Mengapa manusia harus bertuhan? Apakah manusia memang benar-benar butuh Tuhan?
Kalau memang manusia ia, maka posisi “butuh” ini dalam hal apa?
Apakah sekadar mengobati ketidakmampuannya dalam
menghadapi segala dimensi kehidupannya? Ataukah, sebagai tempat keluh kesah bagi
keinginan-keinginannya dengan menganggap Tuhan selayaknya “pelayan” doa-doa?
Ataukah, memang, dalam jiwa manusia ada yang selalu merindukan Tuhan?
Lantas, bagaimana manusia menemukan Tuhannya?
Semenjak manusia memulai eradabannya, saat itu pula manusia berusaha mencari Tuhan atau kekuatan yang melebihi
dirinya. Pengakuan akan ketidakmampuan menghadapi segala problem kehidupan.
Pengakuan bahwa di “luar sana” ada kekuatan yang tidak dapat
ditundukkan dengan potensi fisiknya. Banjir, gunung meletus, angin topan,
halilintar, kematian merupakan hal-hal yang menakjubkan, dan mempunyai kekuatan yang tidak mungkin ditundukkan atau dilawan dengan
“tangan kosong”. Manusia harus berdamai, akrab, dan mencoba tidak membuat “Adi Kuasa” itu marah. Maka, muncullah mitos-mitos “Maha Kuat” yang harus diajak kompromi, dan sebisa mungkin manusia “merayu” agar “Dia” tidak marah.
Jujun S. Sumariantri dalam buku “Pengantar
Filsafat Ilmu”, menuliskan sikap demikianlah yang kelak melahirkan ilmu-ilmu sains atau
ilmu pengetahuan. Sebab, ada upaya manusia mamahami kekuatan tersebut.
Namun, apakah usaha-usaha pencapaian manusia melihat dan merenungkan alam hanya
terhenti di situ? Ataukah, lebih tinggi lagi (baca: Tuhan)?
Dalam sejarah timbulnya agama-agama pencarian
Tuhan memang u diawali dengan selalu bertanya dengan gejala yang ada di sekitar
kehidupan manusia dan pemusatan (kontemplasi). Nabi Ibrahim merupakan contoh
manusia yang menjalani fase-fase tersebut. Beliau harus berjuang sendirian dalam menemukan
Tuhannya. Dan, memang jalan spirutual tidaklah lempang, gampang atau tinggal “leg”, tetapi
terjal dan penuh konflik batin yang saling bertanya dan mempertanyakan antara
benih keimanan dan hasrat nafsu.
Begitu pula dengan cerita Hayy Ibn Yaqdzan (anak rusa) yang mencari Tuhannya.
Hematku, cerita ini merupakan perluasan, penjabaran, atau setidaknya terinspirasi kisah Nabi Ibrahim mencari Tuhan. Meski, ada yang mengatakan kisah Hayy Ibn Yaqdzan lebih terinspirasi oleh
kisah Hayya Ibn yaqdzan-nya Ibnu Sina atau Syekh Surahwardi. Namun, Hayy Ibnu Yaqdzan-nya Ibnu Thufail mempunyai
perbedaan dengan keduanya, yakni amanat yang dimuat dalam cerita tersebut.
Bahkan, erita ini merupakan upaya mendamaikan
keduanya, karena kita ketahui dua filsuf (Ibnu Sina dan Surahwardi tokoh filsuf
yang berbeda basis, Ibnu Sina terkenal dengan filsafat Peripetatik, sedangkan Surahwardi terkenal lebih bersifat iluminasi).
Ibnu Thufail mengisahkan kelahiran Hayya
Ibn Yaqdzan dalam dua versi. Pertama, Hayy terlahir dari rahim seorang ibu dan merupakan hasil
perkawaninan dari orang tua yang masih keturunan bangsawan. Namun, cinta
mereka tidak direstui keluarga, kemudian menikah sembunyi-sembunyi. Saat Hayy lahir, karena takut diketahui
keluarganya, maka dilarung ke lautan, dan akhirnya terdampar di sebuah pulau yang
tak dihuni oleh manusia, melainkan bangsa hewan. Hayy kecil sampai dewasa diasuh oleh induk rusa. Rusa inilah
yang berperan sebagai orang tua Hayy.
Versi kedua, Hayy
lahir bukan dari rahim manusia melainkan hasil pertumbuhan alam, yang berasal
dari segumpal tanah yang meragi (ikhtimar ath-thiinah) di perut bumi di
pulau Al-Waqwaq. Tanah yang bergelembung itu terdiri atas dua bagian yang dipisahkan oleh selaput yang sangat tipis, dan berisi
sebuah zat udara yang sangat halus, sebagai tempat bersemayamnya ruh Tuhan. Dari gelembung itu tercipta sebuah embrio yang mengalami perkembangan dan
berevolusi menjadi seorang bayi yang kemudian diasuh oleh seekor rusa.
Hayy Ibn Yaqdzan tumbuh dan berkembang dalam tujuh fase. Fase
pertama, kala Hayy disusui dan diasuh oleh rusa selama tujuh tahun. Dalam fase ini, Hayy belajar
menirukan suara-suara binatang serta belajar menutup aurat. Dia menggunakan
tongkat untuk membela diri. Fase kedua, dimulai setalah ibunya (rusa)
meninggal. Untuk mengetahui penyebab kematian ibunya, Hayy membedah jasad ibunya. Hayy dibekali dengan indra dan naluri yang tajam sehingga dapat
membedakan segala sesuatu.
Fase ketiga, Hayy
menemukan api. Dia juga mengetahui tata
cara untuk mendapatkan dan memanfaatkan api. Pada akhirnya, sampai pada kesimpulan akan adanya ruh hewani dalam setiap tubuh. Fase
keempat adalah fase Hayy mulai mengamati segala sesuatu yang ada di alam kejadian dan kerusakan (‘alam
al-kaun wa al fasad: alam materi). Dia mengetahui adanya satuan dan
bilangan di dalam jasad dan ruh, serta meyakini bahwa segala sesuatu memiliki
esensi yang sama, meskipun bentuknya berbeda. Fase ini berakhir pada saat dia
berumur dua puluh delapan tahun.
Fase kelima, Hayy
mulai mengamati angkasa luar dan mengamati kosmos. Hingga akhirnya, ia berkesimpulan bahwa semua itu adalah benda yang pada
saatnya akan berakhir pada lingkaran kosmos. Perenungan ini mengantarkannya
pada pengetahuan tentang kekekalan dan kebaruan alam semesta. Pada
kesimpulannya, Hayy menumukan bahwa jiwa mempunyai karakter yang berbeda dengan jasad.
Jiwa mempunyai kecenderungan senantiasa rindu pada Sang Khalik dan kebahagian
jiwa terletak pada saat ia mampu menyaksikan (musyahadah) Sang Khalik.
Inilah fase pengetahuan tentang puncak kebahagian.
Fase ketujuh, dimulai sejak Hayy meyakini bahwa kebahagiaan terletak pada kemampuannya
menyaksikan Sang Khalik secara terus menerus, tenggelam dalam esensi ketuhanan
(fana’). Hayy, karena
terinspirasi oleh benda-benda langit yang bercahaya, maka memutuskan untuk
membersihkan diri dan tenggelam dalam berpikir tentang Sang Khalik, sekaligus
melepaskan diri dari segala yang dapat dirasa (al-mahsusat).
Hingga suatu saat, Hayy bertemu dengan
Asal yang akan melakukan ‘uzlah (menyepi) di pulau tersebut. Keduanya
akrab dan saling bertukar ilmu tentang bagaimana mereka sampai pada hakikat
tentang sebab (al-‘illah) kejadian alam, jiwa, beserta spiritualitas,
dan keabadiannya. Dan,
ternyata sejalan dengan yang terkandung dalam
syariat. Saat yang sama, Asal menceritakan bahwa dia
mempunyai teman, namanya Salaman, seorang raja yang tinggal di pulau seberang,
yang menganut agama para nabi. Salaman senantiasa berpegang pada tekstualitas
syariat dan anti-tasawuf.
Apa yang terjadi pada Asal dan Salaman
ternyata tidak terjadi pada Asal dan Hayy.
Meskipun berbeda, namun keduanya sama-sama sampai pada hakikat yang sama. Asal
sempat mengajak Hayy untuk
pergi bersama-sama ke pulau seberang guna mengajak Salaman menempuh jalan
menuju hakikat yang melampui batas-batas syariat, tanpa mengurangi sedikit pun
kandungannya, dan mengarungi kelezatan cinta yang dapat menjadikannya
senantiasa dekat dengan Allah. Namun kenyataannya, Salaman tidak seperti yang
mereka berdua bayangkan, dan hal ini semakin meyakinkan Hayy dan Asal bahwa manusia mempunyai kemampuan yang bebeda-beda
dalam menangkap dan memahami kebenaran.
Risalah Hayy Ibn Yaqdzan setidaknya
mempunyai dua aspek yang hendak disampaikan oleh penulis (Ibnu Thufail). Pertama,
fisika ke metafika. Ini jelas dari penggambaran Hayy sebagai manusia yang selalu mengamati sekitarnya kemudian
merenungkan dan merumuskannya. Namun penjelajahan Hayy tidak terhenti hanya sebatas pada perumusan matematis
(sains), tetapi Hayy meneruskan
pada tahap metafisika (menauhidkan) atau “menghijrahkan materi menuju dimensi cahaya”.
Pengetahuan Hayy tentang pluralitas, yang pada dasarnya merupakan satu
kesatuan substansi dalam keragaman aksidensi, telah membawanya pada kesimpulan
adanya sebab pertama (al-illah-al-ula), yang merupakan pangkal segala
sebab. Semua yang ada di alam semesta ini bersumber dari sebab yang satu.
Pencipta merupakan sebab bagi adanya alam semesta. Oleh karena itu, alam
semesta secara esensi ( bi adz-dzat) ada setelah sebab itu ada, meskipun
tidak dalam dimensi waktu. Hal ini meniscayakan kekadiman alam ditinjau dari
segi waktu, akan tetapi alam itu baru jika dilihat dari adanya alam yang muncul
setelah adanya sebab yang wajib ada, yakni Allah.
Aspek kedua,
yakni tasawuf. Dalam perjalanan spiritual Hayy
terdapat tiga tahapan penyucian jiwa, yakni melalui peniruan siklus alam
semesta. Pertama, peniruan terhadap perilaku binatang, peniruan ini
hanya bertujuan memenuhi kebutuhan jasmani semata dan tidak mengantarkan pada
penyaksian dzat Tuhan. Kedua, peniruan terhadap perilaku benda-benda
luar angkasa, yang melambangkan sifat-sifat tertinggi dan terpuji serta
mempunyai siklus yang teratur. Peniruan ini dapat mengantarkan pada derajat musyahadah
al-haqq, meskipun masih diliputi noda. Yang ketiga, peniruan
terhadap perilaku/sifat-sifat Tuhan yang immateri: arif, bijak, dan semua sifat
kemahaagungan-Nya. Peniruan inilah yang mengantarkan seseorang mencapai musyahadah
yang sebenarnya dan tenggelam secara total (al-istighraq al-mahdh) dalam
al-haq.
Buku yang ditulis oleh saudara M. Hadi Masruri
bukanlah novel atau penulisan ulang novelnya Ibnu Thufail, tetapi lebih
bersifat telaah terhadap novel tersebut. Seperti yang diakuinya bahwa penulisan
buku ini sengaja diketengahkan kerana ada banyak asumsi dan menganggap bahwa
Ibnu Thufail sebagai penerus generasi dari tradisi peripetik. Namun, dalam
telaah novel ini justru Ibnu Thufail memperlihatkan sesuatu yang berbeda. Ibnu Thufail
justru cenderung intuitif-iluminatif (irfani). Dengan eksperementasi
pemikirannya ini, Ibnu Thufail bahkan berhasil menghadirkan teori pengetahuan
baru yang disebut filsafat iluminasi. Melalui konsep tasyabbuhat (meniru
perilaku alam), Ibnu Thufail memperoleh penyinaran dari cahaya segala cahaya,
yang pada akhirnya ia bisa musyahadah dzat Tuhan yang merupakan puncak
kebahagiaan yang bisa dicapai oleh seorang manusia.
Argumen
pokok yang dibangun oleh buku ini adalah bahwa jalan untuk sampai pada kebenaran
sejati tidaklah tunggal, tetapi banyak dan beragam. Setiap orang memiliki
caranya sendiri untuk mendapatkan pencerahan dari Tuhan hingga akhirnya sampai kepada
dzat-Nya
Judul : Ibnu Thufail, Jalan Pencerahan Mencari Tuhan
Penulis : M. Hadi Masruri
Penerbit : LkiS Yogyakarta
Tahun terbit : Agustus, 2005
Tebal : xvi
+ 168 halaman; 12 X 18 cmSign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon