SEPASANG siswa laki-laki dan perempuan berseragam
putih abu-abu bersandar di city car. Siswa, di sisi kiri mobil, dengan gaya macho memakai kacamata hitam, tangan kanan berkacak
pinggang, tangan kiri menyangga kepala, seperti membenahi kacamatanya yang
hitam legam. Sang siswi, tengah membelakangi dan di sebelah kanan mobil,
kelihatan asyik ngobrol melalui
telepon genggamnya. Sepatu merah yang mencolok, seperti warna lipstick yang memoles bibirnya yang tipis. Terlihat cantik nan
modis. Jam tangan keluaran terbaru semakin mengukuhkan jika sang siswi memang
bukan siswa kuper (kurang pergaulan).
Semua itu hanyalah gambar
sampul dari buku Pendidikan Rusak-Rusakan karya Darmaningtyas yang diterbitkan
oleh LKiS Yogyakarta (2007). Entah, apa alasannya desain sampul mengambil
gambar demikian? Tentunya itu bukan kebetulan, melainkan ada pesan sekaligus
mewakili amanat yang akan disampaikan dari isi buku tersebut. Lantas, apakah kemodisan, ketidakkuperan dandannya seorang siswa dapat mewakili tanda-tanda
bahwa dunia pendidikan telah rusak atau sedang mengalami fase “rusak-rusakan”?
Di masyakat kita, penampilan siswa tidak
dituntut modis, tetapi rapi. Masih menjadi hal yang asing bila dandanan siswa
begitu “aneh”, menor-menor atau menunjukkan penampilan seksi. Meski, bisa
saja, di luar sana seorang siswa merangkap sebagai foto model atau artis.
Tetapi, di sekolah, siswa haruslah menunjukkan perilaku berbusana selayaknya
siswa, bukan foto model. Sebab, sekolah bukanlah catwalk, tempat lenggak-lenggok peragaan busana. Jor-joran memamerkan tren busana. Meski sekaya, semampu, apa pun
siswa dan orang tua untuk membeli pakaian, mereka tetap berbusana dalam kode
etik pendidikan.
Itu idealnya. Lantas, bagaimana dengan
kenyataan di lapangan, di sekolah? Jawabannya bisa bermacam. Tinggal di
sekolah/daerah mana kita melihatnya. Siswa Jakarta tentunya mempunyai cara
dandan yang berbeda dengan dandannya para siswa di kampung saya yang culun-culun dan terkesan katrok-nya. Namun, ada indikasi jika cara berbusana siswa
memang mengarah pada tren “gaul”. Pernah teman mengatakan jika siswa
sekarang, mulai anak SD, sudah pintar dandan, tidak seperti zamannya sekolah
dulu yang kebanyakan para siswanya tidak pintar dandan.
Zaman terus bergulir, lain dulu lain
sekarang. Keadaan dulu tidak bisa menjadi standar kehidupan siswa sekarang. Di
balik “ketidakbisaan” tersebut kita tetap harus hati-hati, bijak, jangan sampai
siswa hanya terjebak pada model seragam. Di luar seragam, masih ada “otak” yang
harus digarap supaya tidak ketinggalan. Memoles gaya boleh, tetapi tetap harus
diajukan pertanyaan: untuk apa kemodisan berbusana tersebut? Apalagi, status
sebagai pelajar dan dalam lingkup sekolah.
Selain itu, ternyata masih banyak siswa
yang berdandan apa adanya. Siswa yang hanya memiliki tiga pasang seragam untuk
Senin sampai Sabtu. Dandanan siswa yang modis kebanyakan terpampang dalam
film-film, jarang di dunia nyata. Lihatlah, dandanan seorang artis yang berperan
sebagai siswa, apalagi siswa SMA: begitu memesona dan aduhai. Seragam putih
abu-abu begitu menawan dipandang mata. Masa ranum-ranumnya dengan pakaian putih
abu-abu.
Sayang sekali, citra film oleh sebagian
siswa kita dijadikan patokan: begini lho dandanan yang tak ketinggalan zaman itu!
Padahal, itu hanya film, yang dibuat seindah, semenarik mungkin yang tujuan
untung-rugi, enak ditonton atau tidak. Berduyun-duyun siswa di alam nyata
meniru gaya pakaian para artis sekolahan.
Ah, bukankah ini juga semakin
menyegarkan pandangan di sekolah?
Darmaningtyas dalam bukunya, Pendidikan
Rusak-Rusakan, yang
diwakili oleh gambar sampul seperti yang digambarkan di atas bukanlah ingin
menyoroti masalah seragam atau perubahan mode siswa sekarang saja. Lebih jauh lagi,
Darmaningtyas ingin membongkar keadaan pendidikan sekarang yang cenderung anjret ke jurang “bukan pendidikan”. Mulai
dari problem anggaran, reformasi pendidikan yang setiap ganti menteri ganti
kebijakan, masa depan guru di tengah hiruk pikuk otonomi pendidikan, hingga
wacana pendidikan yang membebaskan.
Pengamatan Darmaningtyas menunjukkan
pendidikan mengarah ke kondisi amburadul. Mungkin kata “rusak-rusakan” dapat
mewakili tatanan pendidikan dewasa ini. Kata “rusak” itu masih mending, sebab rusak itu karena proses waktu dan “objek” tak pernah
mendapat perawatan. Tetapi, kata “rusak-rusakan” tentunya lebih ngeri lagi. Bukan sekadar rusak,
melainkan proses tatanan yang sekenanya dan cenderung kacau balau. Ada semacam
pembiaran keteraturan pendidikan mengarah ke keadaan entropi.
Misalnya, dalam anggaran pendidikan.
Pendidikan bukan sekadar anggaran yang terus merangkak naik lantas seluruh
elemen bangsa bangga karena rasa terjamin pendidikan murah itu ada.
Darmaningtyas, menyitir ucapan mantan Mendikbud Fuad Hasan, “…Seandainya
anggaran pendidikan dinaikkan, lalu mau ngapain? Kalau jalan-jalan yang menghubungkan antardaerah
itu masih buruk, kalau semua daerah belum terlayani oleh listrik dan telepon,
atau fasilitas lain yang mendukung proses belajar murid? Jadi, peningkatan
kualitas pendidikan tidak hanya tergantung pada besarnya dana yang dimiliki
oleh Departemen Pendidikan saja, tetapi juga dipengaruhi oleh sektor-sektor
lainnya.” Dengan kata lain, kenaikan dana pendidikan tidak otomatis membuat
pendidikan lebih baik, jika tidak dibarengi dengan pembenahan infrastruktur
yang erat dengan proses belajar mengajar.
Di sisi lain, guru sebagai ujung tombak
dunia pendidikan yang tugasnya tidak hanya memindahkan teks dari buku ke papan
tulis, tetapi juga menghadapi tantangan yang kompleks dari berbagai penjuru.
Guru tidak hanya dituntut mencerdaskan kognitif siswa, tetapi terkadang malah
menjadi pelampiasan kekecewaan orang tua siswa jika ada kegagalan yang dialami
anak-anaknya. Profesionalisme guru pascaotonomi tidak cukup diukur dari
kemampuan mengajar di depan kelas, tetapi juga diukur dari kelihaiannya sebagai
aktor perubahan.
Guru sebagai aktor perubahan di
daerahnya pun tidak mudah, sebab ini kaitannya dengan watak dan mental:
beranikah guru melakukan perubahan jika kondisi politis di daerahnya tidak
memberikan ruang untuk berubah? Belum lagi dengan budaya mall yang menawarkan berbagai iming-iming kenikmatan, ke-glamour-an hidup. Guru yang harus menanamkan kesederhanaan,
kejujuran, keterbukaan, dan konsistensi dibenturkan dengan budaya mall yang penuh manipulasi, kepura-puraan,
kemewahan. Budaya tanding antara nilai “sekolahan” melawan nilai “pasaran” pun
tak terelakkan. Siapa yang keluar sebagai pemenang? Tentunya modus
operandi-nya yang lebih menarik di benak para
remajalah yang keluar sebagai pemenang.
Kini, institusi sekolah bukan lagi
tempat istirahat para siswa, kemudian sang guru memberinya wejangan. Sekolah
tidak hanya berhadapan dengan siswa yang datang dari rumah sekadar ingin bisa
membaca dan berhitung, tetapi para siswa ini juga membawa berbagai macam
permasalahan yang mungkin saja samar dan tak terindikasi namun gejala dari
tingkah lakunya terasa. Para siswa sekarang berhadapan dengan berbagai macam
tawaran budaya, negatif dan positif, yang saban hari masuk melalui berbagai media massa dan
perilaku masyarakat sekitarnya. Sumber-sumber budaya ini, baik sadar atau tidak,
pasti merembes dalam bawah sadar mereka.
Tawuran dan kenakalan yang mengarah
kriminal sebenarnya tidak lain hasil dari pencerapan seorang anak dari
lingkungannya. Sangat mustahil berbagai gejala itu tumbuh sendiri tanpa ada
yang menjadi pemicu inspirasi. Seperti yang diungkapkan oleh John Dewey bahwa
setiap pengalaman yang telah diperoleh memodifikasi pengalaman yang sedang
dijalani, sementara itu—modifikasi ini—tak peduli apakah kita kehendaki atau
tidak, memengaruhi mutu pengalaman-pengalaman selanjutnya.
Jam belajar di sekolah yang tidak lebih
dari sepuluh jam itu harus memikul tanggung jawab untuk menetralkan,
syukur-syukur bisa memasukkan nilai positif. Dapat dibayangkan, betapa beratnya
beban para “resi” di pertapaan “pendidikan” itu. Sedangkan para buto (raksasa) di luar sekolah selalu
menyelusup ke tubuh para siswa dengan berbagai modus
operandi. Di sisi lain, karena merasa tugasnya sebagai
“bengkel”, terkadang sekolahan juga over acting dalam menyemai nilai-nilai luhur
sehingga terjebak pada kultur “kekerasan”.
Menjadikan pendidikan jangan
rusak-rusakan tidak cukup dari sekolah saja, tetapi dari pemerintah. Sebab, di
tangan pemerintahlah merah-hijaunya kebijakan dapat dijalankan. Sebab,
kerusakan dunia pendidikan tidak hanya bersumber dari kurikulumnya, besar-kecil
anggaran, kompetensi kelulusan pengajarnya tetapi lebih kompleks yang
melibatkan cara hidup masyarakat sekitarnya yang tentunya dipengaruhi kehidupan
ekonomi, sosial budaya, serta pengalaman-pengalaman yang diserap dari media
massanya. Tanpa kebijakan yang tegas dan hanya dilimpahkan ke sekolah, sangat
sulit dan menunggu waktu lama dengan korban dan segenapnya pengalamannya akan
ditularkan ke generasi berikutnya.
Tulisan ini pernah dimuat di okezone.com
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon