Pacaran Setelah Menikah?


Kali ini, aku akan berlatih menyulih bahasa, belajar menata bahasa yang sudah repot-repot dikaryakan oleh para moyang kita. Bagaimanapun, bahasa menjadi lambang budaya suatu bangsa. Setuju boleh, gak setuju juga boleh. Aku gak pateken.

Tulisan ini aku comot dari blog lintang arum dhalu, yang tak lain blogku juga. Maklum, orang lagi mendem ngeblog, ya, seperti ini. Maka, temanku, Mas Husein al-Paijo menyarankanku untuk merumat satu blog saja, tak usah banyak-banyak. Benar juga si temanku yang satu ini.

Oke, ora usah kakean nyocot, langsung saja kita menikmati tiga kata ini: “pacaran setelah menikah

Entah jika membaca kalimat itu ada sesuatu yang membuat dudukku tak tenang. Bukan masalah ‘waktu’ kapan aku menikah, tapi ada kata  berbeda yang distratifikasikan. Namun, strata itu tak pas, kebalik. Aku gusar? Ya. Kegusaranku adalah ketakhati-hatian memakai kata ‘pacaran’ dan ‘menikah. Mungkin aku memang tipe orang yang tak bisa menikmati kata "masa bodoh". Itulah kenyataannya, dan akan kunikmati dengan keadaanku itu.

Beberapa waktu lalu (sudah sangat lama, sebenarnya), aku tulis di FB-ku: “Pacaran setelah menikah? Opo yo enek? Jika tak mau pacaran, ya, gak usah pacaran, terus jangan sandingkan kata pacaran setelah menikah. Responya tak banyak, namun ada satu teman langsung membelokan arah pembicaraan. Dan itu sudah kuduga. Kata teman itu: pacaran setelah menikah itu tak lain ala pemuda muslim. Lho kok? Aku juga heran dengan kalimatnya. Aku pun balik bertanya: jadi yang pacaran itu bukan pemuda muslim? Lantas pemuda apa (baca: agama)? Jujur saja, aku kaget dengan itu. Kagetku adalah kesembronoan penggunaan kata dan rasa takbersalah. Menutup mata dengan realitas yang ada. Apakah pacaran sekarang ini hanya melanda agama tertentu? Kenyataannya kan tidak. Gejolak itu merambah pemuda, tanpa pandang agama, rasa, negara, maupun strata sosial lainnya.

Teman itu kemudian berkilah  bahwa pacaran itu tak ada dalam Islam. Aku menangguhkan kesetujuanku. Sebab, benarkah pacaran itu tak ada dalam Islam atau agama lainnya? Jangan-jangan cuma beda istilah saja. Tapi aku biarkan ia berkata apa saja. Suda kutebak sebelumnya, ia pasti akan mengemukakan kata “ta’aruf” sebagai “gerbang” menuju pernikahan. Kenyataannya benar adanya. Tapi ia menambahkan ada pihak ketiga sebagai perantara. Bagiku ini argumentasi yang tak membuatku takjub. Biasa saja.

Ya, ia tak setuju dengan gaya anak muda sekarang, sama sepertiku. Namun, ia larut hanya membaca realitas, dan tak peduli dengan asal mula kata “pacaran.” Bagaiamanpun, menurutku, jangan sembarangan memakai kata tanpa tahu arti katanya. Sebab, itu sama saja menjajah bahasa. Padahal yang kuinginkan mengembalikan kata pada mulanya. Biar kita tak tersesat, tak terseret arus tanpa tahu ujung pangkalnya. Di sisi lain, ada perbedaan ‘kasta’ antara pacaran dan ‘nikah’. Bagiku ‘nikah’ lebih mulia dibandingkan dengan ‘pacaran’. Penempatan, jika diurutkan secara hierarki, pacaran tetap di bawah nikah.

Jika kita sudi menengok KBBI (teman itu mengecamku hanya ‘ngaji’ berdasar KBBI) pacar itu diartikan sebagai teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih. Inti dari terjemahan ini adalah teman lawan jenis yang dijalin berdasarkan cinta kasih. Apakah harus ‘tetap”? Ah, jika selama pacaran, apakah sudah mungkin bisa ‘ditetapkan’? Kukira belum. Semua masih mengalir, dan bisa berubah dalam rentang waktu yang takterkirakan.

Sedangkan kata "nikah" itu tak lain membentuk ikatan perkawinan yang didasarkan agama, adat, dan aturan lainnya. Padahal, arti nikah tak pas jika disejajarkan dengan pacaran. Pacaran tak didasari apa-apa (baca: norma agama), kecuali tata cara bergaulnya. Pacaran itu bak wilayah abu-abu, tak jelas. Pacaran juga tak sepadan jika disandingkan dengan ‘kawin’, sebab kawin itu artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis. Kecuali, kawin dalam bahasa Jawa yang diartikan bersenggama, dan penggunaan bahasanya diterapkan untuk hewan. Misalnya, sapiku lagi kawin. Itu berarti sapinya lagi “kikuk..kikuk” dengan sapi lain yang beda jenisnya.

Bagaimana kalau ditilik dari sejarahnya? Beberapa referensi yang kubaca di internet (bolehkan baca dari dunia maya?), istilah "pacar" atau "pacaran" itu muncul di tanah Sumatera Barat. Pacar memang pada mulanya tak lain jenis bunga, yaitu bunga pacar air. Orang Sumatera Barat menyebutnya Inai. Jika dua pemuda, berbeda jenis, ketahuan memadu kasih maka orangtua mereka akan menindaklanjutinya. Biasanya pihak laki-laki akan mengutus pembaca pantun ke rumah pihak perempuan. Utusan ini akan membaca pantun di depan rumahnya pihak perempuan. Jika perempuan ini membalas pantun sebagai tanda menerima cinta laki-laki, maka segera orangtua perempuan itu akan mengenakan (mungkin mengoles) kembang pacar air di kedua tangan laki-laki tersebut. Konon katanya, warna pacar air itu tak akan hilang selama tiga bulan. Dalam rentang waktu itu, pihak laki-laki akan dituntut untuk mencari bekal pernikahan mereka. Mudahnya, laki-laki harus mencari biaya pernikahan mereka.

Nah, dari sejarah mulanya saja jelas bahwa "pacar" atau "pacaran" itu adalah ujung dari niat menjalin kisah kasih sebelum membentuk rumah tangga. Mungkin pacaran itu hampir sama dengan lamaran atau pinengsetan dalam budaya Jawa. Sama-sama mengikat tapi belum erat betul karena masih ada tuntutan dari pihak perempuan kepada pihak laki-laki untuk membiayai perkawinan/pernikahan. Jika “jatuh tempo” maka kedua belah pihak boleh membatalkan sesuai kesepakatan mereka di awalnya.

Okelah, mungkin kata “pacaran setelah menikah” itu yang tidak disetujui perilaku pacaran model sekarang. Memang perilaku pacaran muda-mudi sekarang hampir mendekati hubungan suami istri. Mengarah kepada hubungan badan. Namun, ini juga tak tepat. Mbok ya cari istilah lainnya saja. Toh, kita bisa menggunakan sekaligus mempopulerkan kata "gendakan" untuk menyebut hubungan yang mengarah pada "hubungan suami istri" itu. Jadi, tak usah menggunakan kata "pacaran".
 Dan, sebagaimana arti katanya, pacar itu teman, sedang suami istri itu di Jawa disebut sebagai "garwo" (sigarane nyowo). Itu artinya, suami istri itu bukan sekadar teman, tapi ‘ruh lain’ yang harus kita miliki. Jika salah satu itu tak ada, maka tak bisa dikatakan kita ini hidup. Tingkatan ini lebih tinggi dari sekadar teman; garwo itu  teman yang ‘nyawiji’, mendarah-daging.

O, mungkin pacaran yang dimaksud "keadaan", kemesraan perilku pemuda sekarang yang bercumbu rayu? Ah, nikah itu urusannya bukan lagi kelon, senggama. Nikah itu dikatakan melunasi separo agama. Jika begitu, ia mencakup ibadah mahdoh, ghoiru mahdoh. Meliputi hubungan Tuhan, manusia, alam, dan dirinya sendiri. Nikah itu wilayahnya luas sekali. Ia adalah "ikatan" yang mencoba mengikat sakinah, mawadda, rohmah, dan berkahnya Tuhan. Jadi nikahlah setelah menikah, dan teruslah nikahi pasanganmu itu, tak usah pacaran setelah menikah. 
 Silakan dipikir lagi tentang "pacara", "nikah". Kalaupun ternyata masih suka "pacaran setelah menikah", yo monggo. Yang penting jangan mencari bribik pacare wong liyo setelah menikah. Itu dosa yang kelewat batas. "Wis duwe bojo kok ngegotan," begitu nyinyiran orang-orang di kampungku.
Previous
Next Post »