Nama
kecilnya adalah Saya. Namun, setelah besar, ia sering dipanggil Sudrun. Ia
laki-laki orang yang berperilaku aneh bila ditilik dari mata khalayak. Sudrun
dianggap manusia asing yang gemar menyibak hal-hal yang menurutnya perlu diungkap.
Semasa kecil, ia suka menyingkap rok temannya sekolah, tirai rumah tetangganya.
Semua yang terselubung disibaknya. Anehnya, Sudrun berwajah kera alias Hanoman.
Berkat
kesudruanannya, Sudrun berkesempatan mencari, menemukan, dan mengalami hal-hal yang
selama ini dipandang sebatas dongeng belaka, cerita yang meloncat dari mulut ke
telinga. Ilmu Sastra Jendra yang
hanya didengar lewat cerita wayang, oleh Sudrun ingin disibak kenyataan dan
keberadaannya. Inilah awal mula petualangan Sudrun ketika mencari ilmu cetha.
Makna
Sastra Jendra diperoleh Sudrun lewat
eyangnya yang sudah meninggal. Suatu kali, Sudrun kesasar di makam eyangnya,
saat itu pula ia didatangi sosok yang dipanggil Eyang Puspunegoro. Kakek inilah
yang mengawali penjabaran hakikat makna Sastra
Jendra.
“Ketahuilah,
o anak, bahwa apa yang disebut Sastra
Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu adalah sebuah rangkain makna
perjalanan insan kembali ke mata air yang hakiki. Itulah Ilmu Sangkan Paraning Dumadi, yang telah
diajarkan Kangjeng Sunan Kalijaga, Kangjeng Sunan Giri, Kangjeng Syaikh Siti
Jenar, Kangjeng Sunan Gunung Jati. Ajaran Sastra
Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu sendiri terpilah menjadi tiga buana
buana yang disebut Triloka.”
“Ketahuilah,
o anak, bahwa apa yang disebut diyu
adalah hakikat manusia yang terseret pada kodrat-kodrat rendahnya untuk
melekatkan diri pada wadak dengan nafsu-nafsu yang melingkupinya. Manusia seperti
ini akan mengorbankan apa saja untuk kepentingan ‘aku’nya….”
“Karena
itu, o bocah, setiap manusia wajiblah meruwat diyunya dengan Sastra
Pangruwat agar dia bisa menjadi rajendra
hayuningrat atau khalifatul fil Ardh
yang tiada lain adalah al-insaan al-kamil.”
Rajendra
Hayuningrat tidak lain berarti raja atau khalifah
atau wakil al-Malik, yaitu raja di
dunia yang mewakili Maharaja Diraja Alam Semesta. Sedang hayunigrat bermakna pemeliharaan jagat dunia, baik jagat alit
maupun jagat ageng; baik jagat yang zahir maupun yang batin. Rajendra itulah manusia sempurna, yang
telah menemukan jati diri dalam kesadaran sirr
al-Haqq sehingga menyadari bahwa dirinya tercipta dari satu nafs yang terangkai dalam makna min nafsin wahidah.
Menempuh
kasampurnan bukanlah hal mudah, tidak
cukup mendengarkan ceramah dai, ulama, guru, resi, pendeta, atau sekadar
membaca kitab suci. Proses itu membutuhkan waktu sepanjang hayat, meretas ruang
dan waktu yang terkadang mengungkung ke-aku-an. Sebab, perjalanan dari diyu menuju rajendra harus melampaui tujuh samudera, tujuh gurun, tujuh lembah,
tujuh buana, tujuh langit yang tek pernah diketahui batas-batasnya. Ketujuhnya
adalah rangkaian pengejawantahan nafs
yang menghampar indah, tetapi penuh keganasan yang siap menenggelamkan dan
meleburkan apa saja dan siapa saja.
Begitu
peliknya jalan para salik menempuh kesampurnan
jati. Bagaimanapun juga, manusia yang di dalamnya ada nafss min robbi, tetap harus berusaha melakukan perjalanan
kerinduan tersebut untuk manunggal kepada Tuhannya. Inilah perjalanan yang
cukup melelahkan dan diperlukan kewaspadaan tingkat tinggi supaya tidak
terjebak pada maqam terakhir; yang
seakan-akan perjalanan ruhani telah mencapai.
Liku-liku
mencari makna Sastra Jendra pun dialami
oleh Sudrun, yang menyeretnya dalam rona-rona kehidupan. Cemoohan dan sanjungan
menjadi bumbu kehidupan yang ia alami sepanjang pencarian jati diri tersebut.
Bahkan, pencarian itu membawanya terdampar di anak Benua, India. Di India, Sudrun
mengalami pergulatan batin, antara cinta, asmara, dengan tujuan petualangannya.
Di sini pula ia bertemu Candragupta dan Laxmi Devi.
Candragupta,
yang dicap sinting oleh masyarakatnya, senasib dengan Sudrun. Di kedalaman
batin, Candragupta adalah orang adalah pribadi yang memiliki keluasan dan
kedalaman ilmu, kezuhudan sikapnya, dan kepasrahan jalannya merupakan manusia
“pilihan” yang sengaja menyukai dan tidak menyukai dengan cara hidupnya. Lelaki
itu pulalah yang mewejang Sastra Jendra
kepada Sudrun.
Laxmi
Devi, perempuan berumur 25-an tahun dan belum menikah, adalah anak seorang
saudagar kaya, tetapi sombong dan suka memerintah. Pertemuannya dengan Sudrun
merupakan awal perubahan bagi perempuan seperempat abad tersebut. Bila kita
mengacu pada cerita pewayangan, Laxmi Devi yang dihadirkan oleh Agus Sunyoto
dalam novel ini sebanding dengan Dewi Sukesi. Kedua tokoh perempuan imajiner
ini sama-sama sosok yang bergelut dengan tokoh utama (Sudrun dan Resi Wisrawa) yang
terseret rindu, asmara yang sewaktu-waktu menjebak dalam jurang nista. Namun, Agus
Sunyoto tidak memainkan Sudrun dan Laxmi Devi terjebak dalam kumparan asmara Memang
keduanya saling, mencintai tetapi tidak sampai mengarah pada perzinahan, meski
desir rasa itu ada.
Inilah
kelihaian sang penulis novel ini, yang mencoba mendenkonstruksi pakem utama cerita Sastra Jendra. Selain
itu, novel ini dikemas dalam bahasa yang aneka raga: tasawuf, Hindu, Budha,
Zarathrusta, bahkan kejawen. Hal ini menunjukkan bahwa pencarian Sastra Jendra, kasumparnan jati, memang tidak hanya satu jalan dan melaju pada lajur
agama, tetapi setiap perjalanan hidup yang meliputi budaya, sosial, ekonomi,
cinta adalah sarana untuk menuju ke Samudera Hakikat.
Penulis: Agus Sunyoto
Penerbit: Pustaka Sastra (LKiS)
Tahun: 2012
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon