The Garden of Truth: Siapa “Aku”?



Pertanyaan yang tak pernah kunjung selesai untuk ditemukan jawabannya adalah “aku”. Siapa aku? Kita, mereka atau secara umum siapa manusia itu? Dari mana asalnya dan ke mana manusia akan pergi setelah mati? Sosok aku tetap menyajikan telaah-telaah lintas disiplin ilmu. Berapa banyak defenisi yang mencoba mengartikan sosok aku. Semua ini tergantung sekali dari sudut pandang yang mengartikan.
Manusia adalah hewan berpikir, Anda setuju atau tidak tetapi arti itu telah meluncur sekian ribuan tahun. Sehingga, dari definisi ini, yang membedakan manusia dengan hewan terletak pada kesungguhan untuk mengomptimalkan akal pikiran. Jika berhenti dari kegiatan  berpikir maka manusia sama dengan hewan. Jika selanjutnya Anda bertanya: bagaimana jika ada makhluk yang bertubuh hewan dengan kemampuan berpikir, berkreativitas seperti manusia sekarang, apakah kita bisa menyebutnya sebagai manusia? Apakah manusia, aku, sebenarnya hanyalah akal-pikiran, selebihnya adalah jasad yang bisa saja bernilai sama dengan tubuh fisik makhluk-makhluk lainnya?
Sangkan paraning dumadi menjadi pertanyaan purba yang merupakan wilayah inti dari perjalanan hidup manusia. Sekilas pertanyaan ini memang gampang untuk dijawab, sebab kurang lebih hanyalah dari mana, ke mana, dan akan menjadi apa kita di sini, di dunia ini. Namun, jika kita mau menyibak dengan sedikit merenungkan, boleh jadi jawaban itu tak kunjung habis untuk kita tulis. Sebab, perjalanan hidup manusia di dunia masih sebatas “dumadi”nya yang belum matang.
Menurut metafisika Sufi, dan tradisi metafisika lainnya, semua yang ada berasal dari Realitas yang secara serempak Di Luar Wujud sekaligus Wujud, dan akhirnya segala sesuatu kembali pada Sumber itu. Bagian pertama perjalanan semua makhluk dari Sumber itu disebut “lengkung menurun” sedangkan bagian keduanya disebut “lengkung mendaki”. Di dalam perjalanan kosmik ini kita mendapati kita di sini, dan sekarang ini, di bumi ini sebagai manusia. Kita pun hanyalah secuil dari bagian perjalanan yang jauh lebih besar, yakni perjalan kosmik i. Kita dilahirkan, kita bergerak melalui waktu, lalu mati. Sebagian kita, tanpa mengetahui siapa kita sebenarnya, bergerak di antara dua misteri besar dan hal-hal yang tidak diketahui, yaitu, di mana kita sebelum datang ke dunia dan ke mana kita pergi setelah mati.
Seperti yang telah disinggung di atas, sebagian orang mengatakan “aku”, manusia, adalah hewan rasional sebagaimana pendapat Aristoteles. Bahkan Rumi dalam Matsnawi menyebut “engkau” adalah pikiran itu sendiri, selebihnya bukan apa-apa kecuali otot dan tulang. Namun, pikiran yang dimaksud Rumi bukan hanya pemikiran diskursif sehari-hari. Singkatnya, identitas aku terdapat pada tingkatan yang lebih mendalam daripada wujud kita. Tingkatan itu adalah hati, sebagai pusat mikrokosmos manusia dan juga organ pengetahun pemersatu yang terkait dengan akal. Hati adalah tempat bersemayamnya Ilahi: akar dari “Aku” dan jawaban terakhir bagi jawaban “siapakah aku?”
Aku adalah Aku yang, setelah melintasi semua tahapan eksistensi terbatas dari fisik ke mental ke noumenal, lalu menyadari “non-eksistensi” dirinya sendiri dan melalui peniadaan diri yang palsu ini telah kembali ke akarnya di dalam Realitas Ilahi dan menjadi sebuah bintang terdekat dengan Matahari Supernal, yang pada akhirnya adalah satu-satunya Aku.
Rangkaian selanjutnya adalah dumadi alias “menjadi”. Setelah kita mengetahui “aku”, selanjutnya kenapa kita berada di dunia ini atau sengaja “diadakan”-Nya di alam ini.  Al-Qur’an menyatakan bahwa keberadan/diciptakan manusia, jin tidak lain untuk menyembah Allah. Apakah yang dimaksud dengan menyembah itu sendiri? Apakah sekedar mentaati perintah fiqih agama, yang sering dinamakan ibadah khusus, ataukah juga harus dibarengi dengan ibadah goiru mahdhoh yang sering merujuk pada muamalah? Dan apakah dengan melaksanakan secara integrasi keduanya cukup dan dengan tenangnya kita mengakui telah “menyembah” Tuhan?
Tasawuf memahami “untuk menyembahku” berarti “untuk mengenalku”, sebuah pengetahuan yang hanya mungkin realisasi penghambaan kita yang sempurna. Realisasi itu secara etimologis berarti bukan hanya mematuhi Allah sebagai tuan kita, melainkan juga menyadari bahwa segala sesuatu pada akhirnya milik Allah dan bahwa di dalam diri sendiri kita adalah seorang fakir (faqir). Makna tertinggi penghambaan adalah kesadaran kita tentang “ketiadaan” kita di hadapan Allah.  Hanya melalui gerbang “peniadaan” ini, kita dapat meraih kekekalan, di dalam Tuhan dan mencapai akar dari “Aku” kita.
Menjadi manusia dalam pengertian sepenuhnya berarti menjadi mampu mewujudkan Kebenaran dan sepenuhnya terbenam dalam cahayanya. Hal ini berarti tertarik sepenuhnya pada sanubari Sang Pacinta, sehingga ia berkata sebagaimana ungkapan Rumi, aku bukan lagi tubuh atau jiwa ini, melaikan telah “menjadi” sang Tercinta.
Namun, sangkan paraning dumadi ibaratnya hanyalah pos kesadaran yang perlu dilalui. Sayangnya, bagamana kita bisa melalui pos-pos tersebut. Di sinilah kita membutuhkan orang-orang suci untuk menuntun, membasuh diri kita agar mampu menjalani sangkan-paran tadi. Menunjuki jalan menuju taman (jannat/garden) yang menyediakan kemahaluasan keindahan dan bisa mendapat cipratan isi taman tersebut.

Judul                             :  The Garden Of Truth, Mereguk Sari Tasawuf
Judul Asli                      :  The Garden Of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradtion
Penulis                          :  Seyyed Hossein Nasr
Penerjemah                   :  Yuliani Liputo
Penerbit                         :  Mizan Bandung
Tahun terbit                  :  Cetakan I, Januari 2010
Tebal                             :  304 halaman
ISBN                            :  978-979-433-582-6
Previous
Next Post »