Pemberantasan Teroris ala Kurap



 
Sumber gambar: okezone.com

Kota Belgia diguncang bom. Tiga ledakan di tempat terpisah itu telah merenggut nyawa, setidaknya, 34 orang dan 170 lainnya luka-luka. Perdana Menteri Belgia Charles Michel mengatakan serangan itu sebagai aksi “blind, violent, dan cowardly, yang terjadi pascapenangkapan salah satu aksi teror, Salah Abdeslam di Paris, November lalu.
Jauh hari, sekitar bulan November, Eropa juga diguncang aksi teror. Ratusan orang meninggal dunia setelah gerombolan liar itu meledakkan stadion, gedung kesenian, dan lainnya. Tak tanggung-tanggung, para teroris itu menyerang, menembak, dan meledakkan bom terhadap orang-orang yang mereka temui. Tak peduli, apakah sasaran mereka itu orang yang lagi jatuh cinta, punya utang, sudah mandi atau belum, bahkan ada yang seiman dengan para teror atau tidak; teroris itu tetap melesakkan peluru-peluru tajam. Bagi teroris, yang di hadapan mereka adalah orang yang sah dibunuh. Konon pula, aksi itu sebagai bentuk balas dendam atas tanah mereka (Suriah), lebih tepatnya gerombolan, yang  dibombardir oleh para tentara Sekutu.
ISIS, seperti biasanya, usai ledakan di Belgia itu mengklaim bahwa mereka bertanggung jawab atas tindakan teror tersebut. Sayangnya, kata “tanggung jawab” yang mereka tidak menunjukkan sebagai bentuk tanggung jawab, tetapi lebih seperti dendam kesumat.
Aksi tersebut terjadi setelah tentara Rusia berduyun-duyun meninggalkan Suriah menuju barak-barak mereka di Rusia. Padahal, sudah beberapa bulan Negeri Beruang Merah itu menjatuhkan ratusan bom ke markas-markas yang diklaim milik ISIS. Tidak hanya Rusia, negara-negara lain yang tergabung dalam “serdadu melawan teroris global” pun tak kalah gigih menghujani Suriah dengan bahan-bahan peledak. Banyak nyawa yang melayang. Sayangnya, gerombolan teror itu tak kunjung musnah.
Teror di dalam negeri, Indonesia, pun bergejolak. Setelah aksi Teror Paris, di Jakarta diguncang bom. Bom Sarinah. Bedanya, di Sarinah jumlah korban tak sebanyak di luar negeri. Aparat sigap bertindak. Semua pelaku berhasil dimodarkan. Lagi-lagi, ISIS mengklaim tindakan nista tersebut.
Pascabom Sarinah, aparat keamanan terus memburu para pelaku yang bisa jadi masih tertinggal. Daerah-daerah yang disinyalir sebagai markas gerombolan teroris pun diobok-obok. Pelaku yang telah dilumpuhkan, baik ditembak mati atau dipenjara, sudah belasan orang.
Meski terus diberantas, tetapi mengapa teroris itu tak musnah-musnah? Apakah para aparat harus menggunakan cara teroris pula untuk melawan gerombolan tersebut? Seperti dalam film-film pendekar: menghadapi musuh yang memiliki ajian Halimun harus dilawan dengan cara yang serupa? Hanya saja, apakah melawan teroris dengan cara teroris itu kesatria? Entahlah, yang jelas teroris itu bak mati satu tumbuh seribu. Calon-calon teroris ternyata bermunculan di sana sini.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Apakah teroris sengaja dipelihara? Dengan kalimat lain, apakah teroris bagian dari kelengkapan negara? Apa yang harus kita lakukan?.
Hasibullah Sastrawi menuturkan bahwa aksi terorisme yang ada di Indonesia bisa tumbuh subur, yang mati satu tumbuh seribu, mirip punya Ajian Rawa Rontek ini, tak lain karena adanya peran dari “keluarga besar” terorisme itu sendiri. Keluarga besar inilah yang selama ini berperan mengasuh, merawat, melatih dan menganakpinakan generasi terorisme. Siapa saja keluarga besar terorisme tersebut? Menurut Hasibullah, ada tiga kelompok yang menjadi keluarga besar terorisme selama ini. Pertama, kelompok masyarakat yang hampir identik dengan anarkisme. Kedua, kelompok agamisme secara politik yang anti terhadap Pancasila. Ketiga, kelompok politik pragmatis. (KOMPAS, 2 Mei 2011)
Mengenai penanganan teroris di tanah air sebetulnya tak kalah gencarnya. Bahkan setiap hari ada saja berita penangkapan anggota teroris. Bahkan tak tanggung-tanggung, aparat kita (khususnya kepolisian) mendapat acungan jempol dari masyarakat international soal penanganan terorisme. Hanya sayangnya, mengapa operasi itu tak menyurutkan, menciutkan nyali para pelaku teror? Secara logika: seharusnya berkurang, dong, terorisme di negara ini? Bukankah setiap operasi Densus, setidaknya,a pelaku teroris ada yang mati? Lha kok ini malah ada terus?
“Berantas teroris sampai ke akar-akarnya”, “Semua komponen bangsa harus bergerak bersama, tak bisa bergantung pada pemerintah dan aparat saja”. Jargon-jargon ini sering kita dengar dan baca di pelbagai media massa atau pidato-pidato para pejabat negara. Tak ada yang salah dengan itu semua, hanya saja kita perlu telaah ulang dengan metode pemberantasan terorisme. Mungkin ada yang kurang tepat.
Oklah, pemberantasan terorisme sampai ke akar-akarnya memang sesuatu yang harus. Akar (meminjam analogi ilmu biologi) memang masih memberikan potensi untuk bertumbuh kembang menjadi spesies yang baru. Apalagi akar adalah elemen utama untuk bisa “mengada” tumbuhan itu sendiri. Dari akarlah unsur-unsur hara diserap, dan kemudian ditransferkan ke seluruh (jaringan) tubuh. Begitu pula dengan terorisme, sebetulnya akar-akarnya, hemat saya, bukanlah manusia kroco-kroco, yang sering tampak di media. Mereka (para akar terorirs) sebetulnya tersembunyi dari pengamatan media, intilejen atau yang lain, dan mengakar pada “lahan” yang subur. Lahan di sini saya maknai sebagai tempat yang memungkinkan “akar” teroris itu menyerap keuntungan. Sayangnya pemberantasan selama ini hanya menyentuh akar-akar semu saja, akar sejatinya tak pernah terjamah sama sekali.
Saya sendiri mengibaratkan pemberantasan teroris selama ini bak memberantas kurap, panu, kadas, atau semacam jenis penyakit kulit lainnya.  Kita terlalu asyik dengan penyakit kulit tersebut, hanya terfokus pada penyakitnya. Sehingga, obat-obat yang kita oleskan hanya bertujuan menghilangkan penyakit tersebut sampai akarnya. Kita lupa pada tubuh itu sendiri. Seharusnya, kita juga bertanya: kenapa tubuh ini kok ditumbuhi jamur? Kenapa pula obat yang dioleskan tak mampu membasminya?
Tubuh yang panuan, kudisan, atau kurap bisa disebabkan berbagai faktor, misalnya karena jarangnya kita membersihkan badan, tertular teman yang punya panu, kurap, atau bisa saja karena gen. Pemberantasan yang bisa kita lakukan terhadap jamur-jamur ini tak lain adalah, jika sudah telanjur tumbuh harus diobati dengan obat yang bisa mencabut sampai penyakit  tersebut hingga akarnya seiring sejalan pengobatan, kita juga harus rajin-rajin  membersihkan diri, konsultasi dengan ahli dermatologist. Namun, seandainya kita belum terserang tetapi mempunyai potensi untuk di serang, maka kita harus benar-bena memperhatikan kebersihan, kesehatan tubuh serta lingkungan. Meski kita punya segudang salep kulit, yang bisa sekali oles jamur langsung klepek, namun jika kita malas membersihkan, menjaga, merawat diri, dan lingkungan kita, itu sama saja perbuatan sia-sia. Kita senang memberantas, tetapi enggan menjaga agar potensi jamur itu tak tumbuh.
Begitu pula dengan terorisme yang ada di Indonesia ini: apakah penyakit “kulit” ini sebenarnya hanyalah tertular tetangga ataukah memang bangsa ini yang tak memperhatikan kebersihan kulitnya? Silakan para pembaca mengamatinya. Alangkah baiknya kalau kita sambil memberantas terorisme dengan “salep-salep” yang mematikan juga diiringi dengan menjaga kebersihan diri. Mungkin saja kita jarang mandi, jarang memperindah tubuh bangsa ini. Sehingga, ada bagian-bagian tertentu yang tak pernah tersentuh wanginya “sabun” pembangunan dan guyuran air “keadilan”.
Sebetulnya kita masih beruntung dengan cara pemberantasan terorisme di negeri ini. Untungnya apa? Ternyata tak semua tubuh ini di olesi “salep”. Jadi masih bijak. Cuma bagian-bagian tertentu yang diolesinya. Coba Anda bayangkan cara Paman Sam memberantas kurapnya, semua tubuh diolesi tanpa terkecuali. Bahkan, tubuhnya tetangga tak luput diolesi “salep” meski tak panuan. Bayangan saya, bagaimana jika alat vitalnya yang diolesi dengan salep kulit yang panas itu: opo yo ra jempalitan, ginjalan menahan panasnya salep kulit? :D
Previous
Next Post »