Kejawen: Bukan Dukun, Bukan Dupa


 
Saya terusik ketika “kejawen” selalu disandingkan dengan dukun. Seakan Jawa dan kejawen dipreteli sebatas dukun, kembang tujuh rupa, asap dupa, dan klenik. Entah, siapa atau pihak mana yang memulai menyempitkan kejawen hanya sebatas tataran tersebut. Sedangkan dukun tidak hanya dimiliki oleh Jawa. Di Kalimantan ada “dukun”, di belahan Nusantara lainnya juga ada. Bahkan, di pelosok lain di dunia pun ada. Hanya penyebutan saja yang berbeda. Lantas, benarkah kejawen itu dukun? Klenik atau mistik? Benarkah, di era kepercayaan, kejawen lebih dekat dengan sesat dan irrasional?

Kejawen, jika mendengar namanya, yang muncul di benak (barangkali) adalah asap dupa, kembang tujuh rupa, dan sesajen. Atau, blangkon dan keris. Yang tampak di depan mata terkadang “mendahului” yang seharusnya tidak “didahului”.

Yang di depan mata menjadi ukuran bahwa “A” itu, ya, begitu: yang terlihat sebagai “A”. Pandangan, cara berfikir pun mentok di titik yang tersaji, yang terlihat. Padahal, boleh jadi, “A” memiliki sejuta rupa yang tak terlihat, sejuta makna yang tersembunyi. Bahkan, “A” bukan “A” seperti yang menampak. Itu hanya tanda, ada petanda di baliknya.

Kejawen bukanlah dupa. Bukan asap-asap kemenyan. Bukan blangkon di kepalanya manusia. Bukan pula kemben wanita. Itu semua adalah penanda dari sebuah petanda. Penanda wilayahnya lebih sempit dibanding petanda. sebab, penanda hanya wakil. Ia hanya bentuk. Kejawen memang tak lepas dari Jawa, bukan pulau Jawa. Sedangkan, orang Jawa adalah gone semu.

Sayangnya, dalam bahasa Indonesia, semu berkonotasi negatif: tipu muslihat. Mungkin, yang tepat, semu “Jawa” dan semu “Indonesia” harus dibedakan. Sebab, semu “Jawa” bukanlah tipu muslihat atau ingin mengelabui liyan. Memang, semu “Jawa” juga tujuannya menutupi yang asli, tetapi bukan berarti itu menipu. Jika ingin mengetahui semu “Jawa” berarti harus menelusuri tata laku hidup orang Jawa, pola pikir yang dianut, tata cara hidup dengan liyan.

Orang Jawa selalu mengedapankan golek slamet, cari selamat. Ini bukan berarti mementingkan dirinya sendiri, tetapi slamet sekabehane. Selamat itu semacam harmonisasi. Ada keseimbangan (equilibrium) di dalamnya. Dan, ini bisa ditempuh dengan pengendalian diri, mencegah friksi, mengamalkan agama atau kepercayaan sebaik mungkin. Tak ayal jika ada unen-unen: angger-angger (hukum) dan wewaler (larangan) yang harus dijalani dan dipatuhi.

Maka, dalam tradisi Jawa tak ada sesuatu yang diungkapkan terus terang. Meski, itu sebenarnya layaknya diterus terangkan. Namun, manusia Jawa tidak mburu kepiye benere melainkan kepiye becike. Mengedepankan bener lan pener. Ada empan lan papan yang diutamakan. Semua itu, tujuannya hanya satu yakni memayu hayuning bawono, nggayuh slamet nir sambikolo.

Saya yakin, jika orang-orang Jawa tidak wani ngalah, punya napas landung maka yang sering timbul hanyalah konflik. Bayangkan, sejak pra-kerajaan sampai demokrasi yang segala macam paham mudahnya blusukan: orang Jawa masih siap menerimanya. Lantas, apakah sikap wani ngalah, sejatinya menunjukan orang Jawa tak punya keberanian? Penakut? Lebih suka di “bawah” daripada di “atas”?

Tunggu dulu, mengalah bukan berarti kalah. “ngalah” lebih dekat dengan berjiwa besar, punya potensi menang tetapi lebih baik tidak ditonjolkan. Sebab, menang dan kalah bukan terletak pada gebyar yang terlihat mata. Pun, manusia Jawa tidak hanya punya senjata ngalah. Seperti yang dituliskan oleh Bambang Pranowo dalam buku Orang Jawa Jadi Teroris” bahwa manusia Jawa punya tiga filosofi “Nga”: ngalah, ngalih, dan ngamuk. Ketiganya dijiwai oleh karakter wayang, yakni: ngalah itu sifatnya Puntodewo, ngalih lebih dekat dengan sifatnya Arjuno, sedangkan ngamuk lebih dekat dengan Werkudoro alias Bima.

Ketiganya adalah senjata mengarungi alam kasunyatan Jawa. Iman Budhi Santoso menggambarkan menggambarkan Jawa sebagai “telaga”. Ia, telaga, tidak memanggil ikan, lumut, maupun ganggang dalam habitatnya. Ia tidak menetapkan undang-undang patembayatan bagi setiap makhluk dan benda-benda yang berada di sana. Ia hanya menampung, menerima dengan tangan dan hati terbuka setiap materi serta fenomena yang berasal dari mana pun juga. Maka, telaga itu pun tidak dapat diklaim sebagai milik ikan, milik ganggang, milik cacing, melainkan milik semua yang tinggal dan tumbuh kembang di dalamnya.

Fenomena tumpek bleknya berbagai “barang” itulah kemudian memunculkan kejawen. Ibaratnya, kejawen itu adalah sistem “metabolisme”: kapan ia mengunyah, kapan ia memuntahkan, kapan pula ia sama sekali tidak menelan sama sekali. Kejawen itu semacam penjaga keharmonisan segala yang tumpah ruah di dalam telaga tersebut. Kejawen menurut para penganutnya merupakan cara untuk menghayati dan mewujudkan nilai-nilai rohani manusia agar yang bersangkutan dapat mencapai kasunyatan hidup sejati, berbudi luhur, dan mewujudkan kesempurnaan hidup.

Ada yang mengatakan jika kejawen merupakan hasil akulturasi maupun sinkritisasi dari budaya-budaya yang pernah ada di Jawa. Ya, mungkin saja begitu. Tetapi, saya cenderung menilai kejawen merupakan proses kreatif manusia Jawa dalam menanggapi budaya-budaya lain yang ada di dalamnya.

Dalam sejarahnya, ketika modernisasi merambah dan merebak di Jawa, muncul stigma negatif tentang kejawen. Seperti yang telah ditulis di atas: kejawen selalu diasosiasikan dengan klenik, mistik, dan ornamen-ornamen lain yang terkesan irasional. Boleh saja memandang begitu, tetapi jangan luput dan berhenti memandang sebatas tataran tersebut. Perlu menyelam lebih dalam.

Memang, dalam kejawen, ada yang irasional. Dan, ini (irasional) tidak hanya kejawen yang memiliki, budaya lain pun ada, dan dalam agama pun juga ada hal-hal yang irasional. Irasional bukan berarti hal yang tidak terjamah oleh akal (rasional), melainkan belum/ketidakmampuan pikiran menembusnya. Sehingga yang paling mudah menyebut irasional adalah hal-hal yang tak tembus alam pikir.

Dengan kalimat lain, irasional hanyalah bagian dari kejawen. Kejawen tidak sama dengan klenik, mistik yang cenderung dirahasiakan. Meskipun, mungkin, terdapat hal-hal seperti itu, tetapi mistik dan klenik hanyalah menjadi bagian dari paham kejawen, sebagaimana terjadi pula pada paham-paham lain dalam adat budaya dan kepercayaan lokal di Nusantara.

Kejawen adalah ide, pola pikir dalam bersikap, dan menata batin serta kehidupan sebagaimana nilai-nilai yang diakui kebaikan dan kebenarannya oleh manusia Jawa. Itu semacam filsafat, dan sekaligus konsep hidup. Kejawen bukanlah agama dan tidak pernah akan dijadikan sebagai agama.
 
Nah, jika kita menemui blangkon, sorjan, atau bahkan yang agak mistik, misalnya dupa, janganlah terburu-buru mengatakan sebagai kejawen. Sebab, itu semua belum tentu kejawen seutuhnya. Toh, bukankah sekarang hal-hal semacam itu mudah didapat dan mudah dipakai? Toh, setiap perayaan budaya, misalnya, banyak yang gegap gempita memperagakan meski laku hidupnya jauh dari panggang api “kejawen”? Kejawen itu tata laku. Ia semacam “metabolisme” yang tujuannya menjaga “telaga” Jawa agar tetap harmonis dengan segenap isinya.
Previous
Next Post »