Liyan



Liyan, other, orang yang di luar lingkup kita tetap menyajikan teka-teki yang penuh prasangka. Dalam jagat pewayangan, Rahwana merupakan sosok raksasa bengis, bertindak biadab yang hidup di “seberang” lautan. Tentunya, raksasa dan keraksasaan Rahwana dilihat dari kacamata Rama; sosok yang selalu digambarkan sebagai pribadi ganteng, lembut, dan penuh cinta kasih.
Boleh jadi, Rahwana menganggap Rama-lah yang “raksasa”. Kekalahan Rahwana terletak pada ketidakpunyaan tangan-tangan yang menelurkan tulisan: “Rama tak lain raksasa”. Lebih sayangnya, dalam penyelesaian prasangka tersebut kedua belah pihak diakhiri dengan perang, bukan kesepakatan mufakat untuk dialog saling pengertian.  Inilah gambaran bahwa orang lain tetap saja orang lain. Kita tak pernah sampai memahami orang lain, kecuali sebatas pemahaman dengan cara kita.
Ryszard Kapuscinski lewat karyanya, The Other, setidaknya bisa mereduksi prasangka terhadap orang lain. Kapuscinski, terpengaruh filsafatnya Levinas, mengajak pembaca untuk menyadari bahwa di luar “diriku” ada orang lain. Tetapi, jika “aku” kita tidak berusaha menyadari atau menunjukkan hasrat untuk bertemu dengan liyan, kita hanya akan berpapasan satu sama lain dengan sikap acuh, dingin, tanpa perasaan, hambar dan tanpa hati. Padahal, orang lain memiliki wajah, dan wajah ini adalah kitab suci yang di dalamnya segala kebaikan terekam.
Dunia bagi Kapuscinski selalu menjadi Menara Babel (Babel Tower). Namun demikian, Tuhan tidak hanya mencampur bahasa, tetapi juga budaya dan adat istiadat, hasrat dan kepentingan, dan menciptakan penghuninya sebagai makhluk ambivalen yang menggabungkan antara Aku dan non-Aku, diri sendiri dan Orang lain, milik sendiri dan milik orang lain. Bahasa al-Qur’an-nya, pandangan Kapuscinski ini dinamakan “ta’aruf” saling mengarifi, mengenal satu sama lain dari berbagai macam suku bangsa manusia.
Apa upaya yang bisa ditempuh setiap pribadi untuk mengenal pribadi dan “aku” yang lain? Dialog, itulah opsi yang diajukan oleh Kapunscinski. Dialog bukan semata terjadi komunikasi verbal tetapi juga seluruh aspek lahir-batin. Tanpa itu, dialog hanya menjadi pertunjukan drama, atau dongeng. Tujuan dialog adalah dalam rangka mendapatkan pemahaman bersama, sementara tujuan pemahaman ini adalah saling mengakrabkan diri satu sama lain.
Syarat keseluruhan proses ini adalah kemauan untuk mengenal, hasrat dan tindakan menuju orang lain; pergi menemuinya, dan melakukan percakapan dengannya. Namun, tidak dimungkiri proses ini tidak mudah. Pengalaman menunjukkan banyak orang yang menjaga jarak dengan orang asing yang baru dikenal, prasangka buruk lebih dahulu muncul dibanding dengan sikap tanggap dan percaya. Bahkan, dalam kehidupan yang tercatat sejarah, saling menyinggung, memaki, rasis kerap kali muncul meski hal-hal ini tidak perlu terjadi.
Orang Yunani menyebut non-Yunani sebagai Barbaros: orang yang berbicara dengan bahasa yang tidak mengerti dan lebih baik menjaga jarak dengannya. Orang Romawi membuat benteng dari orang lain yang disebut Limes. Orang Cina menyebut orang non-Cina sebagai orang asing dari seberang laut Yang-kwei, yang berarti monster lautan. Kawat berduri, tembok tinggi, pagar besi, kamp pengasingan, parit, penghalang atau yang lainnya merupakan penjelmaan rasa takut dan prasangka gaya masa kini. Inilah ejawantah doktrin apartheid, yang bukan sekadar terbatas antara ras putih dan ras hitam Afrika.
Secara sederhana, apartheid adalah sebuah pandangan yang penganutnya menyatakan bahwa orang lain boleh hidup sesukanya, hanya jika dia tidak berada dekat saya, hanya jika dia bukan bagian dari ras, agama dan budaya saya. Namun, itu semua bukan sekadar “hanya jika”, karena kenyataannya, di sini kita berurusan dengan doktrin ketidakadilan struktural permanen yang membagi-bagi umat manusia.
Perbedaan merupakan keniscayaan, begitu pula orang lain (liyan/others) juga keniscayaan di luar diri pribadi, aku. Di tengah-tengah bermekarannya “liyan” yang didukung dengan ekspansi dan akselerasi teknologi informasi tentunya proses dialog cepat terjadi. Dialog-dialog yang bisa saja kelak menciptakan perbenturan-perbenturan akibat adanya reaksi dari berbagai senyawa pemikiran, budaya dari yang lain maka diperlukan sikap kejelasan identitas diri, kekuatan, nilai, dan kematangan diri. Jika tidak begitu, kita hanya akan mampu mengendap-endap dari tempat persembunyian, mengisolasikan diri dari liyan (orang lain).
Di dunia baru, era modern bahkan postmodern ini akan lahir orang lain baru, yang muncul dari kekacauan-kekacauan dan kebingungan kehidupan modern. Lantas siap orang lain baru ini? Bagaimana kita menyikapi? Apakah kita mampu hidup berdampingan? Saling memahami? Saling asih-asah-asuh? 
Mengakhiri tulisannya, Kapunscinski mengajak pembaca merujuk perkataan Conrad, ‘Berbicara pada kemampuan kita untuk merasakan senang dan takjub pada misteri yang mengelilingi hidup kita; pada rasa belas kasihan, keindahan, dan rasa sakit; pada rasa persahabatan yang terpendam dalam semua makhluk, dan pada keyakinan sederhana namun tak tampak akan solidaritas yang merajut setiap hati yang kesepian.
Previous
Next Post »