Kesehajaan Guru Bangsa


Mungkin, sebagian kita ada yang menanyakan, untuk apa memelajari kehidupan orang-orang besar? Apakah karena mereka beda dengan rakyat jelata? Bukankah, lebih baik memelajari kehidupan orang-orang kecil yang hidupnya memang sengsara? Bagi rakyat jelata, apa yang patut diteladani dari mereka?

Ada rasa yang mengusik. Seperti ketidakterimaan memelajari kemapanan mereka. Namun, bila ditelaah lebih cermat, sebenarnya mereka adalah orang-orang bisa bertapa di tengah keramaian hidupnya. Seandainya mereka mau, tentu bisa memanfaatkan kekuasaan, materi atau jabatan demi kepentingan pribadinya. Kenyataannya, tidak. Mereka sanggup menahan keinginan, ambisi pribadinya.

Selain itu, untuk saat ini sangat penting mengambil hikmah dari sosok para guru bangsa. Sebab, jika kita simak dari berbagai berita, sekarang banyak perilaku para pemegang tampuk kekuasan layaknya raksasa. Seakan, kekuasaan yang dipegang adalah ladang rumput yang hijau. Dan, saa itu, mereka gunakan seleluasanya untuk memamah segala yang ada di lading tersebut.

Lantas, apakah memelajari, membaca kisah kesehajaan para gutu bangsa hanya diperuntukkan para penguasa? Tentu saja tidak. Rakyat umum pun wajib mengambil hikmah dari kehidupan guru bangsa. Toh, siapa sangka yang semula rakyat jelata kelak hari menjadi pengusa. Orang Jawa bilang: kere munggah bale. Di saat ini, perilaku bisa berubah seperi Petruk jadi ratu: sewenang-wenang, dan serakah. Dengan memelajari kesahajaan guru bangsa, diharapkan kita bisa mengendalikan nafsu duniawi. Sebab, jika menuruti ambisi tersebut tak akan pernah ada habisnya.

Buku Kebiasan Sehari-Hari Para Guru Bangsa ini memaparkan kepada kita tentang perilaku mereka. Para guru bangsa yang tersaji dalam buku ini memang namanya sudah sering kita dengar, kita baca. Ketenaran nama mereka, boleh jadi, menutupi kesehajaannya sehari-hari. Kesederhanaannya, mungkin, tak terekam berita kepedulian mereka terhadap bangsa. Untuk itu, menyuguhkan mengenai ketidakbiasan mereka yang notabene sebagai “priyayi”.

Seperti yang diungkapkan oleh Haji Agus Salim, “Memimpin adalah menderita, bukan menumpuk harta.” Ungkapan ini bukan semata ungkapan kosong, atau sekadar pencitraan bagi para guru bangsa. Lelaku hidup mereka tepat dengan ungkapan tersebut. Soekarno, Bapak Proklamator, yang namanya disanjung di dalam negeri maupun di luar negeri, ternyata kesehariannya beliau makan seadaanya. Beliau tak menuntut macam-macam masalah urusan perut. Begitu pula dengan Bung Hatta, wakil presiden pertama negeri ini. Meskipun menjadi orang nomor dua di Indonesia, ternyata beliau tidak mampu membeli jas Bally hingga akhir hayarnya.

Guru bangsa lainnya, yang ada di dalam buku ini, adalah Mohammad Natsir. Orang yang pernah menjabat menteri penerangan RI era Presiden Soekarno. Meski pernah duduk di kursi kekuasaan, ternyata jas kedinasaanya penuh tambalan. Kesederhanaan beliau pernah disampaikan George McTurman Kahin, pejabat Amerika. Pada tahun 1948, Kahin diundang menghadiri pertemuan pejabat negara di istana Negara, di Yogyakarta. Sesampai di istina, seperti lazimnya tamu, Kahin bersalaman dengan para pejabat tuan rumah.

Tibalah ia menyalami seorang yang berusia sekitar 40-an tahun, berkacamata tebal, berwajah teduh, dan memakai baju yang sederhana dan murah. Setelah diperkenalkan, ternyata orang itu adalah Mohammad Natsir. Kahin tak menyangka, bila orang baru disalami tersebut pejabat Natsir, menteri penerangan RI.

Kesederhanan Natsir juga diungkapkan Jimly Ashidiqqie, mantan ketua Mahkamah Konstitusi. Ia mengungkapkan , “Saat ini cukup sulit mencari tokoh dengan Natsir. Natsir bukan pengusaha, bukan anak orang kaya. Natsir tiga kali menjadi menteri penerangan, dan sekali menjadi perdana menteri, bukan untuk mencari uang atau memperkaya diri.” Dan, di akhir jabatannya, Natsir langsung menyerahkan mobil dinasnya ke Negara. Ia pulang ke kontrakannya dengan mengayuh sepeda ontelnya.

Buku ini tak hanya memaparkan kebiasaan sehari-hari para guru bangsa yang telah tiada. Tetapi, juga guru bangsa yang sampai saat ini masih hidup dan berkiprah demi bangsa Indonesia. Misalnya, Emha Ainun Nadjib. Sosok yang menyandang berbagai gelar, tetapi tak pernah memakai gelar tersebut. Ia suka dipanggil Cak Nun, atau Mbah Nun saja. Nah, ingin tahu kebiasaan sederhana dan unik para guru bangsa lainnya? Segera temukan jawabannya di sini. Selamat membaca.
First