Aku dan Filsafat; Sebuah Pertanyaan Singkat Saat Kuliah



Hidup ini belajar dan belajar. Bagaimana Anda belajar berfilsafat secara mendalam; tidak hanya tahu, tetapi juga mengerti?
Untuk menjawabnya, perlu pemilahan subtansi pertanyaan, kemudian memberikan definisi supaya jelas arah pertanyaan sekaligus jawabannya. Jika dicermati, ada tiga pokok materi yang termuat dalam pertanyaan tersebut, yakni (ber)filsafat, tahu, dan mengerti.
Pertama, filsafat. Secara etimologis filsafat berasal dari beberapa bahasa, misalnya bahasa Inggris dan Yunani. Dalam bahasa Inggris, yaitu philosophy, sedangkan dalam bahasa Yunani philein atau philos dan sofein atau sophi. Ada pula yang mengatakan, filsafat berasal dari bahasa Arab, falasafah yang berarti al-hikmah. Akan tetapi, awal mula kata itu dari bahasa Yunani, yaitu philos yang berarti cinta, sedangkan sophia artinya kebijaksanaan. Maka, filsafat secara etimologis (bahasa) berarti cinta kebijaksanaan, yang dalam bahasa Arab diistilahkan sebagai al-hikmah. Berfilsafat atau berpikir secara filsafat merupakan proses kritis dan mencari. Sikap ini merupakan sikap toleran dan terbuka dalam melihat dalam berbagai persoalan dengan pelbagai sudut pandang.
Kedua, perbedaan antara tahu dan mengerti. Sepintas kata ini hampir sama, tetapi jika dihadirkan dalam waktu yang sama ternyata membawa kesulitan-kesulitan untuk memahaminya. Menurutku, “ tahu” jika dalam bahasa Inggris adalah know, sedangkan dalam bahasa Arab diungkapkan dengan kata arif. “Tahu” berarti memiliki informasi yang tersimpan dalam benaknya. Sedangkan “mengerti” sepadan dengan understand atau alim, yang berarti mengetahui pola-pola kesamaan atau perbedaan, sebab-sebab, fungsi-fungsi, atau tujuannya.
Nah, jika yang dituntut adalah berfilsafat secara mendalam, “mengerti” berarti dalam mempelajarai filsafat itu atau dalam menganalisis yang diharapkan tidak sekadar memiliki informasi, tanpa tahu seluk beluk problem tersebut, tetapi dalam tataran lebih tinggi kita juga harus tahu hal ihwal, tujuan, fungsinya dari problem yang sedang muncul.
Untuk mencapai “mengerti” yang dibutuhkan adalah selalu bersikap kritis, dialektis, atau menyangsikan segala yang sudah kita “tahu”. Sebab, berfilsafat bukanlah proses menyimpulkan melainkan seperti “membongkar dan terus membongkar” yang sudah ada. Dalam dunia filsafat dikenal dengan tiga cara untuk mendapatkan “sesuatu”, dan ketiga cara ini aku anggap sebagai cara yang tepat untuk mencapai maqam “mengerti”. Ketiganya yakni epistemologi, ontologi, dan aksiologi. Jika kita berpegang pada ketiga unsur tersebut, setidaknya, menjadi lebih mengerti, tidak hanya tahu.
Epistemologi secara sederhana bisa artikan sama dengan “apa”, yakni mempertanyakan “sesuatu”, sedangkan ontologis adalah “mengapa”, dan aksiologi “bagaimana/untuk apa”. Sekali lagi, ketiganya ini bukan alat untuk menyimpulkan melainkan sebagai cara untuk “membedah” dan terus “membedah” tanpa henti. Berfilsafat sama halnya metode berpikir siklik, berputar bukan linier mekanis. Hanya dengan berpikir siklik, berputar, kritis, tidak cukup puas dengan jawaban satu tetapi terus mengejar jawaban-jawaban dari jawaban itu. Intinya, jawaban dalam dunia filsafat adalah pertanyaan baru yang harus segera dijawab, begitu seterusnya. Sebagaimana Sokrates yang mengajarkan dialektika ketika berhadapan dengan kaum Sophis dan kekuasan pemerintah meski akhirnya bapak filsafat itu harus dipenjara dan meminum racun demi mempertahankan keyakinannya (filsafatnya). Konsekuensi berfilsafat adalah “tidak tenang”, alam pikir yang selalu bergemuruh, menggemakan hal-hal yang perlu digemakan. Ibaratnya, filsafat itu dunianya pendekar yang selalu mengembara dari satu titik ke titik yang lain, tanpa ujung pangkal. Ketidak adanya ujung-pangkalnya itulah baru bisa disebut berfilsafat secara mendalam dan mengerti. Sebab, mengembara bukan berarti kita tidak tahu tetapi ada yang yang ingin dimengerti lagi.

Saudara mempunyai filsafat hidup (motto/pepatah/motivasi) jelaskan secara filsafat!
Motto hidupku adalah anglaras ilining bayu, angeli ananging ora keli. Jika diartikan secara kasar ke bahasa Indonesia adalah “menikmati mengalirnya arus air, menghanyutkan diri ke pusarannya tetapi tidak terhanyut”. Sepintas, pepatah ini memang penuh paradoks, saling bertabrakan satu sama lain, namun jika dicermati secara mendalam terletak keteguhan hidup, meski hidup yang penuh keruwetan itu tidak bisa dihindari.
Dalam dunia gending Jawa, nglaras berarti menikmati untaian kata bersamaan dengan harmoni ketukan alat musik. Orang nglaras adalah orang sedang berproses dengan begitu nikmatnya, kadang mata terpejam, kadang juga menerawang jauh bersamaan dengan alunan gending itu sendiri. Orang nglaras tidak perlu berjoget ria, teriak-teriak, atau apa saja layaknya cara menikmati musik popular. Nglaras mirip bayi sedang netek di pangkuan sang ibu, yang mencoba mencercap sedikit demi sedikit ASI yang kelak akan menjadi senyawa bagi kehidupannya.
Ngalar ilining banyu berarti mengambil hikmah cara air mengalir atau bagaimana kehidupan air itu sendiri. Ilmu IPA mengajarkan bahwa air mengalir dari tempat yang tinggi menuju dataran yang lebih rendah, yakni samudera.  Meski air juga bisa berjalan “naik” ke langit melalui proses penguapan. Ini berarti aliran air tidak melulu tinggi-rendah, tetapi tergantung kondisi dan waktu. Yang pasti, ada tujuan mulia yang ingin digapai oleh air. Jika ia padat maka kepadatannya membawa keberuntungan tersendiri, jika gas maka air akan segera mengumpul, medekadensikan diri membentuk gumpalan awan yang kemudian jatuh dalam bentuk hujan.
Kehidupan, cara hidup air adalah mengumpul atau berjamaah, sebab dengan mengumpul ia menemukan arti sebagai air. Keberjamaahannya inilah ia menemukan kekuatan yang terkadang dirindukan, terkadang pula ditakuti. Namun air adalah air; entah ditakuti atau tidak, air akan menjalankan fitrah hidupnya: mengumpul. Air yang mengalir akan terus mengalir, meski itu celah-celah tanah kemarau. Ia tidak memilih, sebab alirannya itulah pilihannya.
Air akan terus mengalir. Bagaimana dengan air yang dibendung? Air yang dibendung bukan berarti diam dan pasrah. Sebetulnya, saat dibendung itu ia mengumpulkan kekuatan yang mengharuskan si pembendung untuk memilih: membuka kran atau air itu luber dan melanjutkan perjalanannya lagi. Air tak pernah berhenti berproses menemukan tempat akhirnya.
Tujuannya air adalah “manfaat”. Jika berwujud cair, air akan berusaha mengairi tanaman, dimanfaatkan manusia. Jika dalam wujud padat, air digunakan sebagian orang untuk dinikmati sebagai sajian minuman. Di belantara gurun es, air menjadi objek wisata, yakni sky es (salju), selain itu es di kutub merupakan balance, penjaga keseimbangan, suhu bumi. Jika berada dalam fase gas, ia dimanfaatkan sebagai penggerak turbin. Dalam skala kecil, uap air digunakan untuk mengukus.
Air tak pernah berhenti pada satu titik, hidupnya siklik, berputar dari satu fase ke fase berikutnya: padat-cair-gas, dan kembali lagi. Samudera bukanlah tempat akhir melainkan tempat yang paling luas untuk menghantarkan air kembali lagi ke daratan dengan melalui fase evaporasi (penguapan) yang kemudian menjelma menjadi air hujan. Samudera-langit-daratan adalah tempat tinggalnya.
Bagaimana dengan air yang diminum kemudian menjadi urine alias air seni? Apakah air itu tetap mempunyai manfaat? Apakah, katakanlah, kamar mandi, tempat akhir air seni? Pertanyaan ini merupakan jawaban sekaligus pertanyaan selanjutnya. Pernahkah kita benar-benar sudah meneliti jika air seni benar-benar berhenti di tampungan jamban? Jangan-jangan, air seni itu merayap, menyusup di sela-sela pori-pori tanah, kemudian muncul lagi sebagai “air” dengan meninggalkan zat-zat yang sudah tak diperlukan lagi. Perlu diingat, air bisa merayap dalam celah sempit, kemampuan itu disebut daya kapilaritas.
Selanjutnya, angeli anangis ora keli. Kata-kata ini sebenarnya pepatah yang diguritkan oleh Sunan Kalijaga (jika tak salah tertulis dalam Serat Lokajaya). Kata-kata ini merupakan bentuk ketahanan diri, sikap menghargai keyakinan pribadi, atau memegang teguh kearifan lokal.
Kata-kata ini menemui makna dalam era sekarang: think local, act global. Di zaman globalisasi, yang konon katanya, tidak ada lagi jarak antara negara satu dengan negara lain atau sering disebut desa buana (global village) kalau dicermati hanyalah omong kosong, kata-kata semu. Globalisasi lebih pada sikap bagaimana desa Anda, negara Anda, gaya hidup Anda, selara Anda harus (meski kata harus ini tidak ditekankan) meniru negara-negara maju. Jika Anda tidak meniru maka sebutan katrok akan melayang pada diri Anda. Inikah globalisasi yang konon mempersilakan penghuninya menikmati kehidupan dengan cara sendiri? Silakan direnungkan.
Yang jelas, dan terasa, globalisasi merupakan abad “benturan budaya”, benturan jati diri, peleburan. Apakah anda masih merasa bahwa Anda benar-benar diri Anda sendiri? Bukankah gaya hidup, sampai pilihan untuk mencukur rambut, pakaian Anda disuapi oleh iklan-iklan televisi?
“Ah, bukankah hidup ini pilihan? Jadi biarlah saya memilih sesukanya.”
Okelah, tetapi sebenarnya Anda tidak sedang memilih, melainkan dituntun secara perlahan untuk memilih.
Kita memang tidak bisa menghindar dari sapuan globalisasi, tetapi kita masih bisa menglaras, mengeli ananging ora keli jika dalam diri ini masih mempunyai rasa sebagai manusia yang dikodratkan memilih, dikodratkan untuk menemukan jati diri. Hanyut dalam globalisasi bukan berarti ada iklan A kita larut dalam iklan A, melainkan kita bisa melempar opsi pertanyaan terhadap hamparan tawaran tersebut
Angeli ananging ora keli, mungkin, hampir sama dengan cogito ergo sum (karena berpikir maka aku ada)-nya kata Descartes atau man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu. Sebab, dengan ora keli kita bisa memahami arti keli itu sendiri. Mengerti hakikat arus zaman. Boleh saja kita hanyut, tetapi setelah kita tahu kenapa harus hanyut dengan zaman? Bagaimana konsekuensi jika kita tidak hanyut? Lantas, jika kita memang benar-benar hanyut, apakah ada jaminan kita bisa seperti yang ditawarkan arus zaman itu sendiri? Di sinilah perlunya kita menglaras ilineng banyu, sambil ngeli tetapi tidak keli.
   
Sebutkan contoh di desa  Anda ada alam mitos, dongeng, dan tahayul. Bagaimana korelasi dengan filsafat?
Mitos di desaku sering kali yang muncul adalah Suro (Muharam). Ini merupakan bulan yang tidak tepa untuk melangsungkan pernikahan atau hajatan dalam bentuk pesta. Konon, jika acara itu tetap diselenggarakan maka kesialan akan menimpa. Kenyataannya memang tidak ada yang berani melangsungkan hajatan pada bulan tersebut. Masyarakat pun enggan mempertanyakan asal mula pelarangan itu. Masyarakat diam dan menerima. Di sisi lain, ada yang menganggap pelarangan tersebut adalah bid’ah, sesuatu yang tidak diajarkan, dilakukan oleh Rasulullah saw. Sayang cemohannya terkadang tidak dibarengi bil mau’idhotil hasanah, dengan cara yang baik, melainkan sikap sinis yang berujung benci dan membenci.
Sejenak kita, sebagai korelasi dengan dunia filsafat, bisa mempertanyakan pelarangan tersebut. Bagaimana pelarangan itu muncul? Kapan pelarangan itu diberlakukan? Mengapa harus dilarang? Inilah peran penting telaah sejarah atau dalam metodologi al-Quran dikenal mengetahui asbabun nuzul-nya atau asbabul wurud dalam ilmu hadis.
Dalam masyarakat Jawa, Suro terkenal dengan bulan wigati, penting yang mengandung mistis, sakral. Konon, bulan tersebut bulan perlangsungan pernikahan Nyi Roro Kidul dengan makhluk lain. Setiap orang tidak boleh melangsungkan pernikahan dalam bulan tersebut, sebab menyaingi pestanya penguasa Laut Selatan tersebut. Sedangkan dalam Islam, bulan tersebut bulan yang agung dan diagungkan bahkan oleh agama Yahudi dan Nasrani. Nah, bagaimana memadukan antara agama dengan budaya yang anjurannya bertolak belakang?
Menurut sejarah yang kubaca, pada zaman kerajaan, khususnya, kekuasaan Mataram masih berjaya, pada bulan Muharram atau Suro pihak istana punya banyak sekali hajatan. Hajatan yang masih bisa kita saksikan sekarang ini adalah mbubeng benteng topo bisu, jamasan keris atau tosan aji yang lainnya.
Sebagaimana adat sopan santun masyarakat waktu itu, yang masih menghormati raja, maka hajatan yang akan diselenggarakan oleh masyarakat ditunda demi menghormati pihak keraton yang punya hajat tersebut. Dan, pada waktu itu masyarakat sekitar keraton harus turut rewang hajatan keraton. Maklum, masyarakat saat itu masih begitu cintanya, merelakan diri membantu hajatan keraton yang konon punya berkah tersendiri. Inilah kemungkinan kenapa bulan Suro begitu disakralkan oleh sebagian masyarakat Jawa, baik yang diperantuan maupun yang masih tinggal di Jawa.
Di tilik dari sejarah agama, Muharram merupakan bulan yang mulia. Banyak peristiwa yang agung di bulan tersebut. Sebut saja, Nabi Nuh selamat setelah terombang-ambing bersama kapalnya setelah diterjang banjir bah. Nabi Musa berhasil menyebrangi Laut Merah setelah dikejar-kejar tentara Firaun juga terjadi pada bulan tersebut. Nabi Yunus pun selamat dari perut ikan juga terjadi pada bulan Muharram. Maka, tidak heran jika pada bulan Muharram disunahkan puasa bagi ketiga agama (yahudi, Nasrani, dan Islam). Bahkan, pada bulan ini diharamkan peperangan. Bulan Muharam itu bulan sunyi, bulan perenungan peristiwa-peristiwa besar. Jadi, tidak ada yang mistis atau berujung bencana hajatan yang terjadi pada bulan tersebut. Semua itu hanya bentuk penghormatan.
Contoh lain, di tempat saya ada pohon beringin yang tumbuh di tepi sendang (sumur). Konon, pohon itu tak boleh ditebang sebab jika ditebang makhluk penghuni pohon akan marah. Sama halnya yang dikatakan sebagian orang: itu tahayul dan syirik. Bagi saya, itu adalah pertanyaan dan bukan diadili dengan kata “syirik”. Mungkin benar, syirik dalam tataran berpikir tetapi kenapa larangan itu muncul?
Sendang (sumur) dan pohon beringin yang tumbuh di tepinya adalah simbol sekaligus sumber yang saling berkaitan dengan air dan masyarakat sekitar. Kini ilmu pengetahuan membenarkan bahwa ada korelasi antara pohon (hutan) dengan air. Pohon sangat mempengaruhi ketersediaan air. Pohon-pohon ditebang air sumber kehidupan juga semakin menghilang. Bahkan tidak hanya itu efeknya, ada efek yang lebih ngeri lagi, yakni tergoncangnya keseimbangan ekosistem, rantai makanan, keseimbangan habitat yang di sekitarnya. Lihatlah, sekarang seiring lenyapnya hutan banyak bencana, hama yang menerjang.
Jadi, pelarangan itu hanyalah semacam undang-undang, sebagaimana undang-undang yang dicetuskan oleh wakil rakyat, presiden, atau para menteri. Kenapa harus dikaitkan dengan makhluk halus (jin), kok tidak dengan hal yang langsung mendasar, misal kerusakan alam? Hal ini tentunya perlu ditilik dari cara berpikir masyarakat waktu itu, hal yang paling ditakuti masyarakat saat itu juga adalah makhluk halus. Jin, demit, gendruwo, sing nunggu merupakan makhluk yang tidak kasat mata dan keberadaannya bisa mengganggu siapa saja. Nah, hanya dengan menakut-nakuti dengan makhluk halus maka keberadaan sumber air masih terjaga. Bukankah sikap membolehkan apa saja, tidak takut apa saja, mendudukkan alam sebagai benda yang “sudah selayaknya” dieksploitasi memunculkan berbagai masalah, yang penyembuhannya tidak hanya cukup dengan “tanam kembali” tanpa membenahi pola pikir?

Kehidupan ini serba tanda tanya, ragu-ragu, dan rasa ingin tahu. Bagaimana imajinasi Anda, mungkin daya hayal Anda memikirkannya?
Dunia ini absurd, kata Sartre, dunia ini hanya senda gurau tulis dalam al-Quran. Tidak heran jika muncul pertanyaan mengapa dunia absurd? Mengapa Tuhan harus menciptakan manusia dan menghadirkan di bumi hanya untuk senda gurau? Bukankah Tuhan sendiri mengatakan manusia merupakan mandataris Tuhan, tangan kanan-Nya di dunia? Lha, kalau ternyata kenyataannya hidup ini hanya senda gurau, apakah yang Tuhan nikmati? Jangan-jangan Tuhan hanya kangen dengan guyonan? Bahkan, jangan-jangan, Tuhan itu Maha Humor?
Inilah imajiku mempermainkan kata “kehidupan ini tanda tanya, ragu-ragu, dan selalu diselimuti rasa ingin tahu”. Kalau kita menikmati, sambil menyusuri kata “dunia ini hanya panggung sandiwara”, “tanda tanya”, ada untungnya. Keuntungannya adalah tumbuh potensi manusia yang tidak dimiliki oleh makhluk lain. Potensi tersebut adalah akal. Akal merupakan karunia terbesar manusia di antara sekian makhluk Tuhan. Bahkan, dengan akal pun manusia bebas meragukan Tuhan yang menciptakannya akal itu sendiri. Aneh rasanya: Tuhan yang menciptakan akal pun tak luput dari keraguannya akal. Tuhan diragukan keberadaan-Nya.
Di sisi lain, dunia yang penuh tanda tanya pun menyediakan penuh jawaban, menyediakan kepastian. Coba saja, jikalau dunia tidak penuh tanda tanya: mungkin kita tidak bisa menikmati dering suara telepon, aneka acara televisi, petualangan ke angkasa luar atau nikmatnya sambal terasi. Mungkin lucu kedengarannya, tetapi inilah keraguan yang nikmat. Keraguan yang dijawab dengan daya khayal.
Telepon muncul karena ada keraguan manusia: masak berbicara harus mendekat antarindividu. Bagaimana, jika yang jauh suaranya juga bisa terdengar dekat telinga manusia, meski di tempat yang berbeda. Kemudian, lahirlah penyelidikan apa sebenarnya media yang membawa suara? Inilah keraguan yang dicoba dicarikan keraguan terus hingga artefak keraguan itu adalah teknologi.
Sambal terasi pun muncul dari keraguan dan rasa ingin tahu. Bagaimana jika cabai yang pedas itu digabung dengan garam yang asin, gula yang manis, terasi yang agak bacin, tomat yang agak kecut: apakah rasa yang akan muncul? Di sini perlu proses coba dan mencoba bagaimana memadukan, menemukan formula yang tepat untuk memadukan dari rasa yang berbeda sehingga terjalin rasa yang kita sebut: nikmat. Lantas apa nikmat itu sendiri? Ini juga bentuk keraguan. Kenapa kalau kita haus kok minum air, bukannya makan? Kenapa pula kalau kepedasan kok kita minum air? Apakah sama antara haus dan kepedasan itu sehingga harus meminum air? Sebetulnya, wilayah yang mengontrol rasa ingin minum meski faktor rasa ingin minum tersebut jelas-jelas berbeda.
Inilah imaji, daya khayal menikmati dunia yang penuh tanda tanya. Syukurlah Tuhan memberikan dunia tanda tanya yang dibarengi dengan daya imaji. Tanpa itu, manusia hanya bagaikan robot di belantara kota yang banyak tanda tanya lalu lintas tanpa tahu harus bagaimana menyikapi tanda-tanda itu, kecuali berjalan terus sesuai mekanis yang telah ditetapkan padanya.

Belajar filsafat, dengan daya akal fikir secara rasioanal. Di sisi lain kita memiliki batin, hati sanubari, perasaan bagaimana kolaborasi 2 sisi tersebut?
Akal memang anugerah besar yang Tuhan berikan pada manusia. Dengan akal manusia bisa berpikir dan menemukan kemajuannya dibanding dengan makhluk lain. Akal, rasio merupakan komponen yang menuntut kita apa adanya, bisa dicerna, bisa dinalar dan masuk akal.
Sanubari, perasaan merupakan komponen lain yang tak kalah penting sebagai pelengkap keberlangsungan hidup manusia. Wilayah ini tidak bisa dideteksi keberadaannya, tetapi bisa dirasakan.
Ibaratnya, jika diperkenakan, antara akal (rasio), sanubari, perasaan, batin itu mirip dengan komponen yang mempengaruhi laju kendaraan. Kendaraan mempunyai gas, kopling dan rem. Wilayah gas adalah rasio (akal) manusia. Fungsinya mengajak kita cepat sampai pada tujuan. Caranya, ya, dengan berjalan cepat: semakin cepat maka waktu sampai pun lebih singkat. Sedangkan rem, kopling itu mirip sanubari dan batin manusia. Fungsinya mengatur kecepatan dan transfer persneling. Batin itu balance melajunya manusia.
Boleh saja kita mengendarai dengan cepat, tetapi dalam perjalanan itu kita tidak sendirian: ada pejalan lain, tikungan, tanjakan dan turunan tajam yang harus disikapi dengan bijak. Kita tidak boleh seenaknya sendiri berjalan, tidak seenaknya sendiri mendedah permasalahan dengan rasio tanpa memperhatikan imbas dari cara berpikir.
Kita harus tetap mengontrol cara berpikir: apa imbas jika berpikir seperti ini? Berpikir bukan hanya didasarkan pada kebebasan kemudian mengejawantahkannya. Ada ruang-ruang sunyi yang tetap harus dikompromikan dengan sanubari, batin manusia.  Hal ini bukan berarti kita tidak bebas atau terkungkung dengan adanya alam batin, alam perasaan. Tetapi kebebasan itu memang dibatasi oleh kebebasan itu sendiri.
Contoh, kenapa kita harus menyantuni anak yatim, orang miskin? Mendahulukan pejalan kaki yang menyeberang? Bukankah anak yatim, orang miskin masih punya tangan dan kaki untuk bekerja? Bukankah semakin Anda berjalan cepat, menabrak orang yang menyeberang juga semakin cepat sampai tujuan? Kenapa harus berhenti, rela mengerem laju kendaraan? Inilah fungsi hati yang gema jawabannya tidak mungkin leluasa Anda tuliskan pada selembar kertas, tetapi dalam bentuk ejawantah perilaku.
Kalau kita hanya berpikir secara rasional maka perilaku korupsi bukanlah hal salah. Sebab, siapa saja boleh kaya dan ingin kaya. Sangat sah kok menginginkan kekayaan itu. Hanya saja, jika dirasa dengan batin yang terdalam: perilaku korupsi itu membawa bencana bagi yang lain.
Maka, akal, rasio tidak berdiri sendiri dalam lintas tapak perjalanan manusia. Dia ada batin, perasaan yang ikut serta mewarnai perjalanan manusia. Kolaborasinya adalah ketiganya harus digunakan sesuai empan papan, tahu situasi dan kondisi, di mana kita harus menggunakan daya-daya potensi tersebut.
Previous
Next Post »