Ibumu: Quran Bubrahmu



Judulnya agak sedikit menggelitik, dan mungkin membuat sebagian pembaca agak sedikit terganggu dengan kata “Quran bubrah”. Bagaimanapun juga, biasanya orang tidak akan menerima jika kitab sucinya dijelek-jelekan, atau setidaknya diungkapkan dengan kata-kata yang konotatif. Tetapi, pembaca tidak perlu terpancing dengan kata “Quran bubrah”. Ini bukan pembosbasitisan sebuah judul atau sengaja menghadirkan rasa penasaran, tetapi memang ada makna dalam kata “Quran bubrah”.

Kata “bubrah” memang bersinonim dengan “rusak”, berserakan. Quran bubrah berarti lembaran-lembarannya sudah tidak teratur, susunan suratnya mungkin saja sudah kocar-kacir. Jika pembaca pernah ke langgar (surau) di desa-desa, setidaknya, akan tahu Quran bubrah itu. Ketidakteraturan mushaf-mushaf ini bukan sebuah kesengajaan dari qiro’ah, melainkan memang termakan oleh usia. Namun, dari Qur’an bubrah kita menemukan kearifan bagaimana perlakuan para qiro’ah terhadapnya. Meski sudah tidak teratur, tetapi sikap hormat terhadap kitab suci terus terjaga, kitab itu akan di taruh pada tempat selayaknya, tidak sembarang.

Dengan demikian, kita akan menemukan pengertian kedua “Quran bubrah”. Pengertian itu tidak lain adalah sebuah simbol untuk menggambarkan tentang kondisi orang tua yang sudah lanjut usia. Orang tua yang sudah lanjut usia, sedikit-banyak, pasti mengalami penurunan koordinasi antar-panca indra, ingatan, dan kestabilan emosinya. Bahkan, seseorang yang berusia lanjut terkadang mengalami perubahan perilaku dan emosi, sehingga menjelma seperti saat dia masih balita.

Lalu, apa hubungannya pengertian Quan bubrah yang pertama dan kedua? Menurut penulis buku ini,Suparyakir, ternyata memiliki persamaan dalam tataran hakikat. Mushaf al-Quran yang berada dalam kondisi tidak beraraturan tata urutan ayat dan surahnya tentu saja sulit untuk dijadikan sebagai sebuah guiding line atau petunjuk bagi mereka yang mencarinya.

Demikian pula halnya dengan seseorang yang telah lanjut usia. Ketika semua koordinasi antaranggota tubuh sudah semakin menurun, ketika pancaindra sudah semakin berkurang keakuratannya, ketika metabolisme tubuh sudah mulai menunjukkan ketidakberesan, maka saat itulah tubuh dan jati diri seseorang laksana Quran bubrah. Orang yang telah lanjut usia, apalagi tubuhnya sudah digerogoti penyakit yang sudah sedemikian mempengaruhi organ-organ tubuhnya, maka tindakan dan ucapannya seringkali berubah-ubah dan tidak dapat diterka.

Kondisi orang tua yang sudah “ardali ‘umri” ini menjadi ujian, pembuktian sikap bakti (birrul walidain) seorang anak. Apakah anak memang benar-benar memiliki sikap bakti terhadap orang tua ataukah sang anak hanya akan menyia-nyiakannya. Sebab, merawat orang tua yang telah uzur tidaklah semudah merawat orang tua yang masih sehat bugar, masih normal sistem organ-organ tubuhnya. Apalagi, jika anak sudah berkeluarga tentunya akan lebih repot membagi waktu untuk merawat ibunya dan keluarganya sendiri (baca: suami/istrinya dan anak-anaknya). tak jarang kita dengar, di zaman sekarang ini, banyak anak yang tega menitipkan orang tuanya ke panti jompo. Kondisi ini seakan-akan menjadi bukti kata-kata “kasih orang tua sepanjang masa, kasih anak hanya sepanjang galah” atau “ wong tua sugih anak dai ratu, tapi anak sugih wong tuwo dadi babu”. Perlukah hal ini terjadi?

Sikap itu tidak perlu terjadi jika kita mampu mencercap makna Quran Bubrah. Orang tua yang telah lanjut usia memiliki padanan dengan Quran bubrah, “nek diwaca ora turut, nek dilanggar malati” (kalau dibaca tidak akan runtut, tetapi bila dilanggar akan berakibat fatal). Demikian pula orang tua yang sudah lanjut usia, “sulit diterka kehendaknya, tetapi bila keliru memperlakukannya maka akan marah sejadi-jadinya.”
Previous
Next Post »