Ketika Danarto Mempertanyakan Perang



Danarto, penulis fiksi bergaya sufi, kembali menyajikan cerita yang unik, membuat pembaca sesaat mengernyitkan dahi. Jalan cerita, tokoh, dan gaya bahasanya memang susah diterka. Semua bisa dilakonkan, semua bisa berbicara layaknya manusia. Menghantam logika umum.

Kali ini, penulis asal Sragen itu hadir dengan novel Asmaraloka. Entah mengapa judulnya harus Asmaraloka. Sebab, asmarolaka mengajak kita pada terma wadah asmara. Memang dalam novel ini terjadi pergulatan asmara. Perjuangan cinta Arum kepada suaminya, Busro, yang telah meninggal. Ada Firdaus Muhammad, santri kecil, yang berjuang mencari jatidirinya. Fir, sebutan santri kecil ini, harus turun ke medan laga, medan perang yang selayaknya tak dijamah anak kecil. Namun, garis takdir harus berkata lain.

Kembali pada sosok Arum. Ia ngalembono, njajah deso milangkori, blusukan desa dan medan laga yang sedang berkoar hebat, demi mencari jenazah suaminya. Suaminya setelah keduanya menikah, tak begitu lama. Tragis. Arum menguber-uber malaikat maut yang kemana-mana menenteng wadag suaminya tersebut. Apakah Arum, mendapatkannya? Tidak, sampai cerita berakhir, Arum tak pernah membawa suaminya pulang, apalagi hidup.

Namun, Arum menemukan belahan hati lain, yakni anak kembarnya yang lahir di kancah peperangan. Dan, itu lebih berharga daripada harus mengejar malaikat maut.

Fir, Santri yang baru menginjak masa balig itu pun sebenarnya jatuh cinta kepada Arum yang bertaut umur 10 tahun. Sayang, kebersamaan mereka hanya bumbu cerita, dan bukan itu (sepertinya) yang ingin ditekan dalam novel ini. Fir, yang digadang menjadi penerus pesantrennya ternyata tidak mau. Ia memilih ke medan perang yang konon lebih mengajarkan arti kehidupan. Fir bertemu ibunya, Soba, yang telah diangkat menjadi ratu kalangan setan.

Mengetahui sang ibu menjadi bagian dari bangsa setan, Fir pun bermaksud wanita yang telah melahikannya itu kembali pulang ke kampung halaman. Namun, usaha itu gagal. Sebaliknya, Fir malah diangkat menjadi anak mahkota. Meski awalnya ia menolak. Di akkhir cerita, Fir menyesal telah menuruti bujuk setan. Fir mempunyai ekor di pantatnya, pertanda ia salah satu kalangan setan. Ia menangis sejadi-jadinya. Menyesal dan mati terkubur lumpur beras.

Novel ini mengambil setting segala ruang: dunia, alam kedamaian. Sesuatu yang tak lumrah. Penulis yang dilahirkan dari wanita penjual batik itu lihai menelisik dan mengangkat alam-alam sunyaruri menjadi setting yang menarik. Danarto pun mahir menghadirkan image-image malaikat.

Novel ini tidak menyoroti cinta semata. Ada sisi lain yang jadi fokus garapan Danarto, yakni perang. Dan, ini mungkin amanat tersirat dari novel ini: manusia tidak pernah berhenti berperang dari waktu ke waktu, ada saja pergulatan besar dengan dirinya sendiri, yaitu nafsu. Menariknya lagi, perang yang dicaci-maki itu, ternyata banyak yang merindukan. Perang menjadi komoditas laris, wisata yang mendebarkan dibanding menelusuri jagat raya dengan pesawat angkasa. Perang menjadi "sorot cahaya" yang mengundang ngengat berduyun-duyun mendatanginya.

Biro wisata digelar, persenjataan dimodernisasi. Tujuannya, supaya adegan perang semakin menarik dan mendulang pemasukan yang lebih. Lantas, siapa yang mendulang dari bisnis perang? Siapa lagi kalau bukan para penggagas senjata! Manusia yang haus dengan dentuman bom, desingan peluru, dan muncratnya darah dari dada manusia.

Perang, boleh saja dihardik, tetapi beranikah kita menghentikan pabrik-pabrik senjata yang tiap detik bernafsu menginovasi alat-alat matikan? Kalau memang mencintai perdamaian, kenapa harus ada pabrik senjata? Apakah kedamaian harus dijaga dengan tank, rudal, peluru yang siap menyalak dan melumatkan umat?

Tanyalah, pada selongsong peluru yang malas meletus.









Previous
Next Post »