Tetapi tunggu dulu, bagaimana halnya bila pertanyaan tersebut
diberikan kepada orang-orang yang belum dan sedang mencari siapa pencipta alam
semesta? Apakah benar Tuhan? Benarkah “Dia” sebagai kreator agung, sebab awal jagat
raya? Pertanyaan inilah yang aku temukan ketika membaca tulisannya Paul Davies
dalam buku Tuhan, Doktrin, dan Rasionalitas. Buku tersebut seolah
membongkar keimanan yang sejak kecil memang sudah terbiasa dengan kata-kata
“Tuhan-lah yang menciptakan Jagat raya ini”. Sebagai manusia, wajar kalau ada
kegundahan dalam beriman, artinya manusia memang diajak berpikir untuk mencari
makna tertinggi tentang Tuhan itu sendiri. Ayat suci mengajak manusia untuk bertauhid
pun didahului dengan argumen yang mengerucut menuju ketuhanan dan tidak begitu
saja bukti, baik empiris, realitas yang ada langsung kita “hap”, beriman ,
melainkan ditantang untuk berpikir.
Dalam dunia ilmiah, semisal fisika dan konco-konconya, Big
Bang adalah teori yang memungkinkan untuk menerima bahwa alam memang
diciptakan dari ketunggalan. Ketunggalan ini dimaksudkan adalah sebelum alam
semesta terbentuk seperti sekarang ini dan waktu maupun ruang masih dalam satu
rahim, titik singularitas, merupakan asal usul alam semesta. Titik ini belum
bisa dikatakan seperti apa (barangkali keadaan inilah yang oleh orang Jawa
dinamakan sebagai alam awang uwung), serta apa yang ada dalam dan
sebelum titik singularitas tersebut. Karena kalau kita menyebutkan keadaan
dalam singularitas tersebut berarti ruang dan waktu sudah ada, karena “keadaan”
bergandengan dengan ruang dan waktu, sehingga singularitas itu belum bisa
didefinisikan dengan tepat, sebetulnya apa yang ada di situ, hanya Sang
Pencipta titik singularitas sendiri yang tahu. Wa’allahu a’lam.
Dalam tulisannya, Paul Davies mengemukakan bahwa Big Bang dan
kemajuan-kemajuan mutakhir dalam pemahaman kita, fakta penciptaan dipandang
memadai untuk mengungkapkan eksistensi Tuhan. Kemudian tulisan itu disusul
penciptaan. Apakah “sesuatu” bisa ada tanpa adanya kekuatan eksternal yang
mempengaruhinya (sesuatu itu muncul dengan sendirinya)?
“Penciptaan” didefinisikan, dalam tulisan tersebut, sebagai
mengorganisasikan materi secara mendadak dari bentuk purba yang kacau balau dan
tanpa struktur menjadi aktivitas yang rumit dan tatanan kompleks yang secara
aktual yang sebelumnya berupa kekosongan, tanpa keistimewaan. Atau penampakan
tiba-tiba dunia fisik seluruhnya, termasuk ruang dan waktu, dari tiada
sepenuhnya.
Penciptaan dengan berdasarkan teori Big Bang dapat dipahami,
menurut Davies, bahwa partikel atom ada karena adanya kondisi yang memungkinkan
partikel itu mewujud. Rumus matematis Eisnstien yang popular (E= mc2)
adalah sebuah penyerdehanaan bahasa, dan itu fungsi matematika, dari statemen
bahwa massa dan energi adalah ekuivalen: massa memiliki energi dan energi
memiliki massa. Massa memilki kuantifikasi energi. Fakta bahwa massa ekuivalen
berarti bahwa materi adalah energi yang terkunci. Jika cara tertentu dapat
ditemukan untuk membukanya, materi akan lenyap ditengah-tengah ledakan energi
tinggi. Sebaliknya, jika cukup energi terkonsentrasi—entah dengan cara
apa—materi akan muncul.
Tiga ilmuwan fisika (Paul Dirac, C.Y Chao, dan Carl Anderson)
mencoba untuk memahami rumus Einstein. Paul Dirac dengan prekdisinya yang
spektakuler, jika energi dapat dikonsentrasikan maka satu dari elektron dan
anti-elektron akan muncul. Pasangan ini (elektron dan anti-elektron) merupakan
syarat munculnya materi. Singkatnya, dengan cara ini energi dapat digunakan
secara langsung untuk menciptakan materi dalam bentuk pasangan elektron- anti
elektron. Sedangkan, C.Y Chao menggunakan sinar gamma yang mempunyai energi
tinggi untuk menciptakan materi. Sedangkan Carl Anderson mempelajari sinar
kosmis yang diserap oleh lempeng baja, dan kemudian ia melihat penampakan anti-elektron.
Kesimpulannya, dengan eksperimen terkontrol, kondisinya, materi dapat
diciptakan.
Kondisi lain yang memungkinkan materi terbentuk adalah dengan
kondisi gravitasional. Kondisi gravitasional hanyalah suatu lengkungan ruang,
yakni ruang yang membelok. Energi yang terkunci dalam suasana lengkungan ruang
dapat diubah menjadi partikel-partikel materi dan anti-materi. Ini, umpamanya,
terjadi dekat lubang hitam, dan boleh jadi juga merupakan sumber terpenting
dari partikel-partikel dalam dentuman besar. Karenanya, materi muncul secara
spontan dari ruang hampa.
Apakah contoh-contoh ini, semacam penciptaan materi secara ilmiah
dalam ruang hampa, yang tidak membutuhkan input energi, sama dengan
penciptaan ex nihilo versi teologi? Tetapi sains belum memperlihatkan
mengenai hakikat ruang dan waktu, baru sebatas materi itu muncul, bukannya
bagaimana ruang dan waktu itu muncul, atau apakah ia ada sebagaimana materi
muncul, artinya memerlukan kondisi tertentu? Kalau ya, bukankah kondisi adalah
berhubungan erat dengan ruang dan waktu? Dalam Qur’an, Allah memberikan batasan
bahwa waktu adalah urusan Tuhan, karena ia memang urusan Tuhan. Kalau
mempertanyakan apakah ia dan bahan apa untuk menjadikannya “ada” sama halnya,
mungkin, kita ingin memahami sesuatu hanya berdasarkan materi, padahal waktu
bukanlah materi. Banyak teolog menolak hal ini dengan tegas. Proses-proses yang
digambarkan di sini tidak mempresentasikan penciptaan materi, tetapi konversi
energi pra eksistensi ke bentuk material.
Kepercayaan bahwa jagat raya sebagai keseluruhan mesti memiliki
sebab, sebab itu adalah Tuhan, diucapkan oleh Plato dan Aristoteles,
dikembangkan oleh Thomas Aquinas, dan mencapai bentuknya yang paling meyakinkan
bersama Gottfried Wilhelm van Leibniz dan Samuel Clark.
Thomas Aquinas, dalam argumen kosmologisnya berpendapat bahwa
pembuktian Tuhan hanya dapat dilakukan secara a posteriori. Dengan
mengajukan lima bukti, di antaranya; adanya gerak dunia mengharuskan kita
menerima bahwa ada penggerak pertama, yaitu Allah. Di dalam dunia yang diamati
terdapat suatu tertib sebab-sebab yang membawa hasil atau yang berdaya guna,
tidak pernah ada sesuatu yang diamati yang menjadi sebab yang menghasilkan
dirinya sendiri. Karena sekiranya ada yang menghadirkan dirinya tentu harus
mendahului dirinya sendiri. Intinya, dari argumen Aquinas, adalah bahwa ada
pencipta yang menyebabkan adanya segala sesuatu.
Sekali lagi argumen ini difalsifikasi. Sains terdekat yang menfalsifikasi
adalah mekanika kuantum. Menurut teori ini, jika untuk suatu kejadian orang
harus memilih kedatangan suatu partikel subatomik pada tempat tertentu maka
kejadian tersebut tidak memiliki sebab, dalam pengertian bahwa ia secara inheren
tak dapat diprediksi. Partikel ini muncul di tempat tanpa sebab. Sedangkan
hukum kausalitas mengalami kendala yang cukup serius.
Kesulitan logis dalam mengaitkan sebab itu kepada Tuhan, karena ia
lalu dapat dipertanyakan “apakah yang menyebabkan Tuhan?” Jawaban biasanya
adalah bahwa “Tuhan tidak membutuhkan sebab”. Dia adalah wujud niscaya, yang
sebabnya harus ditemukan dalam dirinya sendiri. Tetapi argumen kosmologi yang
dibangun di atas asumsi bahwa segala sesuatu menuntut sebab, namun berujung
konklusi bahwa paling tidak ada sesuatu yang tidak menuntut sebab. Argumen ini
harus bertentangan dalam dirinya sendiri.
Bagaimana ini
Memang sulit untuk menjelaskan tentang Tuhan itu sendiri apalagi
harus dihadapkan pada filsafat pragmatisme dan empirisme, yang seolah-olah
semua harus bisa dibuktikan dan dirumuskan secara matematis. Kita seolah diajak
mencari hakikat dengan hanya mengandalkan intuisi akal dan indera yang lain,
sehingga mengesampingkan alat-alat yang lain, yang memungkinkan kita bisa
mendapatkan ilmu ketauhidan yang ingin dicapai. Dalam Islam, setidaknya, ada
tiga jalan untuk memperoleh ilmu pengetahuan yakni bayani, burhani, dan
irfani. Kemungkinan yang kita baca dari teori-teori di atas masih sebatas bayani
dan burhani (melihat dan mendemonstrasikan).
Pikiran hanya berkutat dengan idea atau gagasan. Pikiran tidak
mungkin mampu mengurusi hal-hal lain, kecuali ide. Oleh karena itu, tidak benar
jika kita membayangkan bahwa rasio mampu memikirkan realitas yang sesungguhnya.
Yang dapat dipikirkan oleh rasio adalah sebatas ide tentang realitas. (apakah
realitas yang sesungguhnya memang demikian atau tidak, merupakan permasalahan
metafisika). Akibatnya, apakah sesuatu dikatakan benar atau salah tidak diukur
dengan seberapa ia dekat dengan kebenaran absolut, tetapi ditentukan oleh
seberapa konsisten ia dengan pengalaman kita.
Sebenarnya apa bukti yang sering diagung-agungkan agar yakin maka
kita harus punya bukti itu? Bukti matematis yang sering dituntut dalam hal ini
adalah yang kita lakukan itu membuktikan bahwa kita berlaku menurut norma
(apalagi norma itu sendiri yang kita buat). Norma, dalam hal ini, adalah yang
kita pahami mengenai sifat-sifat realitas fisik itu konsisten secara logis,
berjalan sesuai dengan pengalaman. Norma ini tidak menyebutkan bahwa yang kita
katakan haruslah sesuatu yang mirip “realita”.
Jika demikian yang dituntut, kadang kita harus memperkosa alam
realitas, memaksakan keadaan sebenarnya agar sesuai dengan idea atau norma yang
telah disepakati (dari realitas ke otak).
Ajaran Islam memandang bahwa Allah yang menciptakan alam semesta.
Allah menjadi penyebab segala sesuatu dan mewujud (baik wujud itu bisa dilihat
maupun yang tak terlihat, seperti jin dan malaikat). Di dalam Qur’an disebutkan
bahwa Allah menjadikan sesuatu, manusia dari ketiadaan (S. Maryam: 9 dan 67).
Bahkan Allah yang memelihara dan mengulangi penciptaan itu sendiri tanpa ada
yang membantu-Nya dan sekaligus memperindahnya.
Apakah memang umat Islam demikian adanya menerima keyakinan
tersebut? Dalam literatur keislaman tidak ada yang mempersoalkan dengan masalah
wujud Allah, baik mutakallimun maupun umat Islam secara keseluruhan tak
ada yang menyangkal mengenai keberadaan Allah. Dia memang ada. Toh, kalaupun
ada perdebatan, umumnya hanya berkisar pada argumentasi bagaimana membuktikan
wujud Allah.
Al Jawr al fard
(subtansi dan aksiden) dipandang sebagai argumen tentang wujud Allah. Tetapi,
argumen ini banyak menimbulkan perbedaan yang cukup serius dikalangan filsuf
Islam. Ibnu Rusyd mengkritik konsep ini. Menurutnya, konsep ini bukan dari
Islam tetapi berasal dari Yunani yang disodorkan oleh Demokritos. Menurut
Demokritos, asal kejadian alam adalah atom. Dalam sejarahnya, pemikiran ini
membawa pengingkaran terhadap Tuhan, atau setidaknya tidak menyinggung adanya
wujud Tuhan.
Pemahaman-pemahaman tentang yang baru dan yang dahulu (bukan lama),
yang mumkin dan yang wajib, ‘illah dan ma’lul
adalah teoritis murni untuk menetapkan inisial yang pertama bagi esensi Tuhan,
yaitu eksistensi (wujud). Penetapan inisial ini diselesaikan dengan dua jalan: pertama, pembatalan siklus dan
rangkaian. Sehingga tidak mungkin suatu benda pada waktu yang sama adalah kesan
sekaligus yang dikesankan, dan tidak mungkin rangkaian argumentasi itu sampai
pada sesuatu yang tidak berhingga; kedua,
penetapan keharusan yang ada (wajib wujud). Sebab, mustahil mengonsepkan
sesuatu yang mungkin tanpa keharusan, sebagaimana mustahil mengonsepsikan
sesuatu yang baru tanpa yang dahulu. Dalam Islam, Allah adalah yang qodim,
dahulu, bukan hadist (baru). Dahulu berarti tanpa permulaan. Esensi yang
dahulu adalah yang azali, yang tidak mempunyai permulaan. Abadi berarti tida
berakhir. Esensi yang abadi adalah yang tidak berhingga dan tidak akan diikuti
oleh ketiadaan.
Mempercayai Tuhan sebagai pencipta alam semesta tidak hanya
didasarkan oleh bukti-bukti indrawi atau hanya menitik beratkan pada pengalaman
indrawi, sebagaimana spirit pengetahuan modern. Islam berpandangan bahwa di
balik yang indrawi ada cakrawala baru— cakrawala realitas yang transenden.
Islam menerima bahwa yang indrawi adalah nyata, tetapi Islam tetap
mempertahankan bahwa yang indrawi atau empiris bukanlah satu-satunya realitas.
Realitas yang transenden ini bisa dipahami, menurut M. Iqbal,
melalui pengalaman yang luar biasa yang disebut intuisi. Jadi, dengan
intuisi objek pengetahuan dapat dipahami secara langsung sebagai sesuatu di
atas sana. “Tuhan bukanlah entitas matematis atau sebuah sistem konsep yang
saling berhubungan satu sama lain dan tidak berkaitan dengan pengalaman. Dia
adalah suatu wujud objektif yang konkret dan bisa dipahami oleh hati karena
Tuhan bukanlah konsepsi melainkan persepsi.
Memang sangat naïf bila hendak membuktikan apakah Tuhan memang
sebagai pencipta alam semesta, sedangkan alam semesta itu sendiri direduksi
hanya berawal dari atom-atom. Padahal atom yang dipopulerkan oleh Demokritos dan
Leukippos sebenarnya hanyalah merupakan entitas hipotetis. Hipotetis yang
dimuat ini mempunyai tujuan agar observasi eksperimental terjelaskan. Hingga
hari ini, tidak ada orang yang pernah melihat sebuah atom. Namun kita sudah
terbiasa dengan pemikiran bahwa atom merupakan sesuatu sehingga kita lupa bahwa
atom itu sendiri merupakan sesuatu ide.
Teori mekanika kuantum dibangun karena ada harapan ingin
menjelaskan segala sesuatu dengan sangat tuntas hingga tidak ada lagi yang
tidak terjelaskan (termasuk Tuhan?). Tentu saja hal ini tidak berarti bahwa
penjelasan tersebut dapat merefleksikan bagaimana segala sesuatu itu
sesungguhnya. Tetapi, teori kuantum hanyalah sebagian teori yang ingin memahami
jagat raya dengan harapan bisa mengantarkan kepada Tuhan. Apabila di tengah
atau di ujung perjalanan teori tersebut tidak bisa menunjukkan Tuhan, mungkin
inilah batas teori tersebut, artinya tidak ada segi yang tak terungkap oleh
ilmu pengetahuan atau batas ideal ilmu pengetahuan (the ideal of knowledge).
Lalu bagaimana kita bisa mengerti Tuhan? Jawaban pertanyaan ini
mungkin bisa terobati dengan ungkapan Al-Ghazali, “Kika bukan karena kasih
sayang Tuhan, manusia tidak mampu mengetahui tuhannya. Tak seorang pun yang
dapat mengetahui Tuhan kecuali Tuhan itu sendiri.”
Tuhan ada atau tak ada, tak mesti jadi pertanyaan, karena niscaya Anda
tahu, Tuhan sangat bisa Anda lihat dengan jelas, dengan mata Anda sendiri,
bahkan bisa Anda katakan saintifik dan empiris karena lebih nyata ketimbang
apapun yang bisa Anda lihat dengan mata fisik dan mata nalar. Kerjakanlah ini,
dan lihatlah dengan mata batin; mata batin Anda, yang dengannya Anda melihat,
dan Tuhan melihat Anda. Wa allahu a’lam.
Referensi
Capra, Frijof. 2006. The Tao of Fisik, Menyingkap Kesejajaran
Fisika dan Mistisisme Timur. Yogyakarta: jalasutra.
Davies, Paul. 2002. Tuhan, Doktrin, dan Rasionalitas.
Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
Hanafi, Hasan.
2007. Islamologi. Yogyakarta: LKiS
Zukaf,
Gary. 2003. Makna Fisika Baru dalam Kehidupan, The Dancing Wu Li Master.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon