Bartalami
memang tahu bagaimana membalas dendam dan member pelajaran kepada
musuh-musuhnya.
Bartalami memang lihai dan tahu cara
memadamkan api pemberontakan rakyat Mesir. Bukan diplomasi yang ia pilih,
tetapi melawan dan membabat pentolan-pentolan kaum pemberontak. Meski yang
dibabat adalah teman. Temannya dalam berdagang, saudara setanah air. Namun,
bagi Bartalami, bukan persoalan teman dan sebangsa, melainkan bagaimana iatetap
menikmati tampuk kekuasaan yang tengah disangganya.
Di penghujung kisah novel karya Naguib
Kaelani, Meretas Kebebasan: Kisah
perjuangan Masyarakat Mesir Melawan Penjajah Mesir, Bartalami dapat
melumpuhkan dan membakar tubuh Busytaili. Busytaili tak lain adalah saudagar,
sama halnya dengan diri Bartalami. Tapi Busytaili adalah pihak lain, yang
berdiri mengobarkan perlawanan kepada Penjajah Prancis. Sedangkan Bartalami tak
lain “anjing penjaga” kaum penjajah. Busytaili memimpin rakyat Bulaq untuk
mengangkat senjata, dan tak henti-hentinya mengobarkan perlawanan sengit, meski
tak selalu menang.
Bagaimanapun juga, walau tak pernah
menang, pemberontakan tetap membahayakan. Pemberontakan yang selalu dilakukan
berulang-ulang, jatuh dan bangkit lagi, bak tetesan air yang jatuh di atas batu
cadas. Meski perlu waktu lama, namun kelak juga bisa melubangi kerasnya lapisan
batu. Dan, Bartalami tahu tentang itu. Yang dipilih bukanlah membiarkan
pemberontakan tetap berlanjut, sesegera mungkin ia harus menyumbat biang keladi
dari pemberontakan.
Bartalami yang telah meruguk nikmatnya
tampuk kekuasan tentunya tak akan rela melepas begitu saja kenikmatan itu. Ia
telah mengorbankan apa saja untuk sepenggal kekuasan yang telah memberikan
kenikmatan berkuasa. Anaknya, Hilda, yang berparas cantik pun tak luput dari
alat peraih kekuasaan . Kecantikannya adalah nektar yang dapat digunakan untuk
menjebak lebah madu. Dan, itulah kenyataannya: Hilda kehilangan dirinya
sendiri. Kehilangan cintanya. Yang dia miliki hanyalah tubuh yang bernama
Hilda, sedangkan “Hilda” mungkin telah mati seiring keambisiusan ayahnya.
Hilda adalah “Mesir Kecil. Walau ia
punya ayah, namun serasa tak memiliki. Ia dilindungi, memang begitu. Ayahnya
memang menyayangi, melindunginya. Tetapi, perlindungan dan kasih sayangnya adalah “tentara-tentara” yang
menjaga agar kekuasaannya tetap bertahan. Tentara-tentara yang sewaktu-waktu
siap diperalat untuk hal-hal yang diinginkan penguasa.
Dan, sudah semestinya tentara tak sopan bila
membantah perintah. Doktrin “siap grak”lah yang memudahkan Hilda dimobilasasi,
diminta menyalakkan pelatuk senapan meski di hadapan ada orang yang dicintai,
dan meski dirinya yang pertama harus berhadapan dengan malaikat maut. Kekalahan
adalah hal yang biasa, sedangkan kemenangan adalah sorak yang cepat berlalu,
karena ia hanya penyorak belaka sedangkan yang menikmati tetap atasannya.
Bartalami
memang tahu bagaimana membalas dendam dan member pelajaran kepada
musuh-musuhnya.
Ya, ia tak hanya tahu cara membalas
dendam tetapi juga tahu cara memperoleh kekuasaan di ambang goncang. Bartalami
bukanlah penduduk asli Mesir, melainkan bangsa keturunan pendatang. Bartalami
tak lain orang keturunan Armenia, tanah yang berates-ratus mil dari tanah para
Fir’aun itu. Berdagang telah menghidupi keluarganya. Lebih jauh lagi, berdagang
telah mengajari bagaimana ia belajar bertahan hidup. Bertahan hidup di tanah
asing, dan harus lihai mengatur siasat meski harus menjilat.
Mesir bukan hal pokok yang harus dibela.
Tetapi kepentingan pribadi yang jadi prioritasnya. Biarpun silih ganti
penguasa, dari mana pun asalnya, asalkan ia mampu menempatkan diri maka amanlah
segala kepentingannya. Hal itu telah dilakukan sebelum Bartalami memegang
tampuk kekuasaan sebagai gubernur jenderal. Jauh sebelumnya, sifat licik—dan
ini yang membuatnya meraih kesuksesan dalam berbisnisnya—telah ada. Bartalami
mempunyai daftar “hitam”, daftar kelemahan rekan-rekan saudagar yang lain. Dan
itu, ia pergunakan untuk mencari sela bagaimana melumpuhkan temannya itu.
Kedatangan penjajah Prancis, di bawah
komando Napoleon, adalah berkah baginya. Sebab, Bartalami tahu bagaimana ia
memanfaatkan para tentara dari negeri Eropa itu. Ia tahu kekuatan
balatentaranya, begitu pula ia tahu kekuatan rakyat Mesir yang bakal melakukan
perlawanan. Pilihannya adalah bersahabat, bahkan menghamba terhadap penjajah. Menghamba bukan
berarti “tunduk total” tetapi, sekali lagi. Bartalami tunduk karena ada
kepentingan yang perlu ia perjuangkan: kepentingan pribadi.
Mesir berada dalam fase perebutan dan
tak pernah tenang. Saat itu, Mesir berada di bawah kekuasaan Dinasti Mamluk
Turki, tak ada pilihan lain kecuali melawan penjajah. Sebagai daerah kekuasaan
Turki, sudah selayaknya jika harapan rakyat Mesir memperoleh pasokan senjata bahkan
tentara dari Dinasti Mamluk. Tapi, kenyaataannya tak sesuai harapan. Bala
bantuan itu tak kunjung-kunjung datang. Sekali datang ternyata juga kalah
dengan Prancis. Yang menyedihkan: Dinasti Mamluk rela berdamai dengan Prancis.
Itu berarti, Mesir di pindah tangankan kepada “Fir’aun” berikutnya.
Busytaili, dalam novel itu, representasi
rakyat Mesir (pribumi) , harus berjuang sendirian. Harapan pada Dinasti Mamluk
pupus. Dan memang begitulah: Dinasti Mamluk sebetulnya tak lebih dari penjajah.
Kelakuannya tak kalah bengisnya, keangkuhan telah menyulut dendam pribumi, jauh
sebelum Prancis datang. Hanya semangat juang yang terus menyalakan api
perlawanan. Sebab, senjata, senapan, dan meriam yang dimiliki rakyat Mesir
hanyalah sisa-sisa dari perlawanan sebelumnya, perlawanan terhadap Dinasti
Mamluk. Kondisi itu jelas kalah telak jika berhadapan dengan persenjataan Perancis
yang selangkah lebih maju.
Perlawanan Busytaili terhenti, seiring
dirinya mati dibunuh oleh Bartalami. Ya, yang mengalahkan bukanlah Prancis,
tetapi tangan Bartalami, yang tak lain telah dianggapnya saudara setanah air.
Saudara seiman yang pastinya punya rasa senasib sepananggungan. Tetapi anggapan
Busytaili itu keliru. Rasa senasib itu tak ada pada diri Bartalami.
Mesir memang tak pernah menikmati
dirinya sendiri. Itulah kisah negeri yang oleh Herodotus dijuliki sebagai
negeri Hadiah dari Sungai Nil. Hadiah yang selalu diperebutkan oleh siapa saja,
yang berkuasa, yang garang dan berkekuatan. Sedangkan rakyat sendiri tak pernah
berkuasa sepenuhnya mengolah tanah luapan “air mata Dewi Isis”. Dari satu
fir’aun pindah ke fir’aun yang lain.
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon