Lingga dan Pisang: Pergeseran Simbol Phallus




Maaf teman-teman, update-ku kali ini agak ‘nakal’ sedikit. Ini bukan porno atau mengajak berfantasi liar, tetapi sebaliknya mengajak menelaah simbol-simbol yang berserak di sekitar kita. Mungkin, selama ini kita hanya diam tanpa mencoba memaknai simbol-simbol tersebut.
Yang ingin kutulis perihal phallus, alat kelamin laki-laki, alias titit (kalau masih kecil). Sederhana, bukan? Ya, langsung saja. Jika pernah berpergian ke candi, kita akan menumukan simbol Lingga dan Yoni. Kedua simbol ini bisa ditemukan di Candi Sukuh, di Lereng Gunung Lawu. Lingga tak lain adalah simbol penis, sedangkan yoni simbol vagina. Mengapa simbol-simbol itu ada di tempat suci? Apakah orang-orang dahulu sudah mengenal ‘erotisme’? Suka hal-hal yang berbau porno?
Jawabannya; boleh jadi “iya” dan suka terhadap yang erotis. Bagaimanapun gambar-gambar erotis seperti “api sentir’ yang mengundang rasa tahu anai-anai mendekat. Tapi kok letaknya di candi? Bukankah itu tempat yang dianggap suci? Nah, kuncinya di sini. Jika demikian, pasti ada maksud tertentu dari simbol tersebut. Tentunya simbol itu sakral.
Dua simbol alat kelamin yang terdapat di candi tersebut gandeng. Seperti menusuk. Layaknya gambaran hubungan intim. Woww..ngerii. Masalahnya bukan ngeri atau tidak ngeri, tapi apa maknanya?
 Lingga, seperti yang disebutkan oleh manuskrip, tak lain simbol kesuburan, cikal bakal kehidupan. Begitu pula dengan yoni adalah ladang persemaian benih kehidupan. Keduanya sakral, suci dan tidak mudah untuk diekspos begitu saja. Setiap manusia wajib menjaganya. Sebab, keduanya adalah gerbang kehidupan. Mungkin pintu keluarnya Adam dan Hawa yang kala itu terusir dari surga.
Bahkan, orang-orang dahulu punya pantangan bagi anak-anaknya (putra-putri). Mereka perlu membekali pengetahuan sebelum melangsungkan perkawinan. Bahkan jika teman-teman pernah melihat prosesi perkawinan adat Jawa yang njilmet itu ternyata banyak simbol-simbolnya. Maka tak heran jika dikatakan: orang Jawa itu gone semu. Di Jawa bagian tengah, ada yang namanya “gowok’. Sebutan ini bisa dijumpai pada novel Ronggeng Dukuh Paruk karya (Mbah) Ahmda Tohari. Gowok tak lain adalah perempuan tua yang dipercaya untuk membimbing tata tertib hubungan intim. Apakah seperti Kamasutra atau Qurotul ‘Uyun? Aku tak tahu, mungkin lain waktu bisa dibahas dua kitab yang berbeda itu.
Itulah simbol phalllus yang oleh orang-orang dahulu digambarkan dengan apa adanya namun tertutup, hanya pada tempat-tempat tertentu.
Lantas, bagaimana dengan sekarang?
Pernahkah teman-teman melihat gambar “orang perempuan” memegang pisang yang dikupas kulitnya sambil didekatkan di bibirnya? Atau pernahkah membaca artikel tentang bagaimana memanjangkan alat kelamin laki-laki? Jika pernah, simbol itu disamarkan dengan pisang. Kenapa pisang? Apakah demi menghindari cabulisme?
Mungkin tujuannya memang demikian: menghindari kesan porno. Akan tetapi, bagiku itu pergeseran makna simbol phallus. Ada disorientasi tujuan. Lha kok? Ya, sederhana saja: apakah phallus bisa diwakilkan dengan pisang? Jika “Ya”, kenapa harus di dekatkan pada bibir perempuan yang memerah? Semua itu tak lain ada pergesaran makna: jika dahulu titit sebagai lambang kesuburan, sekarang hanya menjadi barang kenikmatan.
Tak heran jika sekarang gencar iklan bagaimana ‘mengurusi’ barang itu: besar dan panjang.
Itu cukup membuktikan bahwa simbol kesuburan sekarang tinggal nilai materialnya saja. Ruh, nilai kearifannya telah hilang. Jika dahulu lingga bersanding dengan yoni, sekarang pisang bersanding dengan bibir. Ora nyambungkan jika itu maksud wakil dari phallus?
Pergeseran tanda ini, seperti yang ditulis oleh Yasraf Amir Pilliang, oleh Baudrillard dinakamakan ‘keterpesonaan’. Yakni, dalam sistem diferensi tanda-tanda dalam komoditi yang dicari bukan lagi makna-makna, melainkan keterpesonaan terhadap penampakan. Inilah permainan tanda, yang menggeser makna semula yang sakral menjadi vulgar dan hanya kenikmatan saja.
~sekian
Previous
Next Post »