Pro dan kontra seputar UN pun terjadi hingga
mengundang uji materiil kebijakan ujian
nasional tersebut. Meski Mahkamah Konstitusi pernah membatalkan, atau bahasa halusnya supaya ditinjau
ulang terkait kebijakan UN tersebut, tetepi pemerintah lewat kementerian terkait tidak
patah arang untuk tetap menjadikan UN sebagai primadona alat kelulusan.
Kenapa pemerintah begitu ngototnya mempertahankan UN, meski harus mendempul wajahnya di sana sini? Jawabannya yang banyak adalah untuk mengukur tingkat kemajuan
pendidikan di Negeri ini. UN, setidaknya, seperti foto udara yang berusaha memetakan
kemajuan pendidikan. Lantas, berhasilkah tujuannya itu? silakan Anda nilai sendiri.
UN adalah soal delematis bagi guru dan siswa. Kalau mau jujur, jika mereka disuruh memilih tentu mereka tak memilih ada UN. UN, bagaimanapun juga, adalah momok yang menghantui
langkah akhir para siswa: antara lulus dan tidak lulus. Dua pilihan yang harus
dipilih setelah prosesi UN dilalui, dan terkadang menyeret mereka overloaded.
Terpaksa dan dipaksa, Gelem ora gelem kudu gelem. Karena pilihannya cuma
dua, maka bagaimanapun juga para siswa (harus) lulus.
Pihak sekolah pun juga tak mau jika kelak ada siswanya
yang ngendok di kelas alias tidak
lulus. Bagaimanapun juga dan apapun namanya, UN sangat berpengaruh dengan “nama baik”
sekolah. Dan, “nama baik” sangat bertalian dengan daya jual sekolah. Jika,
seumpama, sekolah banyak siswanya yang
tidak lulus tentunya mematikan pasaran. Para orang tua calon siswa tak sudi, dan tak tega jika anaknya masuk di sekolah tersebut. UN bagi
sekolah adalah pilihan “hidup dan mati”.
Sebab itu, pihak sekolah harus menggembleng para siswanya
dengan berbagai metode yang jitu untuk mengahadapi UN. Jam pelajaran ditambah,
pelajaran yang tak penting terkadang dipangkas jatahnya. Tak apalah, untuk
kepentingan bersama, begitu alasannya. Dirasa belum cukup, pihak sekolah
terus mendatangkan berbagai program, berbagai macam latihan soal-soal untuk
mengahadapi UN.
Sayangnya, masa yang tidak hanya membutuhkan otak saja
tetapi juga arahan mental ini jarang teraba dengan sempurna. Sekolah, khususnya
guru mata pelajaran yang di UN-kan lebih sibuk. Guru BK (Bimbingan dan Konseling)
yang kedudukannya sebagai “penasihat” minim sekali berperan. Seharusnya, Guru BK adalah dhayang yang
mengemban pertama kali para siswa mengahadapi UN. Seperti halnya dunia
kerajaan, guru mata pelajaran UN kedudukannya sebagai pelatih olah keprajuritan,
latihan tempur, sedangkan guru BK adalah penasihat moral yang terus l membangun semangat para
siswa agar tetap menyala hingga UN berakhir.
Di pihak lain, orang tua siswa juga tak kalah kalang
kabutnya. Apa, ya, mau anaknya tidak lulus? Jelas, yang diinginkan adalah
anaknya lulus. Ini juga berhubungan dengan
nama baik keluarga, masa depan anak-anaknya juga. Meski masa depan anaknya itu
adalah masa depan yang selalu diinginkan orang tua. Berbagai program yang
dilakukan di sekolah seakan belum menenangkan untuk menyelematkan anaknya dari
ketidaklulusan. Akhirnya, orang tua pun harus turut campur. Anak polah bopo
kepradah, itu sudah semestinya terjadi.
Para orang tua tak tanggung-tanggung mendatangkan guru privat
untuk mengajari anak mereka yang menyongsong UN. Berapa pun harganya, privat tersebut akan diajalani. Asal tidak menjual rumah lho. Meski
privat yang di datangkan juga tak jauh beda dengan yang diadakan di sekolah.
Namun, sekali lagi, rasa ketidakpuasan, kurang sreg, jauh menyeret para
orang tua harus ikut campur demi anak-anaknya.
Saya sendiri merasakan begitu galaunya para orang tua
yang punya anak duduk di bangku akhir sekolah. Kebetulan, saya juga diundang
orang tua siswa untuk “ngajari” anaknya yang sedang menghadapi UN. Saya amat-amati,
orang tua ikut stres soal UN, terkadang stres itu dilampiaskan ke anak-anaknya.
Marah jika anaknya tidak segera belajar, marah jika anak-anaknya hanya asyik
bermain meski waktunya memang untuk bermain. Entahlah, kok tidak
ada keramahan, tidak ada rasa ikut ambil bagian terdalam anak-anaknya. Bukankah anak-anaknya juga sedang galau? Seharusnya rumah menjadi penghibur di kala
siswa pulang sekolah. Orang tua harus bisa mengemong anak-anaknya yang sedang
ujian. Bukan tekanan dan paksaan untuk belajar.
Di tengah pemerintah punya gawe ini, tentunya banyak yang ingin ambil bagian menadahi
keuntungan. Berbagai macam lembaga bermunculan dengan segudang tawaran
program-program yang menjajikan dan terkadang terasa tidak masuk akal. Misalnya, “Dijamin Lulus Seratus Persen”. Lho memangnya siapa yang
mengerjakan UN, kok bisa menjamin kelulusan? Bukankah kelulusan itu tidak sekadar kepandaian sang siswa mengerjakan soal, tetapi juga cara dan sikap ketenangan juga?
Buku-buku soal UN juga banyak beredar, mulai dari harga
termurah sampai termahal ada. mulai dari yang mengatasnamakan lembaga bimbingan
terkenal sampai buku terbitan penerbit dadakan ada! Tak jauh beda dengan lembaga-lembaga bimbingan belajar, buku-buku soal juga
diwarnai iming-iming yang menggiurkan. Mulai trik cepat menyelesaikan
UN, pembahasan komplit soal-soal tahun lalu, bonus CD, sampai ada bonus Pensil
2 B. Semuanya ada. Tak pernah ada pengawasan terhadap buku-buku
ini. Tidak ada validasi buku-buku tersebut. Entah, apakah karena semua pihak
yang terlibat UN lagi larut “penyelamatan”, sehingga hal-hal seperti itu luput dari
perhatian ataukah malah menganggap semua (lembaga dan buku) juga turut membantu
“penyelamatan” tadi?
Menjalang hari “H”, dan ini yang menarik, adalah hari
yang mendebarkan bahkan terkesan “gimana gitu”. Sekolah-sekolah mengadakan
berbagai macam even spiritual. Jelas ini tidaklah salah, dan sangat bagus, seperti yang diungkap Pak Nuh, “dari pada dansa-dansi”. Ini menjadi bukti, para
siswa, para guru juga manusia biasa, tidak punya kekuatan untuk meluluskan para
siswanya. Mereka mengakui sudah berusaha semaksimal mungkin menghadapi UN, saat
detik akhir, kepasrahan menyelimuti. Meski dalam doa-doa itu tetap ada harapan,
meski juga terkesan memaksa Tuhan: mbok diluluskan!
Even yang mungkin sering diadakan adalah “peningkatan
motivasi” (achievement motivation training). Tujuannya adalah meningkatkan
motivasi para siswa, yakni menyemangati, mengkerucutkan motivasi siswa untuk
bisa lulus. Biasanya, dalam acara itu diselipi dengan asah
spiritual. Saya kurang setuju dengan acara “tangisan” meratap, menyesal. Ya, mungkin itu semacam pengakuan dosa atau sejenis yang lain, tetapi aktivitas itu, menurut saya, menyedot banyak energi, kepala malah
menjadi pening (ini yang pernah saya alami). Setidaknya even ini cukup
memfokuskan menguatkan mental, melatih ketenangan batin.
Kegiatan lain yang sering dilakukan adalah meminta maaf,
baik itu kepada gpara guru, teman-teman seangkatan, adik kelas, dan orang yang
dituakan. Hal ini menunjukkan “tradisi Timur” memang masih dipegang teguh. Para siswa
seakan-akan mengakui bahwa di luar dirinya masih ada orang yang mempengarusi
sukses-gagalnya ujian. Inilah kegiatan “sungkem”, atau lebih mirip “pamitan”. “Pamitan”
sendiri merupakan kegiatan yang dilakukan untuk meminta maaf, memohon kerelaan
serta doa karena orang yang pamitan tadi hendak pergi jauh atau melakukan tugas
yang menyangkut “hidup atau mati”. Tak pelak, ziarah kubur ke makam
orang-orang yang dianggap mempunyai “karomah” dilakukan. Apakah ini proses
mencari berkah ataukah menjalani pepeling “wong kang soleh kumpulono”.
Artinya jika kita bergaul dengan orang-orang saleh setidaknya kecipratan ijabahnya doa.
Apakah tindakan ini salah?
Hemat saya, tidak salah jika ziarah makam itu tidak
terlalu berlebihan, tidak menggantungkan harapan pada karomah orang yang telah
meninggal. Sebab, jika kegiatan ziarah yang dilakukan itu hanya untuk
menghantarkan harapannya dan menggantungkan pada makam toh juga tidak
baik: tidak baiknya menjadikan para siswa hanya berdiam diri dan menunggu
mukjizat terjadi. Selain itu, dari sisi agama juga menggantungkan harapan pada
orang yang meninggal juga tidak diperkenankan, yang diperkenankan adalah
mendoakan, meminta “restu”. Meminta “restu” jangan diartikan jika penghuni
makam tersebut akan mengesahkan, melegalkan atau semacam meng”iya”kan, tetapi lebih pada sikap hormat.
Masih cerita seputar UN, dan bagian ini mugkin saja
bagian yang paling memilukan. Kenapa UN yang bertujuannya baik harus dialami
penuh prasangka? Lihat saja, mulai proses distribusi soal sampai proses UN
berlangsung sedemikian ketatnya. Polisi harus ambil bagian untuk
mengamankankannya, belum lagi ada sejumlah sekolah yang memasang CCTV. Bukankah
ini menandakan jika dalam proses UN memang tengah terjadi krisis kepercayaan.
Dan ini menandakan jika semakin hari sikap jujur dan saling percaya di
masyarakat kita mulai luntur.
Inilah cerita UN di negeri ini, dan mungkin
tak ada cerita serupa di negeri-negeri lainnya. Inilah cerita yang hari ini baru
dimulai, dan akan berlangsung beberapa minggu ke depan. Apakah yang bisa siswa,
orang tua, guru, kepala sekolah, pemerintah unduh dari cerita ini? Akankah kita
akan mengunduh buah yang sama dari cerita-cerita sebelumnya ataukah ada
perubahan baru setelah mencermati pelaksanaan UN tahun ini? Kita tunggu saja,
sebab cerita belum berakhir.
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon