Yang
paling berat bagi Niken ialah masa depannya yang tak akan bisa diisinya dengan
persuami-istrian. Sebab siapa mau jadi suami atau istrinya secara total.
Kemudian masyarakat umum yang tak punya kesediaan untuk mengakui eksistensinya.
Tetapi, serba sedikit, perlahan-lahan Niken berhasil mengatasi hal itu. (BH, hal. 190)
Niken, dalam cerpennya Emha Ainun Nadjib (selanjutnya
disebut Emha),
tidak jelas posisinya: pelacur atau sekadar perempuan yang haus lelaki. Namun, pembaca akan
segera mengerti bahwa posisi Niken mirip dengan wanita perindu lelaki, bukan
pelacur. Sebab,
melihat latar belakangnya, Niken merupakan mantan hakim. Ia sarjana yang cukup cerdas. Tetapi, ia berhenti dari pekerjaannya karena “agak” bertentangan dengan nurani. Kemudian, ia di rumah saja, meneruskan usaha dagang orangtuanya.
Agak aneh jika Niken itu pelacur, sebab pekerjaan itu
umumnya, maaf, biasa dilatarbelakangi masalah ekonomi. Tetapi, Niken adalah perempuan berada, sehingga
kenakalannya tak lain karena kesepian. Ya, kesepian di tengah hiruk pikuk material yang menggerogotinya. Gaya
hidupnya tak ubah model manusia metropolis: haus pada hiburan. Cap perempuan nakal menyebabkan Niken
terus bergelut dalam lubang yang dalam, gelap. Sedangkan, masyarakat hanya bisa mencibir dan asyik melihatnya: “Memang sepantasnya begitu akibat yang harus
ditanggung perempuan nakal!”
Namun, Emha tidak ikut-ikutan mindstream yang
tengah berlangsung. Dengan cekatan, Emha menghadirkan tokoh “aku” sebagai teman diskusi Niken.
“Aku” adalah selayaknya teman
yang memandang dari semua dimensi kekurangan dan kelebihannya manusia. meski
tokoh ia juga menanggung kesimpulan dari teman dan masyarakat
bahwa ia pacar Niken. Selanjutnya, mereka tentu saja merendahkannya. Tokoh
“aku” dicap layaknya gigolo yang menerima upah. Tetapi, yang
dicari Niken tidak hanya
berkutat masalah “ranjang”. Niken tidak bergaul sekadar demi seks.
Tokoh
“aku” bukan pacar Niken, meski Niken pernah mengungkapkan
perasaannya. Tokoh “aku”
berterus terang tentang perihal keadaaannya. Ia mengajak Niken bercinta sesuai tempatnya: “Kau mencinta
itu dan bersedia menerima apa yang mampu kuberikan, sementara aku pun mencintai
penderitaanmu.” Hal yang sulit dilakukan, tetapi selayaknya dilakukan jika
cinta itu memang tulus diberikan kepada orang yang dicintai.
Tokoh “aku” sendiri menerima Niken juga dalam batas yang
ia mampu. Tokoh “aku”
bisa mengawininya dengan pikiran-pikiran yang menguatkannya. Tetapi, untuk berjalan, nonton, atau kemana-mana bersamanya, terus terang memang
masih ada cukup keberatan dalam perasan di benak “aku”. Hal yang lumrah, dan
terjadi pada siapa pun. Inilah kejujuran seorang
Emha; kejujuran memandang realitas pada diri manusia. Siapa
yang siap lahir-batin menerima orang-orang yang dicap nakal oleh masyarakat?
Saya kira jarang sekali. Tetapi, titik tekan yang hendak disampaikan Emha bukan
masalah kawin itu sendiri, melainkan teman yang saling mengisi, teman yang mau
diajak bertukar pikiran, menumpahkan unek-unek sebagai manusia
yang hidup di tengah alam yang bergejolak. Sebab, orang akan menjauhi manusia
nakal secara total, baik lahir dan batinnya, tanpa melihat sisi jiwanya yang kerap
menangis.
Ternyata benar, pelacur tak selamanya menikmati
kepelacurannya. Bahkan, sang pelacur itu menjerit sedih dalam keremangan dunianya. Terlihat
terhibur dengan berbagai macam laki-laki, namun apa arti hiburan bagi sang
pelacur?
“Dan besok, kukira
aku akan berpesta diam-dia dalam diriku, buat lelakiku yang keseribu. Tak tahu
bagaimana, ini semua tak ada yang baik bagiku, tetapi ada hal yang menarik. apa
yang bisa menghiburku di dunia ini? Delapan lelaki setiap hari adalah hiburan yang
berlebihan sehingga kehilangan daya hiburnya dan berubah menjadi kebosanan,
kejenuhan dan rasa perih lahir batin....” (BH, hal. 4)
Kehidupan pelacur tak pernah untung, yang untung hanyalah
germonya. “Germo bosku,
lelaki yang paling beruntung di dunia, tuan tanah yang kaya-raya dan berkuasa
penuh atas sawah-sawahya yang menyediakan sawah-sawah itu untuk disingkal, disingkal, disingkal,
kapan saja ia mau. Sungguh tragis! Bagaikan sapi perah yang tak pernah menikmati
kelezatan susunya, “susu berbalas rumput teki!”.
Lantas jika ditanya, kenapa memilih jalan kelam? Apakah
melacur itu pilihan atau pelampiasan, balas dendam keadaan? Soal yang pelik. Di tulisannya ini, Emha menuliskan “Lelaki
pertama yang meniduriku adalah suamiku sendiri dan lelaki yang mencampakkanku
ke lelaki kedua adalah suamiku sendiri dan untuk perempuan yang begini busuk
dan hampir tak mampu lagi melihat hal-hal yang baik dalam hidup ini, maka
lelaki kedua hanya saluran menuju lelaki ketiga, keempat, kesepuluh, keempat
puluh, keseratus, ketujuh ratus....” Bahkan, yang mengenaskan: “…. Di
sini banyak kawan-kawanku yang memang sengaja dijual oleh suaminya, serta
banyak contoh lain di
antara puluhan ribu sahabat-sahabatku di kota ini.”
Membaca kumpulan cerpen “BH”-nya Emha bagaikan diajak menelusuri dunia yang tak asing
bagi kita, tetapi seakan tersisih dan cepat-cepat kita menutup mata dengan jari yang
terbuka: mau tapi malu. Emha mengajak pembaca memahami dimensi lain dengan
sudut lain. dunia yang selalu dicap neraka, tetapi kita jarang mendengar teriakan manusianya. Bagi saya,
buku ini, unik seunik penulisnya. Inilah “jalan sunyi” Emha dalam membaca realitas
kehidupan yang dikemas dalam cerita pendek.
Judul : BH
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Buku
Kompas
Tahun terbit : cet.
I 2005
Tebal : x + 246 halm; 14 cm x 21 cm
ISBN : 979-709-168-6
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon