Moksa Brawijaya: The End Of Majapahit?



“Gusti Prabu, sesungguhnya ini berkaitan dengan wisik yang hamba terima kemarin malam! dalam semadi hamba, hamba melihat istana Majapahit terbakar api menyala-nyala hingga habis. Ludhes tak tersisa sedikitpun!” ujar Sabda Palon melaporkan.
“Demikian pula dengan semadi yang hamba lakukan kemarin malam, Sinuwun!” Naya Genggong menambahkan, “Hamba pun melihat suasana istana Majapahit kacau balau karena diterjang badai besar! Jelas bahwa hal ini mengisyaratkan suatu pertanda buruk terhadap istana Majapahit, terutama terhadap kedudukan Paduka sebagai Raja-Binathara! Oleh karena itu, Paduka harus berhati-hati, jangan samapai lengah sedikit pun, Gusti Prabu.”
Tidak disangka jika para Dhayang Ratu Jawa menyampaikan semacam pertanda yang bakal terjadi dengan Kerajaan Majapahit. Kerajaan yang pernah menjadi menguasai Nusantara itu harus berakhir tragis. Namun itu masih semacam pertanda, yang peluang terjadinya pun masih dipertanyakan. Namun kenapa sedih hati Sang Prabu Kerthabumi begitu mendengar penuturan dua orang abdinya?
Pertanda semacam wisik, mimpi yang dialami oleh seorang yang getol tirakat, semadi bukan sembarang pertanda yang bisa diremehkan. Apa yang dialami semacam kabar ghoib yang kelak bisa terjadi, itulah ketajaman mata batin membaca sasmita yang begitu halus dan terkadang samar. Sudah sepantasnya jika Brawijaya V menjadi gundah kulana mendengar kabar itu. apalagi, sebelumnya, di wilayah Majapahit terjadi musim paceklik yang berkepanjangan, moral para naya-praja rusak, muda-mudinya kebablasan bergaul. Sehingga norma-norma agama, adat budaya tidak lagi dipegang teguh. Tetapi berkat kehadiran Sunan Ampel atau Raden Rahmat kebejatan moral itu dapat diatasi, sehingga Raden Rahmat diberi hadiah tanah di wilayah Ampel Denta dan diambil menantu oleh Sang Prabu.
Lantas, apa kira-kira yang bakal meruntuhkan Majapahit? Serangan dari kerajaan lainkah? Kerajaan mana yang berani njongkeng keprabon? Bukankah Majapahit yang sudah lama mencercap manis asinnya medan pertempuran? Semangat keprajuritan bhayangkara peninggalan Patih Gajah Mada setidaknya masih mengalir dalam darah mereka? Lalu, apakah ada musuh dalam selimut yang sengaja bersembunyi di dalam kekuasan Prabu Brawijaya, dan dengan diam-diam menusuk ulu hati Sang Prabu?
Tidak ada yang tahu, peristiwa apa yang bakal meruntuhkan kerajaan peninggalan Raden Wijaya tersebut. Hanya sasmitalah yang menjadi pertanda bahwa kerajaan yang pernah merengkuh Nusantara di bawah panji “sumpah palapa” itu bakal menemui titik nadirnya. Dua kemungkinan yang merongroh kekuasaan Majapahit, yakni faktor internal dan eksternal. Lantas, elemen-elemen apa saja yang menjadi faktor-faktor tersebut? Masih menjadi teka-teki.
Catatan sejarah banyak yang mengaitkan bahwa detik-detik akhir kekuasaan Majapahit berhubungan dengan awal masuknya Islam dalam lingkungan istana kerajaan. Bukan kedatangan para muslim di wilayah Majapahit, sebab orang-orang muslim sudah berdatangan sejak pemerintahann Hayam Wuruk meski masih sebatas para pedagang Timur Tengah dan Cina.
Hubungan antara orang-orang Islam dengan orang-orang Majapahit yang kebanyakan beragama Hindu-Budha dan kejawen tidak ada masalah. Bahkan sejak dahulu Majapahit memegang teguh “kebhinekaan” yang diikat dalam “tunggal eka”nya. Brawijaya V sendiri istri-istrinya kebanyakan menganut Islam, meski Sang Prabu sendiri waktu itu berpegang teguh pada agamanya. Permaisurinya, Dewi Dwarawati, merupakan anak raja dari kerajaan Cempa yang beragama Islam. Dari Permaisuri ini kelak yang melahirkan Retno Pembayun, ibunda dari Kebo Kenongo. Kebo Kenanga sendiri tak lain adalah ramanda dari Jaka Tingkir, yang kelak menjadi raja Pajang setelah Demak runtuh.
Selir-selirnya juga beraga Islam, sebut saja Dewi Kian. Dewi Kian merupakan putri dari Cina dan beragama Budha. Karena urung dijadikan permaisuri oleh Sang Prabu dan demi menghindari perseteruan dengan Dewi Dwarawati, akhirnya Dewi Kian diungsikan ke Palembang ikut selir dan anak dari selir yang bernama Dewi Dilah. Kelak Dewi Kian masuk agama Islam sebab persinggungan dengan Dewi Dilah dan Pengeran Arya Damar. Dari Dewi Kian inilah lahir Pangeran Jimbun yang kelak disebut Raden Patah, raja Demak yang sekaligus kerajaan Islam pertama di tanah Jawa.
Secara internal, tidak gejolak yang berarti antara Sang Prabu dengan istri dan anak-anaknya yang notabenenya berbeda agama dengan Beliau. Pertanyaannya, apakah perbedaan keyakinan ini yang menjadi simbol api dalam wisiknya Sabdo Palon? Jika iya, apakah anak-anak keturunannya Sang Prabu begitu tega menggulingkan ayahandanya sendiri? pertanyaan lainnya, lalu ejawantah apa dari simbol badai?
Majapahit dengan kebesarannya pun ternyata tidak bisa lepas dari tindakan makar dari kerajaan lain. Kerajaan mana yang berani makar? Bibit badai itu ternyata berasal dari Kediri. Kediri dengan rajanya Giridra Wardhana telah lama ingin menumbangkan Kerajaan Majapahit. Menilisik sejarah antara sesepuh Kediri  (Raja Kertajaya) dan Majapahit (Ken Arok) memang sejak dahulu bagaikan musuh bebuyutan. Kenyataannya: Kerajaan Kediri di bawah Raja Girindrawadhana benar-benar mampu menaklukkan kekuasan Brawijaya V. Kekalahan majapahit ini ditandai dengan candra sengkala; Sirna ilang kertaning bhumi, yang mengisyaratkan tahun 1400 saka atau 1478.
“Bahwa segala sesuatu mempunyai masanya. Demikian halnya dengan Majapahit, pasti pada saatnya akan mengalami kehancurannya. Tidak ada yang langgeng di marcapada ini, Gusti Prabu!”
Lalu rencana apa yang diambil Sang Prabu pasca kekalahan ini? Mempersiapkan bala tentara yang berserak kemudian menggempur kembali Raja Girindra Wardhana-kah? “Kalau menurut hamba, sebaiknya Gusti Prabu mempersiapkan moksa dengan menjalani tapa brata atau semadi di Gunung Lawu tepatnya di kawasan Argo Lawu. Itulah darma yang sebaiknya Gusti Prabu lakukan setelah lengser keprabon nanti”.
Moksa? saran yang lucu jika kita sandingkan dengan paradigma politik perang atau politik kekuasaan era sekarang. Bagaimana tidak, seharusnya tindakan yang diambil adalah mempersiapkan kekuatan baru, berkoalisi, mancari sekutu baru untuk merebut kekuasannya kembali, meski kelak kemudian harus berbagi kekuasaan dengan para sekutu-sekutunya tersebut. Bukankah itu lebih bergengsi? Ternyata hal itu tidak dilakukan oleh Prabu Brawijaya V. Beliau lebih memilih moksa, bersemedi, nutup babahan songo.
Moksa dalam konsep ajaran Hindu dan Budha berarti melepas nafsu keduniawian atau purnabawa kehidupan. Dalam Islam, kalau diizinkan, saya menyebutnya sebagai perjalanan spiritual menuju maqam hakikat. Sebuah tranformasi kekayaan batin, yang semula berbentuk kulit terus mengembangkan diri menjadi isi. Bagaikan proses perubahan wujud kelapa, mulai dari bluluk, cengkir, degan hingga menjadi kelapa tua. Inilah perjalanan hidup manusia yang seharusnya dijalaninya.
Kekalahan Majapahit dan diikuti dengan moksanya Prabu Brawijaya V menjadi hal menarik bagi sejarah kerajaan-kerajaan selanjutnya. Secar de facto memang Bre Kertabumi telah kehilangan kekuasaannya, Majapahit berpindah tangan ke Raja Girindra-Wardhana yang kemudian menobatkan diri sebagai Brawijaya VI. Namun, secara darah daging “raja”, Kertabhumi masih lenggeng terus. Buktinya, anaknya, Pangeran Jimbun atau Raden Patah kelak menjadi raja yang tersohor kekuasaannya. Begitu pula buyutnya, yakni Jaka Tingkir yang tak lain adalah cucu Retno Pembayun juga menjadi raja, yakni mendirikan Kerajaan Pajang menggantikan Demak. Walau, kejayaan dan kekuasaannya tidak setenar Majapahit.
Sirna ilang kertaning bumi bukan berarti lenyap tanpa bekas darah biru dan trah raja, tetapi hanya perpindahan bentuk kerajaan yang semula dari kerajan Hindu-Budha menjadi kerajaan yang bercorak Islam. Moksanya Brawijaya ibaratnya menjadi cahaya, meski api kerajaan padam.
Novel yang di tulis Wawan Susetya ini, mengisahkan proses moksa Prabu Brawijaya V. Mulai dari bibit keruntuhan hingga kepergiannya ke Gunung Lawu menjalani moksanya. Ada yang menarik dari novel ini, yakni makna moksa yang kemudian dikaitkan dengan Islamnya Brawijaya V. Apakah ini makna moksa yang hendak disampaikan penulis? Pembaca dapat menilai dari alur cerita dan makna moksa dari jalinan kalimat-kalimat dari “Moksa Brawijaya” ini. Selamat membaca

Judul               : Brawijaya Moksa, Detik-Detik Akhir Perjalanan Hidup Prabu Majapahit
Penulis            : Wawan Susetya
Penerbit           : Imania, Depok
Tahun terbit    : 2010
Tebal               : 325 halaman
ISBN   :           978-602-96413-0-1
Previous
Next Post »