“Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah
seolah engkau melihat-Nya; dan jika engkau tak bisa melihatnya, engkau yakin
bahwa Allah pasti melihatmu”. Boleh jadi ihsan merupakan puncak perjalanan
spiritual manusia. Maqom kenikmatan bagi seorang hamba berjumpa dengan
Tuhannya. Ihsan adalah “surga” keindahan yang tidak cukup dituliskan dengan
rangkaian huruf-huruf atau diwakili dengan puisi seindah apapun.
Berihsan berarti merasa diawasi terus menerus
oleh Allah. Pengawasan ini bukan berarti layaknya pengawasan sang mandor
terhadap karyawan, melainkan lebih mengarah kepada pengawasan
cinta. Pengawasan sang kekasih terhadap yang dikasihi. Sehingga, meskipun sang
kekasih tak berada di dekatnya, tak ada di sampinya ia akan tetap bertindak
jujur dan setia, tidak berlaku serong. Sikap ini merupakan wujud manunggal
antara Islam dan Iman seseorang dengan segenap rukun-rukunnya. Sangat mustahil
berihsan tanpa dilandasi “penyerahan” dan “kepercayaan”. Begitu pula sebaliknya
, berislam dan beriman tanpa berihsan hanyalah bentuk ketidaksempurnaan bahkan
bisa juga hanya kebohongan semata. Ihsan dalam tasawuf berada dalam tingkatan
ma’rifat dan merasakan akan ke-tajalli-an Allah, yakni merasakan akan
rasa ketuhanan yang sampai mencapai kenyataan Tuhan.
Pertanyaannya sekarang adalah siapa yang boleh
mencapai tingkatan “melihat” ini? Apakah Allah hanya menerima orang-orang
tertentu saja untuk merasakan sifat Rahman-Rahim dan Bashor-Nya?
Ataukah malah sebetulnya Allah tidak pernah menuliskan syarat khusus terhadap
hamba-Nya untuk merasakan ketajallian-Nya, asalkan Hamba itu cinta maka
itu sudahlah cukup untuk berada dalam maqom “melihat. Hemat saya syarat “cinta”
inilah hal yang tersulit. Meski sekarang ini banyak sekali kata-kata “cinta”
yang berhamburan, tetapi apakah itu benar “cinta”? Mencintai berarti tahu
alasannya mengapa ia mencintai? Tahu faktor-faktornya subjek sehingga ia punya
alasan yang kuat bahwa subjek tersebut layak dan pantas untuk dicintai.
Dalam buku ini Mohamad Sobary, setidaknya,
memberikan gambaran kepada pembaca bahwa “melihat” Tuhan boleh dan bisa
dilakukan oleh siapa saja. Sengaja dalam bukunya ini Mohammad Sobary menampilkan
tokoh dengan nama “Kang sejo”, bukan “Abdullah”, “Amin” atau nama-nama lain
yang berkonotasi dengan Arab. Yang dihadirkan adalah nama Jawa dengan panggilan
khas jawa untuk seorang laki-laki, yakni “kang”. Entah disengaja atau tidak
tokoh yang dihadirkan ini jelas untuk membawa pesan yang, mungkin saja,
tersirat. Mohammad Sobary ingin mendekonstruksi cara pandang mengenai keislaman
orang jawa yang selama ini selalu dipandang miring. Cara berislam yang terlihat
ganjil dan berbau sinkretisme. Islam kejawen bahasa mudahnya.
Dilihat dari kacamata Geertz, secara nama “Kang
Sejo” masuk ke dalam golongan Islam Abangan. Islam Abangan merupakan golongan
orang yang islamnya hanya ikut-ikutan, karena faktor sekitar dan tidak
menjalankan syariat Islam secara total. Hal inilah yang ingin dirubah oleh
Muhamad Sobary bahwa bukan hak “Islam Santri” saja yang bisa berihsan kepada
Tuhan melainkan semua punya kesempatan yang sama untuk mencintai Tuhan. ya
santri, ya abangan, ya ningrat semua berpotensi untuk bertajalli. Allah
tidak melihat nama, golongan, bangsa atau pakaian seseorang dalam urusan cinta
melainkan ketaqwaan seseoranglah yang menjadi tolak ukurnya.
Kang Sejo hanyalah tukang pijat yang tunanetra,
yang tak tahu Bahasa Arab dan dalil-dalil agama dengan Bahasa Arabnya pula.
Kang sejo hanya punya keyakinan mengenai Tuhan: Gusti Allah ora sare
(Allah tak pernah tidur). Yang tak lain merupakan potongan Ayat Kursi. Zikir ia
kuat. Soal ruwet apa pun yang dihadapinya, wiridannya satu: “Duh, Gusti Engkau
yang tak pernah tidur...” Cuma itu. Kalau ditanya mengapa doanya Bahasa Jawa,
tidak berbau Arab, jawabnya: “Apa Tuhan tahunya cuma Bahasa Arab?”.
Kang Sejo merupakan gambaran manusia sederhana
namun tidak menyepelekan masalah Tuhan itu sendiri. Dia ber-Tuhan dengan
semampunya, tidak memaksakan diri untuk larut dalam atribut kegamaan yang
sebenarnya hanya produk budaya semata. Kang Sejo mencintai Tuhan dengan semampu
cintanya, karena dia tahu bahwa Tuhan tak pernah memberatkan hamba untuk
mencintai-Nya.
Buku ini layak dibaca, apalagi di Bulan
Ramadhan ini, untuk mempersiapkan spiritual kita agar supaya mantap. Untuk
melanjutkan puasa-puasa kita selepas Bulan Ramadhan ini. Meneguhkan kita kepada
kesalehan sekaligus mengoreksi makna “saleh” itu sendiri. Sebab suatu ketika Nabi
SAW pernah bertanya pada sahabat mengenai kesalehan.
“Mengapa ia kau sebut sangat saleh?” Tanya kanjeng Nabi SAW
“Soalnya, tiap masuk masjid ini dia sudah salat
dengan khusyuk dan tiap saya pulang, dia masih saja berdo’a.”
“Lho, lalu siapa yang memberinya makan dan
minum?” tanya Kanjeng Nabi SAW
“Kakaknya”, sahut sahabat tersebut.
“Kakaknya itulah yang layak disebut saleh,”
sahut kanjeng Nabi.
Kita,
pendeknya, selalu diminta tampil ideal. Artinya, secara ritual kita saleh,
secara sosial pun kita mestinya saleh juga. Wa allahu a’lam.
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon