasio), sanubari, perasaan, batin itu mirip
dengan komponen yang mempengaruhi laju kendaraan. Kendaraan mempunyai gas,
kopling dan rem. Wilayah gas adalah rasio (akal) manusia. Fungsinya mengajak
kita cepat sampai pada tujuan. Caranya, ya, dengan berjalan cepat: semakin
cepat maka waktu sampai pun lebih singkat. Sedangkan rem, kopling itu mirip
sanubari dan batin manusia. Fungsinya mengatur kecepatan dan transfer persneling.
Batin itu balance melajunya manusia.
Boleh
saja kita mengendarai dengan cepat, tetapi dalam perjalanan itu kita tidak
sendirian: ada pejalan lain, tikungan, tanjakan dan turunan tajam yang harus
disikapi dengan bijak. Kita tidak boleh seenaknya sendiri berjalan, tidak
seenaknya sendiri mendedah permasalahan dengan rasio tanpa memperhatikan imbas
dari cara berpikir.
Kita
harus tetap mengontrol cara berpikir: apa imbas jika berpikir seperti ini?
Berpikir bukan hanya didasarkan pada kebebasan kemudian mengejawantahkannya.
Ada ruang-ruang sunyi yang tetap harus dikompromikan dengan sanubari, batin
manusia. Hal ini bukan berarti kita
tidak bebas atau terkungkung dengan adanya alam batin, alam perasaan. Tetapi
kebebasan itu memang dibatasi oleh kebebasan itu sendiri.
Contoh,
kenapa kita harus menyantuni anak yatim, orang miskin? Mendahulukan pejalan
kaki yang menyeberang? Bukankah anak yatim, orang miskin masih punya tangan dan
kaki untuk bekerja? Bukankah semakin Anda berjalan cepat, menabrak orang yang
menyeberang juga semakin cepat sampai tujuan? Kenapa harus berhenti, rela
mengerem laju kendaraan? Inilah fungsi hati yang gema jawabannya tidak mungkin
leluasa Anda tuliskan pada selembar kertas, tetapi dalam bentuk ejawantah
perilaku.
Kalau
kita hanya berpikir secara rasional maka perilaku korupsi bukanlah hal salah.
Sebab, siapa saja boleh kaya dan ingin kaya. Sangat sah kok menginginkan
kekayaan itu. Hanya saja, jika dirasa dengan batin yang terdalam: perilaku
korupsi itu membawa bencana bagi yang lain.
Maka, akal, rasio
tidak berdiri sendiri dalam lintas tapak perjalanan manusia. Dia ada batin,
perasaan yang ikut serta mewarnai perjalanan manusia. Kolaborasinya adalah
ketiganya harus digunakan sesuai empan
papan, tahu situasi dan kondisi, di mana kita harus menggunakan daya-daya
potensi tersebut.
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon