Sumber gambar: keeping.com |
Penjara adalah bangunan tempat mengurung orang
hukuman, begitu definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan 2008. Tentunya,
jika kita jeli membaca definisi tersebut akan menemukan keluasan tentang
penjara, baik suasana maupun bentuknya, yang penting tempat itu bertujuan
sebagai “kurungan” bagi orang yang bersalah. Mengenai fasilitas, sempit atau longgarnya
tata aturan, ada atau tidaknya diskriminasi, sepertinya, itu urusan lain. Dan,
saya sendiri menduga para ahli yang menelurkan definisi tersebut, yang kemudian
diterima, mempunyai prasangka baik, seperti prasangka khalayak bahwa jika
penjara memang tempat “seram”.
Apabila mendengar kata “penjara”, bagi siapa pun,
meski belum pernah menginjakkan kaki di kandang besi tersebut, segera terlintas
bahwa tempat itu adalah ruang sempit menghimpit, ruang penyiksaan. Ruang yang lebarnya
boleh jadi hanya cukup untuk 5 langkah kaki. Di dalamnya, tembok-tembok usang
yang kusam, coretan-coretan celoteh penghuninya, bangku yang merangkap
sekaligus sebagai ranjang tidur, di pojoknya ada kloset yang tak terurus, kran
air yang sudah bocor, penampungan airnya yang lumutan serta gayungnya yang dipenuhi
kerak kekuning-kuningan.
Penghuninya, maaf, mungkin tak terurus dengan baik:
kesehatan maupun pola makannya. Wajah-wajah dekil, sangar seakan menambah
seramnya penjara. Jangan tanyakan masalah fasilitas elektronik, lampu redup
mungkin satu-satunya penerang pada waktu malam. Kipas angin listrik? Jelas harap
ada. Lamunan, bayang-bayang hukuman yang akan diterima mungkin menjadi “pe-ramai”
batin penghuninya. Bayang-bayang masa lalu terus bergelayutan. Kemudian, di
susul masa depan yang tak jelas kepastiannya: hidup atau mati hanya menjadi sebuah
misteri.
Penjara memang bukan istana, bukan pula surga kecil
melainkan tempat “merenung”. Merenung kesalahan yang telah diperbuat. Dan,
merenung terkadang butuh tempat sunyi dan kontras dengan dunia hingarbingar di
“luar sana”. Meski, tidak bisa ditampik, penghuninya belum tentu orang yang bersalah,
tetapi ada orang yang sengaja disalahkan karena ketidaksukaan penguasa rezim.
Hal itu sudah sering kali terjadi, apalagi pada zaman penjajahan dan
zaman-zaman berikutnya.
Bagi penghuninya yang sadar dan menep atine penjara bukanlah penghalang, bukan ruang penyiksaan
meski secara, fisik ia terima. Siapa yang bisa memenjarakan hati dan pikiran
seseorang? tidak ada. Baginya, penjara memang tempat merenung, tempat uzlah. Maka, tidak heran banyak
karya-karya monumental yang justru lahir dari balik jeruji. Penjara bisa jadi
tempat “suci” yang dipilih Tuhan untuk menurunkan wahyu-Nya.
Sebut saja, misalnya, Bung Karno. Di balik jeruji
penjara Sukamiskin, beliau menuliskan karya Indonesia
Menggugat. Karya ini menjadi pledoi Bung Karno di Gedung Landraad
(pengadilan rendah) pemerintah Kolonial Belanda. Isinya merupakan pembelaan
sebagai anak “pribumi” yang hak kepemilikan, keabsahan sebagai warga negara
telah banyak dilucuti kaum penjajah. Sidang yang awal mulanya bertujuan
menjatuhkan Bung Karno berbalik arah menjadi semacam diskusi. Ya, Indonesia Menggugat merupakan buah
pergulatan Bung Karno yang sebelumnya telah banyak membaca fakta-fakta sejarah
di berbagai belahan dunia beserta pemikirnya, dan didukung kenyataan nasib
bangsa Indonesia yang terus diinjak-injak. Penjara Sukamiskin merupakan tarangan, tempat menetaskan pemikirannya
yang jitu.
Di lain pihak, ada Tan Malaka. Seorang pemikir ulung
yang pernah dimiliki Indonesia, namun sayang namanya tak pernah tercantum dalam
deretan pahlawan nasional, malah sebaliknya ia diasingkan dan disingkirkan.
Penjara bagi Tan Malaka memang bukan tempat yang asing, ia kerap kali
keluar-masuk penjara. Tentunya, hal itu bukan karena ia seorang residivis,
melainkan karena pemikirannya yang cukup berani melantangkan perlawanan bagi
rezim yang dinilainya keliru.
Salah satu karya Tan Malaka yang lahir dari balik
penjara adalah Dari Penjara Ke Penjara.
Membaca judulnya memang sudah bisa diterka jika buku itu ditulis dari
pengalamannya yang sering dialami. Isinya bukan sekadar narasi kehidupan,
melainkan ada selipan-selipan pemikiran bagi bangsa ini. Tan Malaka, dalam buku
itu, menuliskan,
“Buku ini saya
namakan dari penjara ke penjara. Memang saya rasa ada hubungannya antara
penjara dan kemerdekaan sejati. Barangsiapa yang sungguh menghendaki
kemerdekaan buat umum, segenap waktu ia harus sedia dan ikhlas untuk menderita
kehilangan kemerdekaan itu sendiri. Siapa ingin merdeka ia harus siap
dipenjara.”
Penjara,
Wajahmu Kini
Lalu bagaimana wajah penjara di masa sekarang? Apakah
penjara masih seseram masa lalu, masa sebelum reformasi? Adakah “tahanan negara”
itu masih ada yang melahirkan buah karya yang menggebrak kemapanan?
Jawaban atas pertanyaan itu alangkah baiknya bila
dipilah, sesuai siapa dan dari kalangan mana penjara itu diperuntukkan. Sebab,
tidak memungkiri hukum di negara ini masih tajam ke bawah, tumpul ke atas, ada emban cinde emban siladan dalam
penerapan. Begitu pula dengan penjara, jika maling kelas teri, dan orang yang
diduga teroris penjaranya boleh jadi sangat seram dan mencekam. Tetapi, jika
penjaranya para koruptor, para penjarah uang rakyat, penjaranya jauh dari
suasana mencekam, sebaliknya malah terkesan mewah.
Pada era Presiden SBY, hasil inspeksi mendadak
(sidak) Wakil Menteri Hukum dan HAM Danny Indraya bersama kru Mata Najwa (Sabtu/18/05/2013) di Lapas
Sukamiskin dan Lapas Cipinang, bisa memberi gambaran bagaimana penjara bukan
lagi penjara. Penjara bagi para koruptor tidak seperti penjara bagi maling
kelas teri. Penjaranya koruptor boleh dikatakan hanya bentuk “pelipatan” istana.
Barang-barang mewah ada di ruang jerujinya.
Di Lapas Sukamiskin, di ruang jeruji koruptor,
misalnya, tersedia berbagai alat elektronik. Ipad, blackberry, charger Hp, kipas angin elektronik
adalah barang-barang yang seharusnya tak boleh ada di ruang tahanan, tapi
kenyataan barang-barang itu ada di sana. Belum lagi, ruangannya yang terkesan
rapi, buku-buku yang terpajang di raknya, kaligrafi yang menghiasi dindingnya.
Begitu pula beberapa potong pakaian yang tergantung rapi seakan menambah kesan:
pemiliknya tak hanya diam di ruangan, tetapi juga sewaktu-waktu keluyuran ke
luar penjara.
Di ruang tahanan Anggodo Widjojo, terkenal dalam
kasus cicak versus buaya, tak jauh
beda dengan ruang-ruang tahanan koruptor lainnya. Kamarnya terkesan rapi,
ranjang tidur empuk, air gallon
tersedia, dan kamar mandi plus klosetnya begitu tertata. Saluran-saluran air
dari pipa PVC menggambarkan jika ruangan ini memang jauh dari kesan jorok,
kesan yang selalu melekat bagi penjara.
Apakah suasana ruangan itu masih bisa disebut
penjara? Bukankah itu lebih mirip dengan kos-kosan mahasiswa, bahkan lebih
mewah lagi? Ruang penjaranya bagi para koruptor jauh dari suasana seram jika
dibanding penjaranya bagi para pendiri bangsa ini. Keadaan tersebut selalu
mengajak kita bertanya, bisakah mereka sadar jika kemewahan fasilitas ruang
tahanannya sedemikian rupa? Masihkah ruangan itu bisa disebut penjara?
Pada era Presiden Jokowi, ruang penjara bagi
koruptor mulai jarang ditampakkan. Namun, itu bukan berarti penjara telah
berganti rupa dengan wajah “demit”nya. Penjara tetap saja menjadi ruang “privat”
bagi para pesakitan. Boleh dikata, penjara adalah ruang bebas bagi para
narapidana.
Kasus terakhir yang penambah muramnya wajah penjara
adalah kerusuhan yang terjadi di Rumah Tahanan Malebero, Bengkulu. Kerusuhan yang
dilatarbelakangi oleh para tahanan narkoba itu setidaknya telah menewaskan 5
orang yang juga tercatat sebagai narapidana. Peristiwa itu bermula saat Badan
Narkotika Nasional (BNN) hendak menyisir rumah tahanan tersebut yang disinyalir
menjadi area keluar masuk narkoba. Freddy Budiman, bandar narkoba yang telah
divonis mati ternyata masih leluasa mengedarkan dan mengendalikan perdagangan
narkoba. Tidak hanya mengendalikan perdagangan barang tersebut, Freddy ternyata
juga masih bisa menikmati pesta sabu-sabu dan para gundik.
Kenyamanan yang diterima Freddy itu tentu hal aneh
bagi rakyat Indonesia: kok masih bisa-bisanya orang yang sudah divonis mati
bisa menikmati kelon? Ini bukan
masalah bisa menikmati atau tidak, melainkan bagaimana mental para penjaga
tersebut: bukankah mereka dibayar dengan uang negara, duit rakyat, untuk
menjadi “malaikat” penjaga penjara kok masih bisa memberi kebebasan bagi para
narapida semacam Freddy? Apakah para sipir itu takut kepada Freddy dan anak
buahnya, ataukah karena kurangnya “bayaran” sehingga mereka bisa disuap?
Kasus semacam itu tidak hanya terjadi di Malebero,
di LP Nusakambangan pun mengalami hal serupa. Pulau tahanan yang terkenal
angker dan kandangnya para penjahat papan atas ternyata juga longgar. Masih kasus
yang sama, narkoba, di penjara Nusakambangan narapidana yang sudah mendekam di
pulau paling selatan di Jawa Tengah itu pun masih bebas mengendalikan
perdagangan narkoba yang notabene jauh di luar pulau. Padahal, bayangan orang
awam, penjara merupakan tempat yang “rapat”, ibaratnya semut pun tidak leluasa
keluar-masuk darinya. Namun, kenyataannya, penjara hanya menjadi ruang “entahlah”.
Barangkali, seramnya penjara hanya sebatas dongeng yang dituturkan para
pengguninya dengan tujuan mereka masih bisa berpesta pora. Dan orang yang di
luar sana tidak ada yang berani “ndulit”.
“Wajah
penjara cermin hukum negara, sungguh-sungguh atau pura-pura. Penjara semestinya
nestapa dunia bukan sebisanya menjadi surga…,” begitu kalimat terakhir yang di
ucapkan Najwa Shihab. Ya, penjara memang cermin hukum negara, cermin yang
memantulkan bagaimana keadilan itu ditegakkan. Begitu pula, jika penjara tak
bisa menjadi “neraka” yang memaksa penghuninya “berpuasa” dan menyadarkan
penghuninya, apakah masih bisa diandalkan keberadaannya?
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon